Beranda OPINI Penyelidikan Kanonik Perkawinan: Beberapa Catatan Yuridis-Pastoral

Penyelidikan Kanonik Perkawinan: Beberapa Catatan Yuridis-Pastoral

Penyelidikan Kanonik Perkawinan:

Beberapa Catatan Yuridis-Pastoral

 Rikardus Jehaut

Dalam sidang mendengarkan kesaksian atau keterangan pihak yang berperkara, kami sering bertanya apakah ada penyelidikan kanonik sebelum perkawinan mereka diteguhkan. Secara umum menjawab secara positif namun ada pula yang menjawab secara negatif, dalam arti bahwa  tidak ada penyelidikan kanonik atau kalau pun ada, hal itu dibuat secara cepat dan sekedar menjawab “ya”atau “tidak”. Bahkan ada pastor paroki yang mempercayakan hal ini kepada pihak tertentu yang sama sekali tidak berkompeten atau menyerahkan formulir penyelidikan kanonik kepada calon mempelai untuk diisi sendiri oleh yang bersangkutan. Praktek seperti ini tentu saja tidak baik secara pastoral dan bertentangan dengan ketentuan hukum gereja yang berlaku. Pemahaman yang benar tentang apa itu penyelidikan kanonik, tujuannya, dan pokok-pokok penting yang diselidiki mutlak perlu bagi para pastor paroki atau agen pastoral yang bertugas mendampingi para calon mempelai dalam masa persiapan pra-nikah.

Hakekat dan Tujuan Penyelidikan Kanonik Perkawinan

Secara yuridis, penyelidikan kanonik merupakan kelanjutan dari “persiapan dekat” (proximate preparation) dan merupakan unsur fundamental dari “persiapan langsung” (immediate preparation) sebelum perkawinan dirayakan. Penyelidikan kanonik- yang secara konkrit dilakukan lewat wawancara langsung kedua calon mempelai secara terpisah dengan berbagai pertanyaan yang telah diformulasikan secara baku – pada prinsipnya hendak memastikan bahwa perkawinan yang akan diteguhkan tersebut bebas dari segala bentuk halangan yang menggagalkan, didasarkan atas kebebasan, dan memenuhi tuntutan hukum terkait forma canonica atau tata peneguhan kanoniknya.

Lalu apa yang menjadi tujuan penyelidikan kanonik perkawinan? Kanon 1066 dapat menjadi rujukan normatif: sebelum perkawinan diteguhkan (antequam matrimonium celebretur), haruslah pasti (constare debet) bahwa tiada suatu hal yang menghalangi peneguhannya yang sah dan halal (nihil eius validae ac licitae celebrationi obsistere). Dari rumusan kanon ini, dapat disimpulkan bahwa penyelidikan kanonik bertujuan untuk menjamin peneguhan nikah yang sah dan halal dalam keseluruhan aspeknya, baik itu menyangkut verifikasi terkait ‘status bebas’ (status liber) dari masing-masing pasangan, integritas  konsensus sebagai aktus deliberatif dan bebas, persesuaian antara kehendak untuk menikah dengan hakekat, tujuan dan sifat-sifat hakiki (proprietates essentiales) perkawinan Katolik serta ada-tidaknya halangan yang menggagalkan  (impedimentum dirimens) perkawinan.

Pokok-pokok Penting Yang Diselidiki

Bertitik tolak dari tujuan penyelidikan kanonik sebagaimana diuraikan di atas, ada tiga pokok penting yang menjadi pusat perhatian:

Pertama, menyangkut konsensus atau kesepakatan nikah sebagai perbuatan kemauan dengan mana seorang pria dan wanita saling menyerahkan diri dan saling menerima untuk membentuk perkawinan dengan perjanjian yang irrevocable, yang tidak dapat ditarik kembali (bdk. kan. 1057, §2). Perkawinan tidak ada tanpa konsensus. Konsensus merupakan elemen konstitutif perkawinan. Ia merupakan penyebab yang melahirkan (causa efficiens) perkawinan. Dalam penyelidikan kanonik, calon pengantin ditanyai tentang kesepakatan nikah, antara lain: Apakah ia  menikah atas dasar kehendak bebas? Apakah ia mengetahui sekaligus menghendaki perkawinan sebagai kebersamaan dalam suka duka seluruh hidup? Apakah ia mengetahui sekaligus menghendaki kesejahteraan suami-isteri sebagai tujuan perkawinan serta terarah kepada kelahiran dan pendidikan anak? Apakah ia memahami perkawinan yang bersifat monogam dan tak terputuskan dan menghendakinya dalam perkawinan dengan calon pasangannya? Apakah ia sungguh-sungguh hendak menikah tanpa ketakutan dan bebas dari paksaan atau ancaman dari pihak tertentu (misalnya dari pasangannya, keluarga pasangan atau orangtuanya sendiri)? Apakah ia menuntut syarat tertentu terhadap pasangannya untuk melangsungkan perkawinan? Dalam pelaksanaan konkritnya, petugas resmi Gereja yang melakukan penyelidikan kanonik ini harus kreatif dalam mengajukan pertanyaan, mendalami lebih lanjut hal-hal tertentu yang dipandang perlu sambil memperhatikan latar belakang keluarga, pendidikan, sosial-budaya dari calon pengantin. Hal ini penting karena dari jawaban yang diberikan calon pengantin tersebut, dapat dinilai entakah ia sungguh-sungguh jujur dalam memberikan jawaban; entahkah ia sungguh-sungguh bebas untuk menikah; entahkah ia dapat menggunakan akal budi secukupnya dan tidak menderita kekurangan dalam  membentuk pandangan menyangkut berbagi hak dan kewajiban hakiki perkawinan serta, karena alasan-alasan psikis, tidak mampu mengemban berbagai kewajiban hakiki perkawinan.

