Home OPINI Menjadi Misionaris Di Tengah Carut Marut Digital

Menjadi Misionaris Di Tengah Carut Marut Digital

pksn kwi 2019

Menjadi misionaris digital di tengah carut marut dunia digital adalah sebuah kemendesakkan. Era digital di satu sisi telah membawa banyak kemajuan bagi hidup manusia. Namun di sisi lain ada realitas destruktif yang turut dibawanya. Era digital secara perlahan membentuk manusia bertipe individualis. Hal ini disebabkan oleh jarangnya komunikasi verbal dalam dunia nyata. Manusia cenderung nyaman dalam kelengkapan informasi dan kemudahan-kemudahan yang dibawa era digital.

Kenyamanan dalam ilusi dunia virtual itu membentuk pribadi manusia yang mengacuhkan kehadiran yang lain. Segala hal dapat diakses lewat piranti-piranti digital, sehingga komunikasi bersama yang lain dapat ditangguhkan. Lagipula lewat piranti elektronik manusia tetap dapat melakukan komunikasi bersama yang lain. Seiring berjalannya waktu fenomena ini akan menciptakan manusia yang selalu bertindak berdasarkan keinginan pribadi. Orang lain dianggap sebagai instrumen semata. Tidak ada rasa memiliki sebagai sesama anggota komunitas.

Realitas dunia digital pada sisi gelapnya menggambarkan wajah komunitas yang tidak memiliki kasih. Kasih Allah absen di sana. Setiap orang datang dengan kepentingan pribadinya. Maka untuk itu diperlukan orang-orang yang mau untuk mendobrak kebobrokan tersebut. Orang-orang yang mau membawa kasih Allah masuk ke tengah carut-marutnya dunia digital.

Tulisan ini hendak membahas dampak negatif dari penemuan teknologi dan upaya menanggulanginya. Pada bagian pertama akan disajikan tentang paradoks dunia digital. Bagian berikutnya akan membahas tentang pentingnya kasih Allah sebagai inspirasi komunitas. Dan pada bagian solusi penulis menawarkan akan pentingnya kehadiran misionaris digital yang akan membawa kasih Allah ke tengah carut marut dunia digital.

II. Komunitas Era Digital : Antara Prestasi dan Ironi

Mengenai tujuan kehadirannya, penemuan di bidang teknologi digital berkaitan erat dengan membuka kreativitas, memecahkan masalah dan meningkatkan efektivitas serta efisiensi kerja manusia (http://www.pengertianpakar.com/2015/02/pengertian-fungsi-dan-tujuan-teknologi-informasi.html# diakses pada tanggal 28/02/2019). Kehadirannya kemudian semakin mendesak dengan fenomena multitasking. Kendati demikian di sana kita juga menemukan paradoks.

Di bidang komunikasi misalnya, sekat ruang dan waktu bukan lagi menjadi masalah serius. Komunikasi dapat dibangun dengan siapa saja dari belahan dunia lain via piranti digital seperti mobile phone dan internet. Fenomena ini pernah diutarakan oleh E.M. Forster, yakni era di mana orang bisa meletakkan seluruh hidup mereka di dalam kamar, serentak bersentuhan terus menerus dengan dunia secara elektronik (Yohanes Sevi Dohut,2013). Kehadiran menubuh tidak lagi menjadi tuntutan utama. Namun di sana kita juga menemukan masalah. Era digital membuat durasi interaksi dengan dunia nyata seseorang menjadi terbatas. Ketidakhadiran tubuh konkret dalam berkomunikasi membuat komunikasi verbal menjadi jarang. Hal ini kemudian melahirkan apa yang disebut Paus Fransiskus “pertapa sosial”. Manusia menjadi individualis, mengabaikan sesama di sekitarnya. Tendensi ini kemudian semakin kuat dengan adanya identitas virtual.

Identitas virtual memungkinkan penyajian informasi yang tidak bertanggung jawab. Dengan Identitas ganda yang tidak perlu mengacu pada identitas nyata, seseorang dapat dengan mudah bersembunyi guna mengelabui objek sasarannya. Identitas virtual memungkinkan satu pribadi memiliki lebih dari satu identitas (Judith, 1996:65). Dia bercorak impersonal. Kendati impersonal, manusia justru nyaman dengan hal tersebut. Karena lewat identitas virtual seseorang dapat melakukan apa saja tanpa perlu takut identitasnya ketahuan. Eksplorasi imajinasi menjadi absolut tanpa memikirkan dampaknya. Identitas virtual kemudian menciptakan celah terbentuknya habitus kedangkalan berpikir lewat banalitas informasi yang tidak valid. Semuanya sarat kepentingan. Dia bersifat egois akibat dari tendensi individualisme itu sendiri.

