Home OPINI Meninggalkan Gereja Katolik? Syarat, Mekanisme Dan Konsekuensi Yuridis-Pastoral

Meninggalkan Gereja Katolik? Syarat, Mekanisme Dan Konsekuensi Yuridis-Pastoral

Katekese, Katolik, Kitab Suci, Komsos KWI, Konferensi Waligereja Indonesia, KWI, Lawan Covid-19
Ilustrasi: Istimewa

MIRIFICA.NET – Tulisan ini  sama  sekali  tidak  dimaksudkan  untuk  mengajak  umat katolik  untuk  meninggalkan  Gereja  katolik,  melainkan  hanya  sekedar  menjawabi   pertanyaan   seorang  awam  katolik  yang  mengaku  kecewa  setiap  kali mendengar  berita  tentang  orang  katolik  yang   pergi   meninggalkan   Gereja katolik  dan  secara resmi memeluk  agama  atau   kepercayaan lain.  Ia  juga  mengaku terkejut  karena  ada  yang mengatakan  bahwa  Gereja katolik  tidak  melarang  hal tersebut  sejauh  memenuhi  syarat dan mengikuti prosedur tertentu. Apakah  benar demikian? Jika ya, apakah  ada konsekuensinya?

Jawaban  yang  kami  berikan  ini  lebih  bersifat  teknis  yuridis  dengan  berpijak  pada  Kitab  Hukum  Kanonik  dan  praksis yang  ada  dalam  Gereja katolik.  Apa  yang  menjadi  alasan  seseorang  meninggalkan agama katolik (apakah karena   terbius oleh  daya pikat pemikiran  sekularistik yang mendewa-dewakan  kebebasan  pribadi  atau  karena  kekecewaan  terhadap  pelayanan  para gembala  Gereja  yang  tidak  menjawabi  kebutuhan  konkrit umat beriman,  atau  karena  pertimbangan  pragmatis  tertentu)  tidak menjadi  fokus  perhatian kami.

Meninggalkan  Gereja  Katolik

Dalam Gereja katolik pernah dikenal istilah “tindakan formal meninggalkan Gereja katolik” (actus formalis  defectionis  ab ecclesia catholica). Dengan  tindakan formal ini, yang bersangkutan keluar  dari persekutuan iman, sakramen, dan pemerintahan gerejawi. Istilah yuridis ini  termuat  dalam Kitab Hukum Kanonik  kan. 1086, §1, kan. 1117, kan. 1124 yang berbicara  tentang  perkawinan.

Namun  sejak  dikeluarkannya  motu proprio Omnium in mentem  Paus Benediktus XVI pada tahun 2009, istilah  ‘tindakan formal”  meninggalkan Gereja katolik  dihapus atau tidak lagi tercantum  dalam Kitab Hukum Kanonik. Sekalipun demikian, tindakan meninggalkan Gereja katolik secara terbuka atau dikenal secara publik masih tetap mungkin sebagaimana secara eksplisit  disebut dalam Kitab Hukum Kanonik dengan istilah “yang secara terbuka meninggalkan  persekutuan  Gereja” (kan. 171, §1, 5°); “yang  secara  publik  meninggalkan iman katolik  atau  persekutuan  Gereja (kan. 194, §1, 2°; kan. 316, §1; 694, §1, 1°).

Pertanyaan adalah jika seorang katolik secara terbuka atau secara publik mau meninggalkan iman  katolik  atau  persekutuan Gereja, apakah ada syarat-syarat dan mekanismenya? Lalu apakah ada konsekuensinya? Dalam Kitab Hukum Kanonik 1983 tidak ditemukan ketentuan yang  secara eksplisit  berbicara tentang  syarat dan mekanisme terkait hal ini. Namun hemat kami, dengan penyesuaian seperlunya, berbagai syarat dan mekanisme yang dahulu dituntut dalam hubungan  dengan  “tindakan formal meninggalkan Gereja katolik” dapat juga diterapkan dalam kasus orang katolik yang secara terbuka atau secara publik mau meninggalkan iman katolik atau persekutuan Gereja.

Syarat

Keputusan  untuk  secara terbuka atau secara publik meninggalkan iman katolik atau persekutuan Gereja adalah sesuatu hal yang  sangat serius. Secara yuridis, keputusan seperti ini  serius  hanya dapat  dilakukan  oleh  orang  dewasa  yang  mampu  melakukan tindakan yuridis (KHK, kan. 124). Dengan kata lain, tidak dilakukan oleh anak di bawah umur.