Kedua, menyangkut halangan atau larangan nikah. Secara hukum, ada perbedaan antara larangan dan halangan yang menggagalkan, yang eo ipso membawa implikasi yuridis tertentu. Larangan tidak menghalangi secara mutlak seseorang untuk menikah atau mengeliminir kemampuan yuridis seseorang untuk menikah. Perkawinan yang dilangsungkan oleh orang yang dilarang untuk menikah tidak mempengaruhi validitas perkawinan. Dengan kata lain, perkawinan tetap sah namun tidak halal (illicit). Untuk meneguhkan perkawinan yang dilarang, dibutuhkan izinan dari otoritas gereja yang berwenang. Dalam hukum kanon, ada tiga jenis larangan, yakni larangan legal (ex iure), larangan administratif, dan larangan yudisial. Halangan menggagalkan (impedimentum dirimens), di lain pihak, adalah situasi dan kondisi obyektif yang secara langsung mempengaruhi seseorang dan membuatnya tidak sanggup menikah. Semua halangan nikah yang terkandung dalam KHK kan. 1083-1094, termasuk dalam kategori undang-undang yang menjadikan seseorang tidak sanggup melakukan tindakan yuridis perkawinan (leges inhabilitantes) dan yang menjadikan perbuatan yang telah dilakukan tidak sah (leges irritantes). Dalam penyelidikan kanonik, petugas resmi Gereja akan menanyakan ada-tidaknya larangan atau halangan tersebut. Jika ada larangan, maka dibutuhkan izinan untuk meneguhkan perkawinan tersebut atau jika ada halangan tertentu maka perlu dikaji secara cermat entakah layak dan perlu meminta dispensasi kepada otoritas Gereja yang berwenang atau tidak. Secara konkrit, perlu diselidiki umur calon pengantin: apakah terkena halangan usia atau tidak? Kendati sudah cukup umur, apakah yang bersangkutan kelihatan belum dewasa sehingga diperlu diketahui atau mendapat persetujuan dari orangtua dan izinan dari Ordinaris wilayah untuk meneguhkannya? Selain itu, perlu diselidiki agama atau Gereja calon mempelai demi memastikan apakah perkawinan yang akan diteguhkan itu bersifat sakramental (antara dua orang yang dibaptis) ataukah ada halangan beda agama (disparitas cultus) yang ex iure membutuhkan dispensasi demi keabsahannya. Juga perlu diselidiki entahkah ada halangan berkaitan dengan ketidakmampuan sejak sebelum menikah (antesedens) yang bersifat tetap untuk melakukan persetubuhan (impotentia coeundi); entakah ada halangan ikatan perkawinan sebelumnya (jika yang bersangkutan pernah menikah sebelumnya, maka perlu ditelusuri lebih jauh: kapan, dengan cara apa, apakah sudah dinyatakan tidak sah lewat dekrit tribunal atau telah diputuskan (dissolutio) oleh kematian, dispensasi atau privilegi dari otoritas Gereja); entahkan ada halangan selibat dalam tahbisan suci atau halangan kaul kemurnian dalam Tarekat Religius; entakah ada halangan faktor kejahatan (penculikan dan pembunuhan) serta halangan-halangan lainnya.

