Beranda OPINI “Jatuh dalam Penantian Panjang”

“Jatuh dalam Penantian Panjang”

Keluarga Katolik mengatasi masalah kesepian, www.hidupkatolik.com

 

  “Jatuh dalam Penantian  Panjang”

( Mesbah kudus suami istri – 3 )

IBU Anita  ditinggal pergi oleh Boli suaminya setahun setelah mereka menikah.  Anita berjuang sendiri membesarkan anak mereka, satu-satunya buah kasih dengan suaminya si Boli.   Enam tahun sudah  Boli tidak pernah  mengirim surat atau berita tentang keberadaan dan perkembangan pekerjaannya di tanah rantau Sabah-Malaysia.  Dalam kesepian itu, Anita akhirnya jatuh cinta dengan  seorang pemuda. Mereka  memadu kasih. Anita mengandung dan melahirkan  anak buah kasihnya dengan si  Loli pasangan barunya.

Hidup selanjutnya  memang menyedihkan.  Anita terpaksa menanggung rasa malu.  Bagaimanapun juga ia harus memikul beban itu membesarkan dua anak.  Sepuluh tahun sudah ia  hidup dalam suatu masa penantian yang melelahkan!  Suaminya si Boli seakan telah mati di Malaysia.  Tetapi siapa yang menjadi saksi kematian itu agar Anita boleh menikah lagi??

Persoalan ekonomi dan tempat tugas selalu menjadi alasan memisahkan mereka. Tetapi mereka tidak pernah boleh lupa, pusat perhatian  mereka pertama-tama dan terutama adalah pasangan hidupnya.  Bukan uang, bukan anak, bukan orangtua, bukan sesuatu di luar diri mereka.  Olenya, “Suami-istri sebaiknya tidak boleh hidup terpisah dalam tenggang waktu yang lama, selain kematian”.  Karena pada prinsipnya  mereka terpanggil untuk tetap hidup bersama dan saling membahagiakan.

Sukacita karena saling membahagiakan itu menginspirasi suatu kehidupan yang lebih bergairah dan kreatif dalam banyak  hal untuk kehidupan keluarga. Sukacita dan kreatifitas itu merupakan buah dari rahmat sakramen perkawinan di dalamnya mereka menjadi tanda kehadiran Allah yang nyata bagi satu sama lain, bagi anak dan sanak keluarga. (bdk. Kan.1055 #2; Kan 1056 #2; Kan 1134)

Karena itu, denyut nadi  kasih sayang  antara mereka bagai denyut jantung kehidupan itu adalah conditio sine qua non,  syarat  mutlak  kebahagiaan suami istri. Tanpa itu kehidupan terhenti. Hanya  ada kesedihan dan dukacita.  Kenyataan membuktikan, tanpa kasih sayang kehidupan itu  mati. Bahkan amat memprihatinkan hal itu terjadi dalam  praktek hidup banyak pasangan suami istri  di sekitar kita.

Kisah  hidup  Ibu Anita di awal permenungan ini telah menjadi  bagaikan mimpi buruk  dalam hidup banyak pasangan suami istri.  Mereka seakan belum siap menghadapi  kenyataan  hidup  berkeluarga.   Secara khusus  bagaimana mereka sendiri mengolah kesepian hidup saat mereka sendiri berada jauh dari pasangannya selain karena  alasan ekonomi dan tempat tugas bahkan kematian.

Bagaimana mengatasi kesepian itu?  Takut dan melarikan diri dengan mencari hiburan di luar diri sendiri? Atau usaha menemukan kekuatan dalam diri sendiri yang dapat mengubah kesepian menjadi kekuatan yang menggerakan perubahan yang bermakna.

Ibu Maria memang sepih-sedih setelah kematian suaminya Boro.      Tetapi di balik sepih-sedihnya itu,  ia  mengenangkan warisan rohani  suaminya.  Apa itu?  Suaminya benar-benar seorang pendoa.  Keteladanan  doa suaminya itu kini menjiwai  semua aktivitasnya sehari-hari  dalam  rangka membiayai pendidikan keempat  anaknya, buah kasih mereka.

Ia menemukan  harta karun di balik kekuatan doa suaminya, yaitu prinsip  hidup yang  membesarkan  hatinya. “Kerja lebih rajin,  Jangan susahkan orang lainbenar katakan benar, salah katakan salah, jujur dan selalu berdoa”.  Dari pengalaman hidup  menerapkan prinsip ini,  rahmat  Tuhan itu benar-benar mengalir dalam  setiap usahanya.

Apa saja usahanya?   Ia membiayai pendidikan keempat anaknya  hingga semuanya dapat  menyelesaikan pendidikan di Perguruan Tinggi  membuka usaha ternak ayam. Mulanya ia hanya memiliki  y 4 ekor ayam betina dan 1 jantan.  Dari waktu-ke waktu, ibu Maria menekuni  usaha ini dengan menjual ayam dan juga  minuman Arak kepala (minuman beralkohol khas orang Flores Timur) kepada orang-orang Tionghoa Larantuka hingga anak-anaknya lulus dari Perguruan Tinggi.

Sesungguhnya,  jarak yang memisahkan suami istri karena urusan ekonomi  bahkan kematian  dapat saja menimbulkan kesepian dan dukacita. Tetapi bukankah kesepian dan dukacita dapat berubah menjadi kekuatan yang menakjubkan  ketika orang  mampu mengembangkan kreativitas untuk mengelolah  potensi dalam dirinya  sebagai obat mujarab mengatasi kesepian dan dukacitanya?

Apa saja potensi dan kreativitas dalam dirimu yang masih ‘tertidur lelap’ dan belum anda kembangkan?  Mulailah hari ini menemukan kekuatan itu dalam dirimu! Wujudnyatakan itu dengan  kerja keras. Mulailah hari ini dan terus berdoa!! “Sebab  bagi Allah tidak ada yang mustahil” (Luk 1:37)**

 

*** Sharing Pengalaman dari Bapa Andreas Wara Ruron (Stasi Welo, Paroki St. Yoseph Riangkemie,)  pada kesempatan kunjungan keluarga.