Berkait dengan hal ini ada  tiga syarat mendasar yang dituntut, yakni pertama, tindakan  tersebut merupakan  produk  kemauan yang didasarkan atas  pertimbangan  akal sehat. Seseorang harus sungguh-sungguh menghendaki hal tersebut dan mengetahui  apa yang menjadi pokok atau substansi keputusannya; kedua, tindakan tersebut merupakan sebuah aktus deliberatif. Suatu tindakan mendapat kualifikasi deliberatif jika hal tersebut merupakan produk dari sebuah  keputusan  yang  sadar  dan penuh  tanggungjawab. Secara  sederhana   hal ini  berarti  bahwa  ketika  misalnya  si  Bijok  mengambil  keputusaan  untuk secara terbuka atau secara publik meninggalkan iman katolik atau persekutuan Gereja, ia  tidak  sedang berada  dalam  keadaan  sakit ingatan, mabuk, mengigau  atau dibawah  pengaruh  obat-obatan tertentu  yang mempengaruhi  kesadaran kritisnya; ketiga, adanya kebebasan, artinya  tindakan  untuk tersebut dibuat tanpa ketakutan  atau paksaan  dari  pihak eksternal tertentu (KHK, kan. 125).

Mekanisme  Prosedural

Pemenuhan berbagai syarat yang dituntut sebagaimana diuraikan secara singkat di atas tidak dengan sendirinya berarti bahwa proses selesai. Masih ada tahap selanjutnya yang harus dilewati, yakni:

Pertama, yang bersangkutan mengajukan  surat  permohonan tertulis  kepada otoritas gereja yang berwenang, casu quo  pastor paroki  asal  pemohon  tempat ia dibaptis.  Jadi, tidak sekedar keinginan  semata-mata  untuk  meninggalkan  Gereja katolik  tetapi harus dinyatakan  secara hitam putih.  Dalam  surat  permohonan  tersebut  harus dinyatakan  secara jelas   alasan meninggalkan Gereja katolik. Surat permohonan tersebut harus ditandatangani sendiri di atas meterai  oleh  pemohon  dan  melampirkan fotocopy kartu identitas yang original.

Kedua, pastor paroki  melakukan  penyelidikan  untuk  memastikan identitas pemohon. Jika ternyata bahwa  yang bersangkutan  tidak dibaptis di paroki  tersebut maka permohonannya tidak dapat diproses lebih lanjut dan hal ini perlu disampaikan kepada pemohon. Sebaliknya, jika yang bersangkutan benar-benar dibaptis di paroki tersebut, maka pastor paroki dapat melanjutkan  proses  ke tahap  berikutnya  dengan   mengirimkan  fotocopy  surat permohonan yang bersangkutan kepada  Ordinaris Wilayah.

Ketiga, Ordinaris Wilayah, baik  secara pribadi  maupun melalui  delegasi yang ditunjuknya secara langsung, menyelidiki lebih lanjut permohonan  tersebut, menilai  entakah hal  tersebut  sungguh-sungguh dikehendaki, disadari  dan  selanjutnya  memberikan  tanggapan  secara tertulis. Dalam surat tanggapan tersebut, Ordinaris Wilayah  harus  mengingatkan pemohon akan berbagai konsekuensi dari  keputusannya dan meminta untuk merefleksikan kembali keputusannya dengan tenang  sekaligus memberinya  waktu  limabelas hari untuk menanggapi surat  tersebut dan  memintanya  datang  bertemu  secara  pribadi  dengan  Ordinaris Wilayah atau delegasinya. Jika dalam  waktu yang ditentukan yang  bersangkutan  tidak  memberikan tanggapan  apapun dan tetap bertahan dengan keputusannya, maka proses dapat dilanjutkan ke tahap berikutnya.

Keempat, Ordinaris  Wilayah  memerintahkan  pastor paroki  melalui surat resmi  untuk membuat  catatan  khusus dalam  buku  baptis   pemohon  bahwa yang bersangkutan telah meninggalkan Gereja katolik  sejak tanggal sebagaimana  tertera dalam surat Ordinaris Wilayah.  Jadi, dalam buku baptis, nama yang bersangkutan tidak dicoret mengingat karakter ontologis dan permanen dari sakramen baptis yang tidak dapat hilang atas alasan apapun.

