Beranda OPINI Memaknai Pertemuan Paus dan Imam Besar al-Tayyib

Memaknai Pertemuan Paus dan Imam Besar al-Tayyib

Memaknai Pertemuan Paus dan Imam Besar al-Tayyib

Trias Kuncahyono

Pertemuan antara pemimpin Katolik sedunia Paus Fransiskus dan Ulama Besar Al-Azhar Sheikh Ahmad Muhammad al-Tayyib, di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab seakan menghidupkan kembali pertemuan antara Santo Fransiskus Asisi dan Sultan Malik al-Kamil, pada tahun 1219. Penguasa Mesir ini, adalah sepupu pahlawan dan pejuang besar Islam yakni Saladin (1137/1138-1193),  yang pada 2 Oktober 1187, merebut Jerusalem dari tangan pasukan Frank.

Cerita pertemuan Fransiskus Asisi dan Al-Kamil di tengah kecamuknya Perang Salib V (1217-1221), tidak hanya monumental tetapi juga historis dalam konteks dialog antar-iman. Itulah pertemuan dua tokoh muda—Fransiskus berusia 38 tahun dan Sulan al-Kamil berusia 39 tahun–yang sama-sama memiliki idealisme, impian tinggi tentang masa depan, tentang dunia dan penyelamatan dunia. Hanya satu misi yang dibawa Fransiskus saat menemui Al-Kamil yakni mengupayakan perdamaian, dan mengakhiri perang yang telah menelan demikian banyak korban jiwa dan menyuburkan rasa saling membenci dan dendam antara umat Kristiani dan Islam.

Kedatangan Fransiskus Asisi disambut dengan penuh keramah-tamahan dan persaudaraan oleh Sultan al-Kamil penguasa Dinasti Ayyubiah, di Mesir meski di sekitar mereka bumi, langit, dan udara dipenuhi rasa kebencian dan permusuhan. Tetapi, pertemuan itu menjadi antidot, sebuah pengingat bahwa menanggapi kekerasan dengan kekerasan pula, tidak akan ada hasilnya, dan bahwa kebaikan dan saling hormat dapat benar-benar mengubah hati.

Selain itu, pertemuan Fransiskus Asisi dan Sultan al-Kamil yang berlangsung tiga pekan itu juga menunjukkan bahwa jalan menuju kedamaian adalah bagi semua orang, secara individu, di tingkat pribadi. Fransiskus Asisi dengan sengaja memasukkan tangannya ke dalam keranjang persoalan rumit, permusuhan, perang bertahun-tahun yang bukan perang biasa, melainkan perang agama. Ia dengan berani dan mengambil segala risiko berusaha menjalin hubungan pribadi dengan Sultan al-Kamil. Dan Sultan al-Kamil masuk lebih jauh ke dalam tradisi agamanya sendiri untuk mengambil tema penghormatan terhadap orang-orang Kristen, meskipun ia diserang oleh tentara Paus.

Sultan al-Kamil memerintah Mesir pada saat yang sangat sulit. Dia tidak hanya menghadapi Perang Salib, tetapi juga ancaman yang lebih buruk pada pasukan Mongol yang datang dari timur. Dia juga menghadapi usaha kedeta serta terpaksa harus melarikan diri, untuk sementara, untuk hidupnya. Kemudian, ia menghindari Perang Salib lain melalui beberapa negosiasi yang cerdik dengan Kaisar Frederick II. Sultan adalah pemimpin yang kuat, bijak, dan efektif yang tindakannya berakar pada prinsip-prinsip Al-Quran. Dia model yang baik untuk kepemimpinan.

Paul Moses dalam The Saint and the Sultan: The Crusades, Islam, and Francis of Assisi’s Mission of Peace (2009), sebuah buku sejarah tentang pertemuan antara Fransiskus dan Sultan al-Kamil, menuliskan kedua tokoh tersebut menampilkan sikap sopan dan ramah, dalam kondisi yang sangat mengerikan: peperangan. Fransiskus tidak pernah menjelek-jelekkan umat Muslim dengan cara yang umum di dunia Kristen pada waktu itu. Dia melucuti retorikanya. Dan sultan terkenal karena kebaikannya kepada orang-orang Kristen Mesir, yang ditangkap dalam peperangan. Mereka diperlakukan dengan baik.

Hawa Permusuhan

Hawa permusuhan, kini, melingkupi dunia, baik dalam tingkat global, regional, bahkan lokal dan di sekitar kita. Dunia kehilangan hatinya. Perasaan “kita semua bersaudara” seperti yang diungkapkan Mahatma Gandhi dan ungkapan Ahimsa, berjuang tanpa kekerasan, punah. NIIS, misalnya, tidak mengenal kata “berjuang tanpa kekerasan”, karena ideologi mereka adalah kekerasan dana teror. Ideologi kekerasan ini  telah menguasai begitu banyak orang. Lihat apa yang terjadi di  Suriah, Irak, Nigeria, Pakistan, Banglades, Myanmar, Afganistan, Israel, Palestina, bahkan juga di Eropa, Amerika Latin, dan juga Indonesia.

