Home OPINI Masyarakat Digital, Multikulturalisme, dan Pendidikan Multikultural

Masyarakat Digital, Multikulturalisme, dan Pendidikan Multikultural

pksn kwi 2019

Revolusi industri ketiga yang ditandai dengan penggunaan internet sebagai media
komunikasinya memungkinkan terjadinya globalisasi informasi. Akses terhadap informasi tidak
lagi dihambat oleh masalah jarak, waktu, status sosial, dan tingkat pendidikan. Bahkan, globalisasi
informasi memungkinkan orang memperoleh informasi yang tidak dibutuhkannya. Instruksi
Pastoral Aetatis Novae nomor 1 paragraf 3 menegaskan: “Aeropagus pertama dari zaman modern
ini adalah dunia komunikasi yang mempersatukan umat manusia dan menjadikannya sesuatu
yang bisa disebut sebagai desa yang bersifat global.”

Masyarakat zaman sekarang diberi status baru yaitu masyarakat informasi. Masyarakat
informasi adalah masyarakat yang melakukan segala aktivitas dalam kehidupannya dengan
memanfaatkan dan mendistribusikan informasi dalam teknologi. Teknologi yang sedang populer
dan diaplikasikan dalam segala aspek ialah teknologi digital dengan koneksi internet. Populasi
penduduk Indonesia saat ini mencapai 262 juta orang. Menurut laporan dari Asosiasi
Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), lebih dari 50 persen atau sekitar 143 juta orang
telah terhubung jaringan internet sepanjang 2017. Berdasarkan wilayah geografis, masyarakat
Jawa paling banyak menggunakan jasa internet yaitu 57,70 persen. Selanjutnya, Sumatra 19,09
persen, Kalimantan 7,97 persen, Sulawesi 6,73 persen, Bali-Nusa 5,63 persen, dan Maluku-Papua
2,49 persen (Kompas.com, Kamis 22 Februari 2018 diakses pada Selasa, 26 Februari 2019).

Kenyataan tersebutlah yang menjadikan masyarakat komunikasi identik dengan masyarakat
digital dengan tipikal seperti adanya keinginan yang harus segera dipenuhi, suka tampilan
berwarna, membutuhkan interaktivitas, suka hal-hal yang sifatnya langsung (to the point) dan bisa
melakukan multitasking (melakukan dua atau lebih aktivitas dalam waktu yang bersamaan,
misalnya seorang remaja yang facebookan sambil mendengar musik) (Hikmat Budiman, 2002:25).
Gereja sebagai sebuah persekutuan umat beriman tidak pernah luput dari ekspansi
perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Gereja semenjak Konsili Vatikan II (1962-
1965) dengan semangat aggiornamento berusaha berdialog dan beradaptasi dengan dunia dan
juga dengan kemajuan media komunikasi. Dalam hal ini, masyarakat Gereja serentak menjadi
masyarakat digital.

Banyak pastor yang menyajikan informasi keagamaan dan memberikan renungan bagi para umat dengan memanfaatkan teknologi digital. Di balik semua aktivitas tersebut, hal terpenting yang perlu diperhatikan ialah penggunaan alat komunikasi tersebut demi keselamatan manusia. Para bapak Konsili Vatikan II dalam dekrit tentang upaya-upaya komunikasi sosial (Inter Mirifica) nomor 3 paragraf 2 menegaskan bahwa “maka, pada hakikatnya, Gereja berhak menggunakan dan memiliki semua jenis media komunikasi, sejauh diperlukannya atau berguna bagi pendidikan Kristen dan bagi seluruh karyanya demi kesalamatan manusia”(R. Hardawiryana, SJ. (Penerj.), 2013:55).

Kita juga tentu tidak menutup mata terhadap tingkah sebagian masyarakat digital yang
menyalahgunakan internet. Di media sosial banyak bertebaran hoaks, ujaran kebencian,
pelecehan nama baik, dan penggunaan nama Allah dan kutipan ayat-ayat suci untuk melegitimasi
kebencian terhadap kaum minoritas di dunia maya. Dalam banyak kasus, di dunia maya, fakta
perbedaan dan kemajemukan dijadikan alasan untuk bertengkar, saling menghina, dan saling
menjelek-jelekkan.

