Home OPINI Merangkai A, D, E, I, P, R, S Menjadi ASPIRED, Bukan DESPAIR

Merangkai A, D, E, I, P, R, S Menjadi ASPIRED, Bukan DESPAIR

pksn kwi 2019

Suatu hari saya mengirim pesan singkat ke teman saya yang berisi, “Hari ini aku di xx (nama tempat) jam 3 sore. Kalau bisa nyusul saja.” Tidak lama kemudian teman saya membalas, “Oke, nanti aku susuk kok.”

Saya yakin kita semua pernah menemukan kalimat ambigu atau kata-kata yang salah dalam penulisan maupun pengucapan seperti pengalaman saya di atas. Apa reaksi kita ketika menemukan hal-hal tersebut? Sebagian dari kita bisa jadi menganggap hal tersebut biasa saja dan segera memikirkan kata yang benar. Sebagian yang lain mungkin tertawa, ada juga yang kaget, bahkan marah, sehingga menimbulkan konflik karena kesalahpahaman. Beragam reaksi yang muncul dapat dimaklumi karena setiap orang memiliki persepsi mereka masing-masing terhadap informasi yang diterima berdasarkan pengalaman pribadi yang tentunya juga berbeda-beda.

Pengalaman saya lain yang terkait dengan kata-kata terjadi ketika SMP. Waktu itu, teman kelas saya ikut peminatan mata pelajaran Matematika. Sebagai tugas, ia diminta gurunya untuk membuat tiga contoh anagram dari satu kata kemudian diubah menjadi lima kata baru. Selama dia mengerjakan, saya hanya duduk di sampingnya dan memperhatikan bagaimana dia mengerjakan tugasnya. Hanya sebatas itu dan pengalaman sederhana itu kemudian menguap tanpa ada maknanya. Akan tetapi setelah delapan tahun saya menyimpan pengalaman tersebut, kini saya dapat menyimpan pengalaman tersebut menjadi sebuah permenungan yang dalam. Dan permenungan itu yang sekarang ingin saya angkat dan bagikan dalam tulisan ini, yaitu tentang peran huruf dan kata.

Banyak peristiwa yang berkaitan dengan ujaran kebencian, berita hoax, dan perang verbal yang terjadi di berbagai media massa, salah satunya media sosial. Hal tersebut menjadi konsumsi publik yang melelahkan bagi siapapun yang mengikuti dan bahkan bagi siapapun yang terlibat. Kebenaran dan kesesatan pun menjadi sesuatu yang sulit untuk dipisahkan karena setiap informasi yang ada terkesan memiliki kebenaran. Paus Fransiskus (2019), dalam surat yang ditulis pada Hari Komunikasi Internasional, menyebutkan bahwa internet dan kehidupan berjejaring di dunia maya membuat kita dapat mengakses banyak hal, sehingga pengetahuan dan relasi antarmanusia semakin luas. Akan tetapi dalam kehidupan berjejaring itu pula, manusia dapat mendiskreditkan sesamanya dan menyebarkan berita-berita yang melukai ataupun menyesatkan orang lain.

Salah satu peristiwa terbaru yang menyita perhatian publik internasional adalah terorisme yang terjadi di Christchurch, Selandia Baru pada hari Jumat, 15 Maret 2019. Hardoko (2019), dalam tulisannya yang dimuat di Kompas.com, melaporkan bahwa setidaknya ada empat orang yang terlihat tergeletak di lantai masjid ketika peristiwa berlangsung. Banyak orang berkomentar dan mulai berspekulasi atas peristiwa ini. Saya pribadi mencoba mengikuti dan memperhatian kolom komentar berita pada salah satu media sosial yang saya pakai. Saya menemukan banyak orang terlibat dalam percakapan yang menyerang kelompok tertentu dan saling menyalahkan. Ada juga orang-orang yang justru disudutkan ketika mencoba memberi informasi terbaru maupun menengahi.

Kita yang melihat peristiwa tersebut tentunya merasa miris karena sebagai sesama manusia, yang seharusnya saling menjaga dan tolong-menolong, kita justru saling menyakiti. Kata-kata yang disampaikan oleh orang yang mungkin tidak kita kenal, dapat menjadi penyulut api konflik yang sulit untuk dipadamkan. Keyakinan bahwa Allah menciptakan segala sesuatunya sungguh amat baik (Kej. 1:31), kini menjadi sebuah keraguan karena berbagai macam kerusakan dan kekacauan yang kita rasakan sehari-hari. Maka, tidak heran jika pada akhirnya banyak orang memilih diam dan berharap bahwa waktu akan menghapus semuanya.

Kita adalah ciptaan Allah yang secitra dengan-Nya (Kej. 1:27). Kita mendapat tugas untuk menjaga apa yang telah disediakan Allah ketika menciptakan bumi ini (Kej. 1:1-31). Betapa kita adalah manusia yang durhaka kepada Allah jika kita melupakan dan mengabaikan tugas perutusan sebagai penjaga segala sesuatu yang telah dipercayakan pada kita. Masing-masing dari kita diciptakan di dunia ini dengan peran tertentu, tetapi memiliki tujuan yang sama, yaitu menciptakan kehidupan yang damai. Oleh karena itu, bagaimanapun juga kitalah yang harus bertindak dan menjadikan yang kacau ini damai dan tertata kembali.