Ketiga, menyangkut tata peneguhan nikah.  Secara hukum, perkawinan hanyalah sah jika dilangsungkan di hadapan Ordinaris Wilayah atau pastor paroki atau imam maupun diakon yang diberi delegasi untuk meneguhkannya serta dihadapan dua orang saksi. Peneguh inilah yang hadir menanyakan pernyataan kesepakatan nikah mempelai dan menerimanya (bdk. kan. 1108). Berkaitan dengan itu, dalam penyelidikan kanonik diajukan pertanyaan menyangkut beberapa hal seperti alamat aktual atau lamanya calon mempelai tinggal di alamat tersebut. Kepastian tentang hal ini mutlak perlu karena menentukan domisili atau kuasi domisili calon mempelai (bdk. kan. 102) yang pada gilirannya menentukan pula siapa yang menjadi gembala dari calon mempelai dan yang berwenang meneguhkan perkawinannya, termasuk menentukan paroki tempat perkawinan itu dilangsungkan (bdk. kan. 107, 1108, 1110, 1115). Jika calon mempelai adalah anggota sebuah paroki personal (bdk, kan. 518) maka Ordinaris atau pastor paroki personal tersebut dalam meneguhkan perkawinan itu secara sah (bdk. kan. 1110). Selain itu, hal lain yang juga perlu diselidiki adalah menyangkut agama atau Gereja calon mempelai untuk menentukan entakah perkawinan tersebut sakramen, kawin campur beda agama atau beda Gereja? Jika perkawinan campur maka harus dibicarakan bersama menyangkut peneguhan publiknya demi menghindari perkawinan ganda yang dilarang oleh Gereja Katolik (bdk. kan. 1127).

Selain ketiga pokok di atas, petugas resmi Gereja yang menjalankan tugas penyelidikan kanonik tersebut harus memperhatikan ketentuan normatif kanon 1071 yang memuat daftar perkawinan yang dilarang untuk diteguhkan tanpa izinan dari Ordinaris wilayah kecuali dalam keadaan darurat (in periculo mortis).

Penting untuk diingat bahwa menurut norma kanon 1068, proses penyelidikan kanonik perkawinan dapat dibuat secara sederhana dalam kasus bahaya mati salah satu calon pasangan. Bahaya mati yang dimaksudkan di sini dapat berupaya bahaya intrinsik berupa penyakit berat tertentu ataupun bahaya eksternal, seperti bencana alam, perang, dan lain sebagainya. Dalam kasus seperti ini, penyelidikan kanonik diarahkan untuk memverifikasi entakah keduanya telah dibaptis dan tidak terkena halangan tertentu yang bersifat menggagalkan. Hal ini dibuat lewat pernyataan kedua calon mempelai di bawah sumpah.

Wewenang untuk melakukan Penyelidikan Kanonik

Norma kanon 1070 menegaskan bahwa “Bila orang lain, dan bukan pastor paroki yang bertugas melayani perkawinan, melakukan pemeriksaan tersebut, hendaknya ia selekas mungkin memberitahukan hasil pemeriksaan itu dengan dokumen otentik kepada pastor paroki”. Ketentuan normatif ini mengandung beberapa point penting untuk diperhatikan:

Pertama, mengingat bahwa pastor paroki adalah penanggung jawab utama dari pendampingan pastoral suami-isteri dan memiliki kewenangan untuk meneguhkan perkawinan, maka dialah yang harus melakukan penyelidikan kanonik perkawinan. Pastor paroki yang mana? Pastor paroki yang dimaksudkan di sini adalah pastor paroki di mana salah satu pihak memiliki domisili atau kuasi domisili atau kediaman sebulan, atau jika mengenai pengembara di paroki di mana mereka sedang berada (bdk. kan. 1115). Penting untuk diingat bahwa calon mempelai dapat memiliki beberapa paroki berdasarkan beberapa domisili atau kuasi-domisili yang ia miliki dan karena itu ia dapat memiliki beberapa pastor paroki yang berwenang. Jika kedua calon mempelai beragama Katolik maka mereka bebas memilih, namun prioritas diberikan kepada pastor paroki dari pihak perempuan untuk melakukan penyelidikan kanonik meskipun perkawinan dilangsungkan di tempat lain.  Dalam perkawinan campur, penyelidikan kanonik menjadi wewenang pastor paroki dari pihak katolik (bdk. kan. 1121 §3).