Bahaya terbesar saat ini adalah kehancuran, perang, dan kebencian di antara umat beragama. Kehancuran bisa terjadi karena antara lain ketidakadilan, tiadanya toleransi, diskriminasi, dan terorisme. Sementara perang masih terjadi di banyak wilayah dunia.

Perang di Yaman, telah mengakibatkan sekurang-kurangnya, delapan juta orang di pinggiran jurang kelaparan, satu juta terkena kolera, dan lebih dari tiga juta orang terlantar. Menurut United Nations Assistance Mission in Afghanistan (UNAMA) dan UN High Commissioner for Human Rights (OHCHR) pada tahun 2017 saja, sebanyak 10.453 orang sipil menjadi korban perang di Afganistan, 3.438 orang di antaranya tewas, dan 7.015 orang terluka. Padahal, perang sudah pecah sejak 2001. Bangsa itu terpecah, banyak penduduknya mengungsi, kaum perempuan, terutama, bernasib sangat tidak baik. Masa depan negeri itu penuh kegelapan: kemiskinan, kekurangan gizi, buruknya sanitasi, kurangnya akses ke kesehatan, dan degradasi lingkungan merajalela.

Perang Suriah yang  telah menewaskan sekurang-kurangnya 500.000 orang; memaksa dua setengah juta anak menjadi pengungsi; lebih dari tujuh juta orang menjadi pengungi, termasuk pergi ke Eropa. Menurut the Syrian Centre for Policy Research (SCPR), sekitar 1,9 juta orang terluka. Semua itu belum termasuk kerusakan infrastruktur: jalan, bangunan rumah tinggal, sekolahan, perkantoran, masjid, gereja, pasar, dan sebagainya, serta suramnya masa depan generasi muda Suriah. Angka harapan hidup pun turun dari 70,5 tahun pada 2010 menjadi sekitar 55,4 tahun pada 2015.

Konflik Israel – Palestina, juga belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Bahkan, sekarang proses perdamaian konflik melintas abad tersebut, seperti terlupakan. Sejumlah negara di Afrika pun dicengkeram konflik, bahkan konflik sektarian.

Kebencian antar-umat beragama bisa dirasakan di mana-mana. Kasus Rohingya, Uigur, Yazidi di Irak Utara, Kristen di Suriah,  di Negeria, juga di negeri ini, misalnya sebagai contoh. Pada tahun 2007, misalnya, 138 cendikiawan Muslim terkemuka mengirim surat kepada Paus Benediktus XVI dan pemimpin Kristen lainnya. Dalam surat tersebut mereka menyatakan, kelangsungan hidup dunia dipertaruhkan jika umat Islam dan Kristen tidak dapat berdamai satu sama lain (The Guardian, 2007).

Mereka mendesak para pemimpin Kristen “untuk bersama-sama dengan kami mengenai hal-hal penting yang sama dari kedua agama kami”, menjabarkan persamaan antara bagian-bagian Alkitab dan Alquran. “Jika Muslim dan Kristen tidak damai, dunia tidak akan damai. Dengan persenjataan mengerikan dunia modern; dengan Muslim dan Kristen terjalin di mana-mana seperti sebelumnya, tidak ada pihak yang secara sepihak dapat memenangkan konflik antara lebih dari setengah dunia penduduk. Masa depan kita bersama dipertaruhkan, ” demikian antara lain bunyi surat  itu. “Kelangsungan hidup dunia itu sendiri mungkin dipertaruhkan.”

Deklarasi Abu Dhabi

Dalam hawa seperti itulah, hawa permusuhan, Paus Fransiskus bertemu, bersalaman, dan berpelukan dengan Imam Besar Al-Azhar yang juga Ketua Dewan Para Tetua Muslim (the Muslim Council of Elders), di Abu Dhabi. Dewan Para Tetua Muslim didirikan pada tahun 2014 sebagai organisasi global dan independen yang mendorong perdamaian dan membahas isu-isu konflik di komunitas Muslim.

Apakah sebuah kebetulan atau ini adalah sebuah provedentia Dei (penyelanggaraan Tuhan) bahwa Kardinal Jorge Mario Bergoglio yang setelah menjadi Paus memilih nama Fransiskus (yang mungkin mengacu pada sosok Fransiskus Asisi) bertemu dengan Imam Besar Al-Azhar dari Mesir, menapaki jejak Fransiskus Asisi bertemu Sulatan al-Kamil yang juga dari Mesir. Misi mereka pun sama: mendorong terwujudkan perdamaian dunia.

Kalau dahulu dalam doanya Fransiskus Asisi meminta pada Tuhan untuk menjadi alat perdamaian (Lord, Make Me an Instrument of Your Peace), Paus Fransiskus pun demikian. Inilah yang menjiwai Paus Fransiskus bertemu Imam Besar al-Tayyib. Pertemuan Abu Dhabi paling tidak adalah pertemuan ketiga antara kedua pemimpin itu sejak April 2017, di Cairo kemudian 16 Oktober 2018 di Vatikan.