Pluralisme Terancam Bahaya

Pluralisme adalah anugerah Tuhan. Sebagai anugerah Tuhan, pluralisme mesti diterima.
Penerimaan terhadap pluralisme dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat nyata dalam
semboyan Bhineka Tunggal Ika (berbeda-beda tetapi tetap satu). Segenap warga negara Indonesia
mempunyai kewajiban untuk mengakui dan menghargai fakta pluralitas dalam kehidupan
bersama. Jokowi dalam poin kesembilan nawacitanya menegaskan komitmennya untuk
memperteguh kebhinekaan dan memperkuat restorasi sosial Indonesia melalui kebijakan
memperkuat pendidikan kebhinekaan dan menciptakan ruang-ruang dialog antaragama.

Tidak dapat disangkal bahwa terjadi kesenjangan antara komitmen Jokowi untuk
memperteguh kebhinekaan dengan kenyataan empiris yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.
Akhir-akhir ini timbul masalah krusial yaitu adanya kesalahan pengelolaan fakta pluralitas
sehingga fakta tersebut menjadi senjata yang mematikan kehidupan bersama masyarakat
Indonesia. Konflik antara kelompok mayoritas dan kelompok minoritas tetap terjadi, klaim
kebenaran yang hanya dimiliki oleh kelompok tertentu dan menganggap kafir kelompok lain
masih mewarnai kehidupan masyarakat, fenomena politisasi agama dalam rangka memperoleh
kekuasaan terus dipraktikkan, fenomena penutupan rumah ibadat sampai dengan pembakaran
rumah ibadat terus mengalami peningkatan. Selama masa pemerintahan Jokowi, ada 32 Gereja
dan 5 masjid Ahmadiyah yang ditutup tanpa sebab yang jelas. Presiden Jokowi dinilai tidak
melakukan apa-apa sebagai respon terhadap realitas destruktif tersebut (tirto.id, Rabu 20
Februari 2019 diakses pada 01 Maret 2019).

Hemat saya, sederetan kasus di atas tidak terlepas dari diskursus dan sosialisasi publik
tentang semboyan Bhineka Tunggal Ika yang terlalu memberi aksentuasi maksimal terhadap
keberagaman atau fakta pluralitas tanpa disertai dengan pemahaman yang benar tentang hakikat
perbedaan, mengapa kita berbeda satu dengan yang lain dan aksentuasi yang kurang pada kesamaan dan kesederajatan sebagai warga negara Indonesia, secara khusus maupun sebagai manusia secara umum. Fakta perbedaan diakui, tetapi alasan di balik perbedaan tersebut belum menjadi atensi publik. Orang begitu bersemangat mencari-cari perbedaan tanpa berusaha mencari dan memahami kesamaan fundamental satu dengan yang lain.

Dari Pluralisme ke Multikulturalisme

Pluralisme dan multikulturalisme memiliki kesamaan sekaligus perbedaan. Baik pluralisme
maupun multikulturalisme sama-sama merujuk pada soal keanekaragaman. Namun, perbedaan
mendasar keduanya yaitu pluralisme hanya mengacu pada fakta antroplogis keanekaragaman dan
perbedaan, sementara multikulturalisme bergerak lebih jauh pada sikap etis yang berintikan
penghargaan terhadap kebudayaan dan pandangan hidup yang berbeda-beda sambil terus
mendorong dialog dan kerja sama yang produktif antara elemen-elemen yang berbeda dan
beraneka ragam tersebut. Itulah sebabnya, kunjungan Paus Fransiskus ke Uni Emirat Arab (UEA)
pada Minggu, 03 Februari 2019 lalu harus dimengerti dalam kerangka menjunjung tinggi
multikulturalisme karena dalam kunjungan tersebut Paus Fransiskus berdialog dengan para
pemuka Islam di Arab dan bersama dengan Imam Besar Al Azhar, Dr. Ahmed At Tayyeb, Paus
Fransiskus menandatangani Deklarasi Abu Dhabi yaitu Dokumen Persaudaraan Manusia untuk
Perdamaian Dunia dan Hidup Berdampingan sebagai upaya untuk mendorong hubungan yang
lebih harmonis antara umat manusia.

