Rikardus Jehaut
Pendahuluan
Dalam berbagai kesempatan berbincang-bincang dengan rekan imam yang berkarya di paroki, seringkali muncul pertanyaan menyangkut pencatatan baptis, khususnya terkait anak dari seorang ibu yang tidak menikah dan anak adopsi. Selain itu ditanyakan juga tentang kemungkinan penghapusan atau modifikasi pencatatan baptis bagi mereka yang telah meninggalkan Gereja katolik secara formal dan orang yang telah melakukan operasi kelamin.
Tulisan kecil ini merupakan rangkuman dari pembicaraan tersebut sekaligus jawaban atas berbagai pertanyaan dengan bertopang pada Kitab Hukum Kanonik 1983 dan berbagai dokumen Gereja partikular serta artikel yang relevan. Tulisan ini tidak dimaksudkan sebagai satu-satunya jawaban, melainkan sekedar sumbangan pemikiran sekenanya saja berdasarkan latar belakang keilmuan penulis sebagai seorang kanonis. Sebelum melangkah lebih jauh, pemahaman dasar menyangkut pentingnya pencatatan baptis perlu disegarkan kembali. Apa alasan Gereja mewajibkan hal ini ?
Urgensinya Pencatatan Baptis
Secara teknis yuridis, pencatatan baptis merupakan sarana pembuktian dalam tata lahir (forum externum) yang menegaskan bahwa pembaptisan telah diberikan kepada seseorang pada suatu waktu, di suatu tempat dan oleh pelayan resmi Gereja. Tentu saja fakta pembaptisan dapat juga dibuktikan lewat kesaksian dari seseorang yang kredibilitasnya tidak disangsikan atau dari pernyataan di bawah sumpah sebagaimana dinyatakan dalam kanon 876. Namun demikian, bobot pembuktian lewat dokumen otentik lebih memberikan garansi kepastian terkait fakta pembaptisan. Fakta pembaptisan ini berguna bukan saja bagi orang yang terbaptis melainkan juga bagi komunitas umat beriman yang merayakannya (bdk. G. Marchetti, “I registri dell’ ingresso nella vita cristiana”, hlm. 202).
Dalam hubungan dengan hal ini, Kitab Hukum Kanonik menggarisbawahi kewajiban pastor paroki yang tidak boleh diabaikan. Kanon 877, § 1 menyatakan secara eksplisit bahwa pastor paroki (parochus loci) di mana baptis dilaksanakan, harus dengan teliti dan tanpa menunda-nunda (sine ulla mora) mencatat dalam buku baptis nama orang-orang yang dibaptis, dengan menyebut pelayan baptis, orang tua, bapak/ibu baptis, jika ada juga saksi-saksi, tempat dan tanggal baptis, sekaligus dicatat tanggal dan tempat kelahiran. Pada prinsipnya poin-poin yang ditekankan dalam ketentuan normatif ini tidak berbeda jauh dengan kanon 777, §1 Kodeks 1917. Kewajiban ini berhubungan erat dengan peran dan tanggung jawab pastor paroki itu sendiri sebagai gembala umat beriman. Kewajiban yang dikenakan kepada pastor paroki ini berat; dia sendirilah yang mencatat dan tidak boleh ada alasan untuk tidak melakukannya, sebagaimana dikatakan seorang ahli hukum klasik: “Obligatio per se gravis est; inscriptio personaliter incumbit parocho, nisi sit ratio excusans” (H. Merkelbach, Summa Theologiae Moralis ad mentem D. Thomas et ad Normam Iuris Novi, hlm. 140). Dengan alur pemikiran yang demikian maka sangat dianjurkan agar pencatatan ini dilakukan sendiri oleh pastor paroki dan tidak menyerahkannya kepada pihak lain kecuali terdapat alasan yang wajar dan masuk akal. Kewajaran dan ke-masuk akal-an misalnya dalam konteks keberadaan pastor rekan yang membantu tugas pastor paroki termasuk dalam urusan administratif seperti ini atau pegawai sekretariat paroki yang telah dibekali dengan pengetahuan dan keterampilan dalam hal-hal teknis pencatatan.