Kedua, penyelidikan kanonik dapat juga dilakukan oleh orang lain yang bukan pastor paroki yang berwenang meneguhkan perkawinan tersebut. Pertanyaannya adalah siapakah yang dimaksudkan dengan “orang lain” (alius) tersebut? Apakah “orang lain” yang dimaksudkan itu adalah pastor paroki lain, imam atau diakon lain, ataukah termasuk awam? Kitab Hukum Kanonik tidak memberikan jawaban secara eksplisit atas pertanyaan ini. Secara umum diterima bahwa yang dimaksudkan dengan “orang lain” di sini adalah pastor paroki (lain) dari tempat di mana calon mempelai bertempat tinggal. Jika calon mempelai, karena alasan tertentu, mengalami kesulitan untuk menghadap pastor paroki yang berwenang meneguhkan perkawinan tersebut, maka penyelidikan kanonik dapat diserahkan kepada pastor paroki di tempat dimana ia sedang berada yang, setelah melakukan penyelidikan secara seksama, wajib memberitahukan selekas mungkin (quam primum) formulir penyelidikan kanonik yang telah diisi tersebut kepada pastor paroki yang berwenang meneguhkan perkawinan. Formulir penyelidikan ini harus ditandatangani oleh pastor paroki yang bersangkutan dan diberi cap paroki. Jika berbeda keuskupan, maka formulir ini hendaknya dikirim melalui kuria Keuskupan disertai dengan nulla osta dari Ordinarius (bdk. Kongregasi Ibadat dan Tata Tertib Sakramen, Instruksi Sacrosanctum matrimonii institutum, no. 4, dalam “Acta Apostolica Sedis” 33, tahun 1941, hlm. 299). Hemat kami, “orang lain”, dapat juga berarti imam atau diakon yang diberi delegasi oleh pastor paroki yang berwenang meneguhkan perkawinan tersebut.

Kapan Dibuat Dan Apakah Ada Batas Masa Berlaku?

Hukum Gereja tidak menggariskan aturan secara eksplisit menyangkut waktu pelaksanaan penyelidikan kanonik. Hemat kami, sebaiknya ada rentang waktu yang cukup, paling kurang sebulan (yang kemudian disusul dengan pengumuman nikah selama tiga kali dalam semua perayaan Ekaristi pada hari Minggu dan hari-hari raya wajib). Waktu yang cukup ini sangat berguna bagi pastor paroki demi sebuah penyelidikan yang bersifat individual dan intensif serta demi  menghindari kerugian yang besar, baik secara moril maupun material, jika  rencana perkawinan tersebut harus dibatalkan karena ada cacat hukum tertentu.

Berkaitan dengan masa berlaku penyelidikan kanonik, hukum Gereja juga tidak mencantum ketentuan secara umum. Kebijakan pastoral yang dibuat oleh Konferensi Waligereja Italia barangkali dapat menjadi contoh yang baik di mana hasil penyelidikan kanonik diberi batas masa berlaku enam bulan (bdk. Conferenza Episcopale Italiana, Decreto Generale Sul Matrimonio Canonico, no. 10). Itu berarti bahwa jika calon mempelai tersebut tidak menikah dalam waktu enam bulan setelah penyelidikan kanonik maka mereka harus melakukan penyelidikan sekali lagi jika hendak menikah.

Seorang Awam Dapat Melakukan Penyelidikan Kanonik Perkawinan ?

Norma kanonik menyangkut penyelidikan kanonik tidak menyebutkan secara eksplisit dan tegas delegasi kepada awam. Namun hemat kami, jika secara yuridis asistensi untuk meneguhkan perkawinan dapat didelegasikan kepada seorang awam in casu necessitatis ketiadaan imam atau diakon (bdk. kan. 1112, §§ 1-2), maka penyelidikan kanonik pun dapat didelegasikan kepada seorang awam; lagipula apa yang dinamakan dengan penyelidikan kanonik itu bukan merupakan pelaksanaan kuasa kepemimpinan gerejawi atau pelaksanaan kuasa tahbisan. Berbagai ketentuan dasar menyangkut peneguhan perkawinan oleh seorang awam, dapat juga diterapkan dalam hal penyelidikan kanonik perkawinan. Itu berarti bahwa ia harus memperoleh delegasi (umum atau khusus) dari Uskup Diosesan, memiliki kecakapan dalam bidang pastoral dan hukum perkawinan serta kehidupan moral religius yang baik. Di samping itu, ia harus dilatih secara intensif menyangkut hal-hal teknis wawancara dan berbagai hal lain yang menjadi tuntutan sebuah penyelidikan kanonik yang benar.

Penutup         

Penyelidikan kanonik merupakan persiapan tahap akhir sebelum perkawinan diteguhkan dan merupakan bagian dari persiapan langsung yang paling penting dan menjadi tugas dan tanggung jawab pastor paroki. Jika kita mencermati pokok-pokok penting yang menjadi materi penyelidikan kanonik sebagaimana diuraikan secara singkat di atas, maka menjadi jelas bahwa hal ini bukanlah sekedar untuk memenuhi tuntutan formal-administratif belaka. Ia merupakan instrumen yuridis antisipatoris untuk mengetahui entahkan calon mempelai sungguh-sungguh berkemauan bebas untuk menikah sekaligus mendeteksi cacat konsensus serta berbagai halangan yang menggagalkan perkawinan.

Kredit Foto: https://www.google.com/url