Celah yang telah dibuat identitas virtual itu menemukan wadahnya yang cocok lewat corak matematis dunia digital. Dengan corak matematis, homo digitalis dikendalikan, berfungsi, dan beradaptasi dengan iklim teknologi digital (Hardiman, Kompas 01/03/2018). Dunia digital memiliki algoritma tersendiri dalam menyajikan suatu konten kepada netizen. Pola itu dapat kita lihat dengan pilihan-pilihan terbatas yang ada di sana. Mengklik tombol subscribe misalnya, membuat konten yang disajikan sebuah akun akan terus muncul di pemberitahuan subscriber, tidak peduli itu hoaks atau tidak. Maka di sana ada informasi dengan pola satu arah (tanpa informasi pembanding), yang bila secara terus menerus ditampilkan akan dianggap sebagai berita yang benar. Pada tataran yang ekstrim seseorang akan memperjuangkan kebenaran maya tersebut di dunia nyata.

Ketua tim Peneliti Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan LIPI, Cahyo Pamungkas mengatakan bahwa sejumlah fenomena intoleransi muncul secara sistematis dan dibuat oleh kelompok tertentu. Tujuannya, menciptakan narasi negatif yang telah berimplikasi pada dekonstruksi makna dan semangat kebangsaan. (https://m-republika-co-id.cdn.ampproject.org diakses pada tanggal 03/03/2019). Hoaks misalnya menjadi sarana favorit oknum-oknum tak bertanggungjawab tersebut. Hoaks bukan menjadi rahasia lagi dapat menyebabkan disintegrasi bangsa juga aksi-aksi intoleran yang anarkis. Di Indonesia misalnya kita telah sering menyaksikan berita aksi-aksi anarkis yang bermula dari pesan berantai atau kabar burung yang tidak divalidasi kebenarannya.
Fenomena di atas sering bermula dari jagat media sosial. Tindakan ini dilakukan secara sadar sambil menutup kemungkinan pertanggungjawaban penyaji konten. Banalitas informasi yang mengandung hoaks itu disajikan lewat pola satu arah (tanpa membuat pembandingan) sehingga di kemudian waktu dapat dipandang sebagai kebenaran. Media sosial menjadi lahan mencari keuntungan pribadi lalu mengabaikan substansi dari sebuah masyarakat yakni rasa sebagai sesama anggota. Seseorang menginisiasikan diri dalam sebuah komunitas bukan demi kemajuan bersama melainkan demi kepentingan pribadi semata.

III. Kasih Allah sebagai Inspirasi Komunitas

Komunitas sejatinya adalah tempat orang saling memberi perhatian. Dietrich Bonhoeffer pernah berujar “orang yang mencintai komunitas menghancurkan komunitas; sementara orang yang mencintai saudara-saudaranya membangun komunitas” (Suharyo, 2005). Rasa cinta terhadap sesama dalam komunitas dapat kita temukan inspirasinya dari kasih Allah yang tiada batas.

Komunikasi dari kaum beriman tentu meneladani Allah sebagai inspirator utama. Komunitas berlandaskan kasih Allah dibangun atas kesadaran akan Allah yang Maha pengampun, dan penyayang. Inspirasi kasih Allah ini kemudian mengarahkan manusia pada suatu persekutuan berdasarkan kasih yang tanpa pamrih, bukan berlandaskan egoisme yang cinta diri. Berlainan pendapat atau pandangan tidak serta merta membentuk suatu kubu oposisi yang dapat menyebabkan pertikaian.

Metafor tubuh Paulus menggambarkan bagaimana kasih bekerja mempersatukan perbedaan. Tubuh tidak mampu bekerja jika masing-masing bagian berjalan dengan egoismenya masing-masing. Karena bertenggang rasa maka semuanya bekerja sama membangun suatu keharmonisan. Dengan berlandasakan kasih Allah yang sama itu pula orang tidak akan jatuh pada individualisme maupun pemelintiran fakta demi kepentingan pribadi. Dengan berinspirasi pada kasih Allah setiap orang akan saling bertenggang rasa, mencintai sesama anggota untuk membentuk komunitas yang toleran. Komunikasi dalam masyarakat digital pun tidak sekedar relasi ingat diri, melainkan dibangun atas paradigma subjek-subjek.

Berlandaskan kasih Allah komunikasi tidak akan menimbulkan kecurigaan, sebab ada saling percaya sebagai sesama anggota. Instrumentalisasi terhadap yang lain juga menjadi mustahil karena setiap anggota sadar sebagaimana tubuh, satu anggota yang terluka maka semua akan merasa terluka. Hemat saya inilah substansi yang kurang dari masyarakat digital. Masing-masing orang masih terkungkung oleh sistem yang dibentuk oleh algoritma dunia digital. Kita hanya menemukan manusia yang merasa nyaman dengan hal itu, terutama karena status secret identity yang membuat orang dapat semena-mena melakukan sesuatu. Untuk menghadapi itu kita membutuhkan misionaris-misionaris dunia digital yang mau membawa kasih masuk ke dalam dunia digital.