Pencatatan Untuk Kasus Khusus
Dalam kanon 877, § 2, disebutkan dua kasus khusus yakni anak yang lahir dari ibu yang tidak menikah dan anak angkat (adopsi). Pencatatan baptis dalam hubungan dengan kedua hal ini menuntut ketelitian sebagaimana digariskan dalam norma kanonik.
Anak yang Lahir dari Ibu yang Tidak Menikah
Dalam hubungan pencatatan baptis, kanon 877, § 2 memberikan pedoman yang jelas: “Jika mengenai anak yang lahir dari ibu yang tidak menikah, nama ibu haruslah dicantumkan, jika diketahui secara umum keibuannya itu, atau jika ia dari kehendaknya sendiri memintanya secara tertulis atau di hadapan dua orang saksi; demikian pula nama ayahnya harus dicatat, jika kebapakannya dibuktikan oleh suatu dokumen publik atau oleh pernyataannya sendiri di hadapan pastor paroki serta dua orang saksi; dalam hal-hal lain hendaknya ditulis nama orang yang dibaptis tanpa menyebut nama ayah atau orangtuanya”.
Norma kanonik ini menggarisbawahi beberapa hal penting menyangkut apa yang harus, apa yang boleh dan tidak boleh dicatat oleh pastor paroki. Norma ini harus dibaca bersama-sama dengan kanon 877, § 1 yang mengatur tentang informasi-informasi yang perlu dicatat dalam buku baptis (bdk. Kan. 877, § 1).
Pertama, terkait nama ibu kandung. Dalam hal ini terdapat dua kemungkinan pencatatan, yakni, pertama dicatat nama ibu kandung kalau keibuannya diketahui secara publik (orang-orang mengetahui bahwa wanita tersebut adalah ibu dari anak itu). Pertanyaannya adalah bagaimana kalau keibuaan dari anak itu tidak diketahui secara umum? Di sini kita masuk ke kemungkinan yang kedua: tetap dicatat nama ibu tersebut dengan syarat bahwa atas dasar kehendaknya sendiri, ia meminta secara tertulis atau dihadapan dua orang saksi kepada pastor paroki supaya namanya dicatat sebagai ibu dari anak itu.
Kedua, terkait nama ayah kandung. Dalam hal ini juga terdapat dua kemungkinan pencatatan, yakni pertama, dicatat nama ayah kandung kalau kebapaanya dapat dibuktikan melalui dokumen publik (misalnya akta kelahiran); kedua, seandainya tidak ada dokumen publik, maka nama ayah kandung dapat dicatat di dalam buku baptis kalau yang bersangkutan membuat pernyataan pribadi dihadapan pastor paroki atau dua orang saksi bahwa ia adalah ayah dari anak itu.
Ketiga, jika tidak ada permintaan khusus, sebagaimana disinggung sebelumnya, maka dalam buku baptis dicatat saja nama anak yang dibaptis tanpa mencantumkan nama ayah atau orangtuanya. Ketentuan ini bertujuan untuk memproteksi nama baik dari orangtua dari anak tersebut (bdk. D. Mogavero, “Diritto alla buona fama e alla riservatezza e tutela dei dati personali”, hlm. 589-610).
Anak Angkat (Adopsi)
Dalam hal pencatatan baptis, kanon 877, §3 menyatakan bahwa: “Jika mengenai anak angkat, hendaknya ditulis nama orang-orang yang mengangkatnya, sekurang-kurangnya jika demikian yang terjadi pada catatan sipil wilayah itu, serta juga nama-nama orang tua kandung menurut ketentuan §1 dan §2, dengan mengindahkan ketetapan-ketetapan dari Konferensi para Uskup”.