Kelima,  Ordinaris Wilayah, melalui  sekretaris Keuskupan, memberitahukan  kepada pemohon  melalui  surat   bahwa  permohonannya  untuk meninggalkan Gereja katolik  diterima oleh otoritas gereja yang berwenang, dan  telah  dicatat  pada  buku baptis di paroki asalnya. Dalam surat tersebut dicantumkan juga  berbagai  konsekuensi yuridis-pastoral dari tindakannya.

Konsekuensi Yuridis-Pastoral

Setiap tindakan yang sadar dan bertanggungjawab memiliki  konsekuensi tertentu, termasuk  tindakan secara terbuka atau secara publik meninggalkan iman katolik atau persekutuan Gereja. Secara yuridis-pastoral  terdapat  sejumlah konsekuensi yang  harus  diperhatikan  secara  serius,  antara lain: pertama,  yang bersangkutan dianggap tidak mampu memberikan suara dalam pemilihan kanonik (kan. 171, §1, 5°); kedua, jika yang bersangkutan mengemban jabatan gerejawi, maka ia diberhentikan demi hukum itu sendiri dari jabatan tersebut (kan. 194, §1, 1°); ketiga, tidak dapat diterima secara sah dalam perserikatan-perserikatan publik umat beriman kristiani (kan. 316, §1); keempat, jika yang bersangkutan adalah seorang anggota tarekat religius, ia dikeluarkan dengan sendirinya dari tarekat (kan. 694, §1).

Selain itu, beberapa konsekuensi lain yang hemat kami dapat juga diterapkan terhadap mereka yang secara terbuka atau secara publik meninggalkan iman katolik atau persekutuan Gereja adalah sebagai berikut: pertama, dalam hubungan dengan sakramen baptis dan penguatan, yang bersangkutan  dilarang untuk  mengemban  tugas sebagai bapa/ibu baptis atau penguatan (bdk. kan. 874, §1, 4°;  kan. 893, §1).  Larangan ini berkaitan dengan  ‘status baru’ yang dimiliki oleh yang bersangkutan yang jelas tidak akan dapat memenuhi tugasnya dalam mendampingi calon baptis atau calon penguatan dalam inisiasi kristiani dan mengusahakan agar yang dibaptis dan menerima sakramen penguatan menghayati hidup kristiani yang sesuai  dengan baptisannya dan memenuhi dengan setia berbagai kewajiban yang melekat pada baptis itu serta bertindak sebagai saksi Kristus  yang sejati (bdk. kan. 872, kan. 892); kedua, dalam  hubungan dengan sakramen perkawinan, yang bersangkutan  membutuhkan izin Ordinaris Wilayah  untuk  dapat  menikah  secara gerejawi (bdk. kan. 1071, §1, 5°); ketiga, dalam hubungan dengan pemakaman gerejawi, yang bersangkutan, jika meninggal dunia, tidak diberi pemakaman secara gerejawi,  kecuali sebelum meninggal menunjukkan suatu tanda penyesalan (bdk.kan. 1184, §1); keempat, yang bersangkutan dilarang merayakan sakramen dan sakramentali, serta dilarang  menyambut sakramen-sakramen (kan. 1331, §1, 2°; 915).

Penutup

Gereja  menghormati  dan menjunjung  tinggi  kebebasan  umat  beriman, termasuk dalam hubungan dengan  meninggalkan Gereja Katolik, walau pun hal ini tidak diharapkan terjadi. Namun jika hal ini terjadi maka  berbagai  syarat dan  mekanisme  prosedural  sebagaimana  yang diuraikan secara singkat di atas harus diperhatikan. Termasuk  merefleksikan secara serius berbagai  konsekuensi  yuridis-pastoral dari tindakan tersebut.

Ketika  saya  hendak  mengakhiri tulisan kecil ini, saya  teringat  akan  pertanyaan  Yesus kepada para rasul  ketika banyak murid  mengundurkan  diri  dan  meninggalkan  Dia: “Apakah kamu  mau  pergi  juga”?  Sebagai  orang  yang  telah  dibaptis  secara katolik, tidak  ada  jawaban lain selain  mengamini  jawaban  Petrus:  “Tuhan,  kepada  siapakah  kami akan pergi ? Perkataan-Mu adalah perkataan hidup yang kekal. Kami telah percaya dan tahu  bahwa  Engkau adalah Yang Kudus dari Allah”.  Atau Anda (yang telah dibaptis katolik)  punya jawaban lain?