Ajakan saya hanya sederhana dalam menghadapi setiap peristiwa yang melelahkan tersebut. Jika diibaratkan dengan huruf, kita memiliki identitas yang berbeda-beda namun setara. Ada yang menjadi huruf A, huruf B, hingga huruf Z, dan bahkan tanda baca maupun angka-angka yang sangat beragam. Pada akhirnya, kita tetap harus menjalin relasi dengan huruf dan tanda baca yang lain agar dapat menciptakan sebuah kata atau kalimat yang bermakna. Jangan sampai, misalnya, sesuatu yang seharusnya dapat kita anggap sebagai seni (arts) justru menjadi sesuatu yang omong kosong (rats).

Bermakna atau tidaknya kita dalam sebuah rangkaian huruf tergantung dari bagaimana kita mengomunikasikannya dengan orang lain. Terlebih jika sampai ada kesalahan dalam merangkai kata, seperti “susul” menjadi “susuk”, bisa jadi kita masih belum paham peran yang kita miliki dan situasi lingkungan kita, sehingga pesan yang ingin disampaikan menjadi salah. Pada dasarnya, marilah kita mengenali peran dan lingkungan kita terlebih dahulu sebagai anggota komunitas yang tinggal bersama di rumah bernama bumi ini. Hal tersebut penting agar kita tidak mengusir huruf yang sudah benar berada di posisinya atau kita sendiri yang salah dalam menempatkan diri.

Kita tidak akan kesulitan dalam menjalin komunikasi dengan tujuan apapun, di manapun, serta melalui media apapun ketika kita dapat mengenali diri dan lingkungan, termasuk orang-orang di sekitar kita. Peristiwa maraknya ujaran kebencian, berita bohong, dan perang komentar dalam berbagai lini kehidupan tidak akan menggoyahkan kita sebagai anggota komunitas jika komunikasi dapat berjalan dengan baik. Terlebih, jika kita dapat memanfaatkan berbagai media yang kini tersedia demi terciptanya ungkapan dan ajakan perdamaian, maka internet, media sosial, dan teknologi yang ada sungguh menyatukan kita sebagai ciptaan-Nya yang sempurna. Melalui celah yang ada dan semangat persaudaraan dalam kasih, kita tidak lagi hanya diam melihat semua peristiwa itu, namun kita akan tergerak mencari dan mengajak orang lain yang sesuai dengan porsinya untuk menyuarakan setiap pesan damai. Dengan begitu, jejaring di dunia maya dan dunia nyata juga akan menjadi jejaring cinta kasih yang sulit untuk diputus.

Pada akhirnya, pesan damai yang disuarakan akan menjadi bermakna ketika kita hidup dan menghidupi peran kita dalam jaringan kemanusiaan, sehingga pesan tersebut menjadi lebih kuat untuk mengalahkan berbagai hal negatif yang kini sedang marak. Dengan begitu, kata despair (putus asa) yang saat ini menguasai banyak orang karena situasi global yang begitu kacau, dapat kita perbaiki bersama. Harapannya, akan muncul kata aspired (bercita-cita/ berharap) di antara kita untuk terus memperbaiki dan menjaga perdamaian yang dirindukan oleh banyak orang dalam tataran lokal maupun global.

Hanya di dalam Allah-lah harapan kita. Usaha kita tidak akan sia-sia selama kita berjuang demi menjaga keutuhan ciptaan-Nya yang dipercayakan kepada manusia. Dengan kata lain, jika kita adalah ciptaan-Nya, maka kita juga selayaknya sadar bahwa kita memiliki tugas untuk saling menjaga dan melindungi dalam kasih yang menyelamatkan. Melalui komunikasi yang menyatukan dan usaha bersama, kita boleh terus berharap bahwa karya keselamatan akan tetap berlangsung hingga akhir zaman, sehingga segala sesuatu yang mengandung kata mean (jahat) dapat kita susun ulang bersama-sama menjadi amen (percaya).

Daftar Pustaka
Fransiskus. (2019). “Kita adalah sesama anggota” (Ef 4:25). Berawal dari komunitas jejaring sosial menuju komunitas insani. Tahta Suci.
Hardoko, Ervan. (2019). Suara tembakan terdengar dekat sebuah masjid di selandia baru. Diunduh dari https://internasional.kompas.com/read/2019/03/15/09153621/suara-tembakan-terdengar-dekat-sebuah-masjid-di-selandia-baru, pada 17 Maret 2019, pukul 13.42 WIB.

Ilustrasi: Nicholas Pudjanegara

Penulis: Rosalia Tatiana Govitkeva

Ditulis dalam rangka Lomba Esai PKSN KWI 2019