IV. Menjadi Misionaris Dunia Digital

Siapa itu misionaris dunia digital? Seberapa pentingnya peran Misionaris dunia digital dalam membawa peradaban kasih? Dalam KBBI kata misionaris diartikan sebagai orang yang melakukan penyebaran Injil kepada orang lain yang belum mengenal Kristus (http://kbbi.co.id/arti-kata/misionaris diakses pada 03/03/2019). Secara historis defenisi ini merujuk pada pengertian di kalangan Gereja Kristen. Pada lingkungan gereja awal kata misionaris belum menemukan maknanya yang tetap. Kata itu baru mendapat maknanya yang kemudian dikenal hingga sekarang lewat St. Ignatius Loyola dan ordo Yesuit. Kata misionaris memiliki kaitan erat dengan perutusan ke suatu tempat tertentu untuk mewartakan injil kepada siapa saja baik orang Kristen maupun non-Kristen. Seiring dengan perkembangan semantik terhadap kata misi di lingkungan Prancis, kata misionaris juga mengalami perkembangan. Kata misi dan misionaris kemudian digunakan dalam artian perutusan untuk penyebaran iman;pertobatan orang kafir;pewartaan kabar gembira ke seluruh dunia, memperkenalkan iman kepada yang tidak mengenalnya (Olla, 2008:32-37).

Saya tidak hendak mengadopsi secara menyeluruh mengenai kata misionaris itu sendiri. Tanpa hendak mengabaikan defenisi leksikal dari kata tersebut, dalam konteks dunia digital misionaris digital dapat dipahami sebagai seorang nabi kebenaran yang sanggup menghadirkan kasih dalam komunitas digital. Mereka harus mampu memperkenalkan tentang kasih Allah yang tanpa pamrih itu kepada masyarakat digital. Dari pengenalan ini ada sebuah intensi bahwa masyarakat digital mampu mengubah konsep berpikir mereka dalam hidup berkomunitas di dunia digital. Dunia digital tidak boleh dipandang lagi sebagai sarana kepentingan diri semata, melainkan dunia di mana setiap orang saling memberi diri dan saling melengkapi dalam perbedaan.

Menjadi misionaris di dunia digital tentu bukanlah hal yang mudah. Sebab seseorang masuk ke dalam dunia yang mana “ilusi” telah mendahului yang nyata. Fenomena kekerasan,intoleransi, terorisme, hoaks dan sebagainya adalah contoh nyata dari ilusi yang telah mengelabui tersebut. Banyak orang yang tidak paham konsep kasih Allah sehingga individualisme dan egoisme masih mendominasi. Terhadap realitas ini seorang misionaris digital memerlukan bekal yang baik. Hemat saya ada tiga hal yang patut dijadikan pedoman utama: pertama, seorang misionaris digital harus benar-benar membawa Allah. Dalam realitas tak menubuh, agak sulit menangkap momen ketika berkomunikasi dengan orang. Demikian pula akibat identitas virtual seseorang terus menaruh curiga terhadap yang lain tidak peduli dengan isi pewartaannya. Persiapan pertama yang harus dipegang erat oleh para misionaris adalah kesadaran bahwa Allah sendirilah yang mengutus dan bekerja dalam diri mereka. Dengan Allah yang turut mendampingi, seorang misionaris tidak akan pernah merasa gentar dan merasa putus asa. Kedua, literasi digital. Dalam menjalankan misinya para misionaris digital pasti akan menggunakan piranti-piranti elektronik sebagai sarana utama. Bukan tak mungkin dalam proses ini seorang misionaris juga dapat jatuh pada lubang yang sama. Oleh karena itu literasi digital amatlah penting. Seorang misionaris harus terlebih dahulu mengenal carut-marut dunia digital. Dari sana dia dapat membuat pertimbangan terkait konten-konten apa yang harus diwartakan. Seorang misionaris digital haruslah menjadi orang pertama yang cerdas menggunakan perangkat-perangkat teknologi. Ketiga, rasa sebagai sesama anggota. Dengan berinspirasikan kasih Allah seorang misionaris digital harus menganggap yang lain sebagai sesama anggota sebelum melakukan pewartaan. Hanya dengan adanya kesadaran inilah maka pewartaan oleh misionaris digital dapat mengena pada tujuan utamanya yakni membawa kasih di tengah-tengah carut marut dunia digital.

DAFTAR PUSTAKA

Dohut, Yohanes Servi. “Masyarakat Digital, Telepresence, dan Inkarnasi”. Jurnal Driyarkara, Th. XXXIV, No. 3, Tahun 2013.
Donath, Judith. Identity and Deception in The Virtual Community. MIT Media Lab. London: Routledge, 1996.
Hardiman, “Homo Digitalis”.Kompas, 01/03/2018.
Olla, Paulinus Yan. Dipanggil Menjadi Saksi Kasih. Yogyakarta: Kanisius, 2008.
Suharyo, I. (ed.). Komunitas Alternatif; Hidup Bersama Menebarkan Kasih. Yogyakarta: Kanisius, 2005.
Internet
http://kbbi.co.id/arti-kata/misionaris diakses pada 03/03/2019.
http://www.pengertianpakar.com/2015/02/pengertian-fungsi-dan-tujuan-teknologi-informasi .html# diakses pada tanggal 28/02/2019.
https://m-republika-co-id.cdn.ampproject.org diakses pada tanggal 03/03/2019.

gambar: 

Penulis: Jimmy Yohanes Hyronimus

Ditulis dalam rangka Lomba Esai PKSN KWI 2019