Permusuhan lebih mungkin terjadi ketika satu orang menjauh dari yang lain dan dibenci. Sebaliknya, perdamaian mendapat kesempatan ketika perpecahan antara orang-orang dijembatani melalui hubungan pribadi. Metode ini—membangun jembatan perdamaian lewat hubungan prabadi yang sering disebut “Metode Fransiskus”—dilakukan pula oleh Presiden AS Ronald Reagan dan pemimpin Uni Soviet Mikhail Gorbachev sebelum pertemuan puncak pada 1980-an. Mereka mendesak setiap orang untuk melihat, memandang orang lain sebagai manusia. Dia mengadopsi metode dari contoh Fransiskus di Mesir. Metode inilah yang juga digunakan Paus Fransiskus. Ia membangun jembatan dengan Imam Besar al-Thayyeb.

Hubungan yang kuat, tulus, muncul dari hati yang bersih dan dalam inilah yang mendasari lahirnya “Dokumen Persaudaraan Manusia untuk Perdamaian Dunia dan Hidup Bersama” yang ditandatangani kedua tokoh besar itu. Apa urgensi penandatangan dokumen bersajarah itu? Sekurang-kurangnya ada dua hal.

Pertama, sebuah kenyataan bahwa  relasi antara umat Islam dan umat Kristiani sejak abad ke-7 Masehi sudah dibayang-bayangi oleh kesalahpahaman dan konflik (memuncak dalam Perang Salib), yang sayangnya masih berlangsung di banyak tempat hingga saat ini, termasuk di negeri kita. Tampaknya, sejarah agama-agama memperlihatkan perpecahan sudah sejak awal perkembangannya. Perpecahan yang tidak jarang disertai dengan kekerasan yang berdarah-darah, penganiayaan, pengusiran, pelanggaran nilai-nilai kemanusiaan, dan peperangan yang bermula dari perbedaan pandangan, penafsiran teks, atau kepentingan lain, termasuk kepentingan politik.

Pertentangan ini tidak saja menyangkut “agama” yang satu terhadap “agama” yang lain yang berbeda, tetapi bahkan dalam sesuatu agama pun, pertentangan bisa terjadi dan menghasilkan perpecahan. Itulah sebabnya, dalam sejarah agama-agama dikenal istilah aliran, bidaah, sekte, skisma, kafir, dan lain-lain, yang memperlihatkan nuansa perbedaan dan permusuhan (A. Sudiardja, Basis, 2017).

Kedua, ini yang lebih penting, yakni adanya kesadaran, malah keyakinan, bahwa kalau umat Islam dan Kristiani bisa saling menerima satu sama lain sebagai saudara dan dengan demikian bisa hidup bersama secara rukun dan damai, saling menghormati, maka perdamaian dunia pasti akan dialami. Hal tersebut persis sama dengan yang disampaikan para cendekiawan Muslim dalam suratnya Paus Benediktus XVI dan para pemimpin Kristiani.

Pada intinya dokumen historis itu mendorong  seluruh pemimpin dunia untuk bekerja sama dalam menyebarkan budaya toleransi, mencegah pertumpahan darah, dan menghentikan peperangan. Dan, mendorong agar manusia lintas iman di seluruh dunia memiliki hubungan yang lebih kuat, hidup berdampingan dengan damai, dan saling menghargai.

Dalam dokumen itu baik Paus Fransiskus maupun Iman Besar al-Thayyib sepakat bahwa jalan menuju persaudaraan manusia universal bukan saja dilakukan melalui langkah-langkah penting seperti berhenti menggunakan nama Tuhan untuk menghalalkan kekerasan, terorisme, dan pembunuhan, tetapi juga berhenti menginstrumentalisasi agama untuk kepentingan-kepentingan pribadi dan kelompok tertentu. Tentu, dalam hal ini, yang juga harus dihentikan adalah termasuk menginstrumentalisasi agama untuk kepentingan politik, menggunakan agama untuk meraih kekuasaan. Kedua tokoh agung itu juga menyerukan dihentikannya menekan orang lain dengan menggunakan kuasa yang berkedok agama.

Kini, kita berharap bahwa langkah historis dua tokoh besar di Abu Dhabi menginspirasi para tokoh agama di mana pun, termasuk di Indonesia, untuk bersama-sama membangun rumah persaudaraan antar-umat beriman, persaudaraan yang tulus, yang murni, dan saling hormat-menghormati. Dan, pada saat yang bersamaan, menerima bahwa pluralisme, termasuk pluralisme agama, adalah kasih karunia ilahi yang harus disyukuri, sebagai pengikat persatuan dan kesatuan untuk menciptakan perdamaian. Barangkali di sinilah arti penting pertemuan Paus Fransiskus dan Iman Besar Al-Azhar Sheikh Ahmad Muhammad al-Tayyib di Abu Dhabi.****

 

*) Artikel ini sudah di Harian Kompas dan Kompas.id pada tanggal 9 Februari 2019.