Multikulturalisme menjawabi kekurangan mendasar pluralisme yang hanya mengacu
pada fakta antroplogis keanekaragaman tanpa disertai penjelasan yang akurat tentang alasan
keberagaman dan juga aksentuasi yang kurang terhadap kesamaan-kesamaan fundamental di
antara masyarakat. Pertama, penjelasan tentang alasan keberagaman diberikan oleh prinsip
otentisitas dalam multikulturalisme. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, otentisitas adalah
sebuah kata benda yang berarti keaslian, kebenaran (Departemen Pendidikan Nasional,
2008:101). Itu berarti, secara leksikal, otentisitas merujuk pada sesuatu yang asli, murni, dan
bukan imitasi. Charles Taylor, filsuf Kanada yang berbicara banyak tentang multikulturalisme,
menjelaskan konsep otentisitas dalam hubungan dengan modalitas individu sesuai dengan
kekhasan atau keasliannya.

Otentisitas merupakan sebuah disposisi ketika individu jujur dengan
diri sendiri dan berada secara khas sebagai seorang individu. Konsekuensi logisnya adalah prinsip
otentisitas melahirkan perbedaan di antara individu-individu dan budaya-budaya. Segenap warga
negara Indonesia mesti membentengi diri terhadap “godaan Babel” (Kej. 11:1-9) yaitu godaan
untuk menata komunitas secara sentralistik, otoriter, represif, dan anti pluralitas (berbicara
dengan hanya menggunakan satu bahasa). Menurut Taylor, otentisitas yang melahirkan perbedaan perlu memperoleh pengakuan sebab perealisasian diri seorang individu sangat bergantung pada pengakuan. Faktor pengakuan menjadi relevan untuk Taylor sebab refleksi diri hanya mungkin berjalan dalam interaksi dengan yang lain. Konstruksi identitas tidak mungkin hanya berasal dari diri sendiri, tetapi membutuhkan komunikasi dialogal dengan yang lain. Jadi, pengakuan adalah sebuah keniscayaan dalam pencarian akan identitas yang otentik (Otto Gusti Madung, 2017:88-89).

Kedua, multikulturalisme yang menggagas urgensitas dialog mengantarnya pada suatu
kondisi pengakuan akan perbedaan dan juga kesamaan yang ada di dalam kehidupan bersama.
Dialog sering terhambat karena para pelaku dialog hanya melihat perbedaan-perbedaan tanpa
meninjau kesamaan-kesamaan yang ada. Masalah utamanya ialah bahwa kalau para pelaku dialog
menekankan perbedaan tanpa sungguh-sungguh melihat kesamaan, mereka mendasarkan dialog
di atas dasar yang rapuh dan besar kemungkinan dialog akan berubah menjadi pertentangan dan
bahkan perkelahian. Untuk itulah, penegasan tentang beberapa kesamaan fundamental di antara
masyarakat menjadi sebuah kewajiban.

Pertama, secara religius, manusia adalah ciptaan Yang Absolut. Seluruh warga negara
Indonesia mengakui keesaan Yang Absolut yang nyata dalam sila pertama Pancasila yaitu
Ketuhanan Yang Maha Esa. Rumusan sila pertama tersebut adalah sebuah rumusan yang netral
dan terbuka ruang bagi agama-agama dan aliran kepercayaan untuk mengidentifikasikan diri
dengan sila pertama ini. Kata “Tuhan” (yang artinya sama dengan kata “Allah”, yang dibubuhi
prefiks “ke” dan sufiks “an” menjadi sebuah konsep yang abstrak dan universal). Bagi kaum
Kristen dan kaum Muslim, formulasi “Allah” tidak terlalu problematis, namun tidak demikian bagi
umat Hindu dan Budha. Sebaliknya, pengertian Ketuhanan telah mencakup nama-nama Allah
yang lain seperti Sang Hyang Tunggal (dari Tradisi Hindu-Jawa kaum Abangan) atau Sang Hyang
Whidi (dari tradisi Hindu-Bali) (Mathias Daven, 2016:108-109).