Norma kanonik diatas secara eksplisit berbicara tentang anak angkat dan bukan anak asuh. Hal ini penting untuk diperhatikan karena memiliki konsekuensi tertentu. Pengangkatan seorang anak mengikuti mekanisme dan prosedur yang digariskan dalam undang-undang sipil dan dinyatakan dalam Surat Keputusan Pengadilan Negeri serta memiliki konsekuensi hukum tertentu. Di lain pihak, pengasuhan biasa lebih merupakan inisiatif pribadi seseorang untuk mengasuh anak orang lain atas dasar belas kasih. Pengangkatan seperti ini pada dasarnya bersifat temporal dan tidak mengikat serta tidak mempunyai konsekuensi hukum apa pun.
Jika membaca secara cermat ketentuan normatif diatas, hal penting yang perlu dilakukan oleh pastor paroki sebelum melakukan pencatatan baptis adalah mencari tahu apakah ada ketentuan khusus dalam undang-undang sipil dan ketetapan yang dikeluarkan oleh Konferensi para Uskup setempat. Selain sebagai bentuk kepatuhan, juga demi keseragaman dan menghindari kesalahan teknis yang berpotensi menimbulkan kerugiaan di kemudian hari.
Selanjutnya dalam hubungan dengan pencatatan, norma memberikan beberapa pedoman teknis sebagai berikut:
Pertama, nama orang-orang yang mengangkat anak tersebut ditulis pada kolom “orang tua” (cuius parentes sunt). Tentu saja ketentuan umum menyangkut pencatatan baptis tetap berlaku. Dengan kata lain, yang juga dicatat adalah nama kristiani yang diberikan kepada anak yang bersangkutan oleh pihak yang mengangkat , tempat tanggal lahir, nama bapak/ibu baptis, tempat dan tanggal baptis, nama pelayan baptis, serta keterangan ‘adopsi legal’.
Kedua, penulisan nama orang tua kandung dari anak yang diangkat tersebut mengikuti ketentuan Konferensi para Uskup. Jika dokumen sipil menyebut nama orang tua kandung si anak, maka nama mereka harus juga dicatat di pinggir halaman buku baptis di samping nama orang-orang yang mengadopsi, termasuk menulis keterangan “anak adopsi”.
Solusi Pastoral Praktis Untuk Kasus Khusus
Ketentuan menyangkut pencatatan baptis sebagaimana diuraikan diatas hanya memuat hal-hal umum yang bersifat normatif. Seringkali dalam praktiknya, ditemukan beberapa kasus tertentu yang membutuhkan jalan keluar secara pastoral tanpa mengabaikan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh Gereja. Kasus-kasus yang diangkat berikut ini hanyalah sebagian dari persoalan yang begitu kompleks di tengah umat beriman.
Pertama, dalam hubungan dengan pencatatan baptis anak dari ibu yang tidak menikah. Persoalan yang kadang muncul adalah permintaan (yang tidak jarang disertai dengan paksaan) dari pihak tertentu, seperti opa oma atau anggota keluarga lainnya, agar nama merekalah yang dicantumkan dalam buku baptis dan bukan nama si ibu kandung. Permintaan seperti ini jelas tidak dapat dikabulkan karena bertentangan dengan kanon 877, § 2 sebagaimana disinggung diatas. Berhadapan dengan hal seperti ini, solusi pastoral yang dapat ditawarkan adalah berkomunikasi dari hati ke hati dan memberikan pemahaman tentang ketentuan yang berlaku dalam Gereja. Seringkali terjadi permintaan seperti ini muncul karena kurangnya pemahaman dari pihak umat beriman. Solusi pastoral lainnya adalah dengan meminta mereka menjadi bapak/ibu baptis bagi si anak. Tentu saja dengan tetap memperhatikan ketentuan kanon 874, § 1 menyangkut syarat-syarat untuk menjadi bapak/ibu baptis.
