Home BERITA Meneropong Perjuangan Panjang Kesetaraan Gender

Meneropong Perjuangan Panjang Kesetaraan Gender

Para Narasumber dan anggota Badan Pengurus saat Seminar di Rapat Pleno/ dok: UPPKomunikasi KAS

MIRIFICA.NET – Hari ketiga Rapat Pleno Sekretariat Gender dan Pemberdayaan Perempuan KWI diisi dengan seminar. Bertempat di ruang aula Wisma Syantikara, para peserta rapat diajak menimba ilmu dan inspirasi bersama 4 narasumber. Ketiga narasumber tersebut adalah Prof. Sulistyawati Irianto, Maria Ellysa, RD Paulus Siswantoko, dan bapak Indra Gunawan, S.K.M., M.A, Deputi Partisipasi masyarakat, Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.

“Dari hari pertama dan kedua kita sudah mengungkapkan apa yang terjadi di masing-masing keuskupan dan dilanjutkan dengan apa yang akan kita kerjakan di region masing-masing. Narasumber yang akan membnatu kita memahami bagaimana gambaran situasi masyarakat terkini, fenomena-fenomena yang muncul atasnya. Kita juga perlu mengerti bagaimana situasi politik saat ini juga produk hukum yang ada. Sebagai bagian Gereja, kita pun perlu mengerti bagaimana pandangan Gereja atas persoalan kesetaraan gender dan keadilan agar kita memiliki pondasi dalam melangkah,” ungkap ibu Yuli dalam pengantar sebelum diskusi.

Berbicara tentang kesetaraan gender, hal pertama yang harus disadari adalah jati diri perempuan itu sendiri. Pemahaman dan kesadaran akan jati diri pada akhirnya tidak hanya membawa kita pada pembicaraan tentang kesetaraan, tapi lebih dari itu: keadilan. “Akses keadilan bagi perempuan: sebuah perspektif hukum interdisiplin yang berbeda dimana terdapat reformasi juga hambatan dan dukungan, lalu terkait proses perumusan hukum implementasinya? Maka dengan seperti itu kita harus memiliki akses literasi terhadap hukum, setiap orang harus melek dan paham akan hukum, paham dengan identitas hukum dan bantuan terhadap hukum,” tegas Prof Sulis dalam paparannya.

Maria Ellysa menyampaikan pemaparannya/ Dok: UPPKomunikasi KAS

Persoalan identitas juga mendapat perhatian dari pembicara kedua, Maria Marisa Octaviani. Tanpa kita sadari kita hidup dalam aneka generasi. “Kita hidup dalam 5-6 generasi yang berbeda, hidup berdampingan. Saat ini Indonesia di dominasi 50% lebih banyak orang muda, orang milenial dan orang muda Z,” ungkap mbak Icha yang berasal dari Kalimantan ini. Sebagai bagian dari generasi muda, ia meyakini bahwa butuh kerendahan hati untuk berani masuk ke dunia anak muda agar berbagai persoalan dapat diselesaikan. “Masuk ke dunia anak muda, libatkan orang muda. Dari, oleh, untuk anak muda. Karena kualitas masa depan tergantung dari kualitas orang mudanya,” tegasnya.

Agak mencengangkan ketika berbicara tentang kesetaraan gender dan keadilan dari sudut pandang Gereja. Gereja terkenal dengan hirarki dan sistem patrialkalnya yang kuat. Rama Siswantoko  mengungkapan: “Dalam prakteknya, Gereja sudah sangat sadar dengan kesetaraan gender. Ada banyak dokumen dalam Gereja. Sayangnya, dokumen-dokumen tersebut masih banyak disimpan tanpa dipahami ataupun dibaca”.

Persoalan kesetaraan gender dan keadilan tidak akan selesai ketika hanya dibicarakan. Kesetaraan gender haruslah konkret dan nyata. Hal ini juga ditegaskan oleh Rama Siswantoko, “Bagaimana kita akan beraksi, setelah berbuat apa yang bisa dilakukan, paling tidak setelah rapat pleno ini? Bukan duduk diam, manis, lalu melihat foto-foto. Tentu kita ingin beraksi lebih setelah rapat pleono ini. Saya mengusulkan 5 langkah konkret yang bisa kita buat ke depan. Ke 5 langkah tersebut adalah aksi reflektif, aksi diseminatif, aksi regulatif, aksi advokatif, dan aksi kolaboratif.”

Para Peserta Duduk Menyimak Pemaparan Para Narasumber saat Seminar/ Dok: UPPKomunikasi KAS

Melalui aksi reflektif kita diajak untuk memotret situasi nyata yang ada di sekitar kita. Didalamnya upaya memotret situasi itu, kita juga diajak untuk berani masuk dan menemukan pondasi spiritual. Misalnya melalui dokumen-dokumen Gereja. Dalam aksi diseminatif, kita diajak untuk menanamkan pengetahuan nilai-nilai kesetaraan gender secara lebih sungguh-sungguh. Ini lebih polanya sosialisasi dan edukasi.

Persoalan kesetaraan gender dan keadilan seringkali beririsan dengan persoalan hukum. Untuk itu perlu aksi regulatif. Perlu keberanian untuk bergerak di bidang ini agar produk undang-undang tidak lagi bias gender. Aksi ini juga perlu disertai dengan aksi advokatif. Perlu pelatihan-pelatihan para legal. Gerakan-gerakan ini tentu akan semakin berdampak luas ketika kita berani membangun jejaring. Inilah pentingnya aksi kolaboratif.

Pentingnya aksi kolaboratif juga ditekankan oleh pembicara ke empat, bapak Indra Gunawan. “Kita harus berani membangun sinergi dan kolaborasi. Ini semua untuk mendukung pemberdayaan perempuan,” tuturnya.-UPPKomunikasi KAS