Kedua, secara nasional, kesatuan bangsa Indonesia tidak bersifat alami, tetapi bersifat
historis. Yang mempersatukan masyarakat di Indonesia dengan berbagai latar belakang yang
berbeda adalah sejarah yang pernah dialami oleh bangsa Indonesia yaitu sejarah penderitaan,
penindasan, dan pertumpahan darah demi memperjuangkan kemerdekaan.
Ketiga, segenap masyarakat Indonesia memiliki cita-cita yang satu dan sama yaitu
memajukan kehidupan bangsa. Cita-cita ini melampaui aneka perbedaan yang ada seperti
perbedaan suku, agama, dan ras. Perbedaan-perbedaan yang ada tidak pernah boleh menjadi
alasan untuk tidak membangun kerja sama dalam mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia.

Keempat, sebagai manusia dan warga negara, semua memiliki martabat, hak dan
kewajiban yang sama. Kepemilikan martabat yang sama sebagai manusia menjadi dasar utama
untuk menumbuhkembangkan sikap saling menghargai satu sama lain. Selain itu, semua warga
negara diizinkan untuk menuntut kepada negara perlindungan terhadap hak-hak asasi sebagai
manusia dan pemenuhan hak-hak sebagai warga negara serta juga melaksanakan kewajibankewajiban.
Negara wajib melindungi hak-hak asasi warganya dan menyediakan kesempatan yang
sama bagi semua warganya untuk bisa melaksanakn kewajiban-kewajibannya secara efektif dan
efisien.

Membumikan Pendidikan Multikultural

Masyarakat digital mesti menginternalisasi dan menghidupi pluralisme dan juga
multikulturalisme. Artinya, masyarakat digital tidak hanya sadar akan fakta keberagaman yang
ada tetapi lebih jauh memahami alasan-alasan di balik perbedaan yang ada, menyadari kesamaankesamaan
yang ada, melaksanakan dialog dan kerja sama lintas batas demi terwujudnya kebaikan
bersama. Kesadaran semacam ini menjadi penting agar masyarakat digital mampu menggunakan
alat teknologi informasi dan komunikasi serta media-media sosial secara bijak tanpa merugikan
pihak lain. Konsep multikulturalisme juga mengajak masyarakat digital untuk keluar dari diskursus
di dunia maya dan melakukan dialog dan aksi-aksi konkret yang berguna bagi kehidupan bersama.
Pertanyaan mendasarnya adalah bagaimana menumbuhkan kesadaran akan multikulturalisme dalam diri masyarakat digital?

Hemat saya, pelaksanaan pendidikan multikultural menjadi sebuah kemendesakan. Pendidikan multikultural menjadi sarana bagi peserta didik untuk berkenalan dengan nilai-nilai dari agama-agama dan kebudayaan-kebudayaan lain. Pendidikan multikultural hanya bisa dilaksanakan dalam sebuah lembaga pendidikan heterogen, yang menyediakan kesempatan bagi tenaga pendidik dan peserta didik dari berbagai
latar belakang agama dan kebudayaan yang berbeda-beda. Di dalam sebuah lembaga pendidikan
heterogen yang mengusung pendidikan multikultural, para peserta didik tidak hanya berbangga
dengan latar belakang agama dan kebudayaan sendiri tetapi membuka diri untuk mempelajari
agama-agama dan kebudayaan-kebudayaan teman-teman yang lain, menemukan perbedaan dan
persamaannya, menghargai perbedaan dan persamaan yang ada, membuka diri untuk dilengkapi
dengan nilai-nilai baik dari teman-teman yang berlatar belakang agama dan kebudayaan yang
berbeda, serta bergerak lebih jauh pada upaya untuk membangun dialog dan kerja sama yang
harmonis.

DAFTAR PUSTAKA

Budiman, Hikmat. 2002. Lubang Hitam Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.
Daven, Mathias. 2016. “Filsafat Pancasila”. Manuskrip. Maumere: Sekolah Tinggi Filsafat Katolik
Ladelero.
Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Keempat. Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama.
Hardawiryana, R. (Penerj.). 2013. Dokumen Konsili Vatikan II. Cet. 12. Jakarta: Obor.
Kompas.com, Kamis 22 Februari 2018 diakses pada Selasa, 26 Februari 2019.
Madung, Otto Gusti. 2017. Post-Sekularisme, Toleransi, dan Demokrasi. Maumere: Penerbit
Ledalero.
Tirto.id, Rabu 20 Februari 2019 diakses pada 01 Maret 2019.

 

Ilustrasi: starline

Penulis: Jean Loustar Jewadut

Ditulis dalam rangka Lomba Esai PKSN KWI 2019