Kedua, dalam hubungan dengan identitas ayah kandung dari anak dari wanita yang tidak menikah. Dalam kasus tertentu, identitas ayah kandung diperoleh dari hasil tes DNA. Pertanyaannya adalah bagaimana jika yang bersangkutan tidak menghendaki agar namanya dicantumkan dalam buku baptis ? Apakah pastor paroki tetap mencantumkan namanya berdasarkan hasil test tersebut? Persoalan seperti ini sangat sensitif dan membutuhkan penanganan yang hati-hati dan bijaksana karena seringkali bersinggungan dengan nama baik seseorang. Solusi pastoral yang dapat diambil dalam hal ini adalah pertama, mencermati apakah hasil tes DNA tersebut telah diakui dan disahkan oleh otoritas sipil melalui putusan pengadilan. Jika ya, maka nama laki-laki tersebut dapat dicantumkan dalam buku baptis. Jika tidak, maka namanya tidak dapat dicantumkan dalam buku baptis. Kedua, jika hasil tes DNA tersebut merupakan inisiatif pribadi pihak-pihak yang bersangkutan maka pastor paroki tidak dapat mencantumkan nama laki-laki itu dalam buku baptis sebagai ayah dari si anak.
Ketiga, dalam hubungan dengan pencatatan baptis anak adopsi. Dalam beberapa kasus, pembaptisan terjadi sebelum anak tersebut diadopsi secara legal. Pertanyaan adalah bagaimana mencatat nama orang tua ? Dalam hal ini, nama orangtua kandung dicatat pada kolom ‘orangtua”. Pada saat anak itu secara legal diangkat sebagai anak adopsi, yang dibuktikan dengan putusan pengadilan, maka dalam buku baptis pencatatannya diatur demikian: nama orangtua kandung dari si anak diberi ‘tanda kurung’, kemudian nama orang tua yang mengadopsi ditambahkan di belakangnya. Dalam kutipan surat baptis, nama orangtua kandung dan keterangan ‘anak adopsi’ tidak boleh dikutip, kecuali kutipan surat baptis itu dimaksudkan untuk kepentingan urusan administratif perkawinan. Mengapa? Hal ini berkaitan dengan verifikasi menyangkut halangan nikah berdasarkan hubungan darah mengingat adopsi sama sekali tidak menghapus hubungan darah pada anak yang dibaptis. Konkritnya, jika di kemudian hari, anak yang diadopsi tersebut hendak menikah, maka dalam kutipan surat baptis, perlu dicantumkan nama orangtua kandung dan keterangan ‘anak adopsi’. Selanjutnya kutipan surat baptis ini dimasukkan ke dalam amplop tertutup dan dikirim secara langsung kepada pastor paroki yang melakukan penyelidikan kanonik.
Keempat, dalam hubungan dengan anak adopsi yang sebelumnya sudah mempunyai nama sebagaimana tercantum dalam Akta Kelahiran. Bagaimana pencatatan dalam buku baptis? Dalam hal ini, nama baptis dan nama pribadi anak tersebut harus sama dengan yang tercatat dalam akta kelahirannya. Jika anak tersebut belum mempunyai nama yang diaktakan, maka pihak yang mengadopsi dapat memberikan nama baru dan mencatatnya dalam akta kelahiran. Kemudian setelah pembaptisan, nama baptis dan nama pribadi anak tersebut dicatat dalam buku baptis. Pertanyaan adalah bagaimana kalau anak yang diadopsi itu sudah mempunyai nama pemberian orangtua kandung dan sudah diaktakan sebelum diadopsi, apakah pihak yang mengadopsi dapat mengubah dan memberi nama lain sesuai yang mereka kehendaki? Dalam kasus seperti ini perlu merujuk pada ketentuan undang-undang sipil menyangkut pergantian nama. Selanjutnya memperhatikan ketentuan yang digariskan oleh Konferensi Para Uskup menyangkut pencatatan dalam buku baptis. Konferensi para Uskup Amerika misalnya membuat ketentuan bahwa jika pembaptisan terjadi sebelum si anak diadopsi, nama anak yang diberikan oleh orang tua kandung diberi tanda kurung, lalu di belakangnya ditambahkan nama baru pemberian orang tua yang mengadopsi. (Bdk. Konferensi para Uskup Amerika “Complementary Legislation to the Code of Canon Law can. 877, §3”, hlm. 280). Keterangan ‘anak adopsi legal’ juga dicantumkan. Kemudian dalam surat baptis ditulis nama orang tua pengadopsi, nama baru legal yang diberikan oleh orang tua pengadopsi, tempat dan tanggal baptis, dan nama pelayan baptis. Keterangan ‘anak adopsi’ tidak perlu dicantumkan di surat baptis.
Kelima, permintaan penghapusan atau modifikasi pencatatan baptis dalam buku baptis. Pertanyaan adalah apakah hal ini diperbolehkan? Jawaban adalah tidak boleh kecuali kalau jika kalau ada kesalahan teknis penulisan. Sekalipun misalnya, orang tua si terbaptis atau bapak/ibu baptis menjadi murtad atau berpindah ke agama lain secara formal, hal ini tidak dengan sendirinya memberi kemungkinan untuk menghapus data dalam buku baptis sekalipun ada permintaan dari pihak tertentu. Bagaimana kalau pihak yang berpindah agama itu sendiri yang meminta secara tertulis supaya namanya dihapus dari buku baptis ? Dalam hal ini, jalan keluar yang dapat diambil adalah dengan memberikan catatan khusus pada bagian ‘notanda’ bahwa atas permintaan pribadi yang bersangkutan namanya dihapus dari buku baptis. Surat permintaan kemudian disimpan pada lembaran akhir buku baptis. Hal yang sama berlaku untuk orang meminta modifikasi keterangan jenis kelamin di buka baptis karena yang bersangkutan telah melakukan operasi kelamin. Sekalipun operasi kelamin tersebut diakui oleh hukum sipil setempat, hal ini tidak otomatis dapat mengubah keterangan di buku baptis. Operasi kelamin tidak mengubah kondisi kanonik yang bersangkutan sebagai laki-laki atau perempuan pada saat kelahirannya. Jika yang bersangkutan tetap menuntut perubahan tersebut, pastor paroki harus tetap berpijak pada ketentuan hukum kanonik menyangkut larangan penghapusan atau modifikasi pencatatan dalam buku baptis. Solusi yang mungkin dibuat oleh pastor paroki, seperti yang berlaku di Italia, adalah pertama, mendapatkan foto copy dokumen legal terkait operasi tersebut dan kedua, mencantumkan keterangan pada buku baptis terkait perubahan jenis kelamin yang diakui hukum sipil (Bdk. Konferensi para Uskup Italia, “Decreto generale sul matrimonio canonico”, 5 November 1997, n. 7, hlm. 261-262).
Penutup
Pencatatan baptis merupakan sarana pembuktian dalam tata lahir yang menegaskan tentang fakta baptisan yang telah diterima oleh seseorang. Sebagai sarana pembuktian, pencatatan baptis harus dilakukan secara teliti dan tidak boleh ditunda-tunda. Pastor paroki berkewajiban untuk memperhatikan hal ini secara seksama sebagai bagian dari tugas dan tanggung jawabnya.
Dalam kasus khusus, selain ketelitian, pencatatan baptis harus juga memperhitungkan berbagai ketentuan hukum, baik hukum sipil maupun hukum kanonik yang berlaku, khususnya menyangkut anak yang lahir dari ibu yang tidak menikah dan anak adopsi. Dalam praktiknya, pencatatan baptis seringkali berhadapan dengan kasus yang agak rumit dan kompleks namun demikian solusi pastoral dapat diupayakan sekalipun mungkin tidak memuaskan semua pihak.
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.