Beranda KATEKESE Ajaran Gereja Perkawinan in fieri dan in facto esse

Perkawinan in fieri dan in facto esse

Relevansi kan. 1055.

Rm. D. Gusti Bagus Kusumawanta, Pr

 Prinsip dasar Perkawinan

Allah sendiri menetapkan perkawinan dan meneguhkannya dengan hukum-hukum-Nya (bdk. Kej. 1: 27-28; 2; 18-24). Tugas Gereja adalah menjaga lembaga perkawinan itu dan mempertahankan hukum-hukum perkawinan baik yang bersifat kodrati, ilahi maupun yang positif. Gereja tidak bisa mengubah ketetapan itu tetapi dia bisa mencapai suatu pemahaman yang lebih lengkap akan hukum-hukum itu. Selain bermaksud untuk mencegah perkawinan yang tidak sesuai dengan hukum Gereja. Prinsip dasar perkawinan dapat dilihat dalam isi kanon 1055, KHK 1983:

§1: Perjanjian (foedus) perkawinan dengannya seorang laki-laki dan seorang perempuan membentuk antara mereka persekutuan (consortium) seluruh hidup, yang menurut ciri kodratinya terarah kepada kesejahteraan suami-isteri (bonum coniugum) serta kelahiran dan pendidikan anak, antara orang-orang yang dibaptis, oleh Kristus Tuhan diangkat ke martabat sakramen,

§2: Karena itu antara orang-orang yang dibaptis tidak dapat ada kontrak perkawinan sah yang tidak dengan sendirinya sakramen

Perkawinan ditetapkan sebagai suatu kebersamaan seluruh hidup (communio totius vitae), yang dibangun antara seorang pria dan seorang wanita, yang karena kodratnya diarahkan pada kebahagiaan dari pasangan itu sendiri dan pada kelahiran dan pendidikan anak. Persatuan antara seorang laki-laki dan perempuan itulah yang menjadikan suatu perkawinan sehingga memenuhi syarat sebagai prinsip dasarnya.

Kebersamaan itu mengandung pemberian diri dari pasangan yang bersangkutan, yang mengandaikan adanya saling menerima dan memberi antara satu dengan yang lain, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Namun kebersamaan itu tidak bisa ditetapkan secara mutlak sebab kebersamaan itu bisa digambarkan sebagai hubungan antara suami-isteri yang menurut penilaian umum suatu budaya tempat pasangan itu hidup dan dihayati secara manusiawi.

Allah memberikan pada persatuan ini tidak hanya strukturnya yang tidak bisa diubah, tetapi juga fungsi persisnya. Dia melengkapi persatuan itu dengan kebaikan dan tujuannya sendiri. Kebaikannya terletak dalam nilai-nilai yang membuat suatu hidup perkawinan itu layak dipilih. Tujuannya adalah tanggungjawab yang harus dipenuhi. Kebaikan (bonum) bagi pasangan bertepatan dengan  dan dapat dirangkum dalam dua hal yakni kebahagiaan pasangan itu dan kebahagiaan

Persatuan hati

Persatuan hati atas dasar cinta suami-isteri merupakan core (inti/nucleus) dari perkawinan, bisa dikatakan sebagai kekuatan rohani untuk saling belajar memahami, memberi dan menerima, mendukung dan memberi perhatian, saling mengampuni dan membantu pasangan mencapai kepenuhan manusiawi. Persatuan hati dari pasangan membentuk persekutuan seluruh hidup, baik secara fisik (fisical intimicy) maupun emosi (emotional intimicy) dan bahkan spiritual (spiritual intimicy). Hidup perkawinan menjadi utuh jika 3 dimensi tersebut dihayati dan diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari pasangan suami istri. Persatuan hati itu nyata dalam hal dialog, persatuan fisik dan dalam doa bersama dengan pasangannya, termasuk dengan anak-anak mereka.

Perkawinan in fieri dan in facto esse

Perkawinan in fieri adalah jalan masuk ke dalam status menikah melalui perjanjian perkawinan. Inti dari perkawinan in fieri adalah kesepakatan nikah. Sedangkan perkawinan in facto esse adalah status perkawinan itu sendiri. Perkawinan in facto esseintinya adalah hubungan (relasi) suami isteri yang menjadi sumber hak dan kewajiban mereka.

Berdasarkan kanon 1055, §1, menegaskan kembali ajaran Gereja yang dipandang sebagai salah satu butir iman Katolik, bahwa perjanjian perkawinan dari dua orang yang dibaptis telah diangkat oleh Kristus ke martabat sakramen. Hal itu berarti bahwa, Kristus sendiri telah menentukan bahwa perjanjian perkawinan dari dua orang kristen tak hanya harus dihidupi menurut pola persatuan Kristus sendiri dengan Gereja-Nya yang setia tak terputuskan dan tanpa syarat, tetapi juga harus menjadi gambaran dari hubungan itu. Pasangan suami isteri tersebut berada dalam keadaan siap berpartisipasi dengan cara baru dalam aliran rahmat yang menghidupkan hubungan itu dan mengarahkan mereka untuk menemukan persatuan dengan Tuhan dalam perkawinan mereka.

Ketika mereka menyatakan kesepakatan nikah (matrimonium in fieri) mereka merupakan simbol kemiripan baru dengan Kristus. Mereka saling memberikan diri dan menerima untuk hidup sebagai suami isteri. Mereka menjadi model konkrit hubungan Kristus dengan Gereja-Nya. Hubungan suami isteri yang nyata dalam hidup sehari-hari (matrimonium in facto esse) menandakan sakramentalitas perkawinan yang menjadi tindakan kultis dan menyelamatkan dari Kristus. Suami isteri menerima rahmat dari Kristus bukan karena iman penerima sakramen melainkan karena keunggulan kuasa ilahi yang diberikan Kristus dalam ibadat perayaan imam (ex opere operato). Sakramen perkawinan yang diterima itu bukan otomatis menerima rahmat. Perlu juga kehendak untuk menerimanya, untuk mendatangkan buah berlimpah. Maka kehidupan perkawinan kristiani yang diangkat ke martabat sakramen adalah jalan pengudusan untuk suami isteri dan anak-anak mereka.

Namun sebaliknya jika salah satu pasangan nikah dapatkah menjadi sakramen jika terjadi salah satu yang dibaptis itu tidak mempunyai iman? Maka seruan apostolikFamiliaris Consortio, no. 68, dari Paus Yohanes Paulus II dapat menjawabi persoalan itu. Inilah pegangan pastoral kita: sakramen perkawinan memiliki unsur khas yang membedakan dari sakramen lainnya yakni sakramen yang tercakup dalam tata penciptaan sendiri. Perjanjian nikah sendiri  yang diadakan oleh sang Pencipta “pada awal mula”. Maka dari itu keputusan seorang laki-laki atau perempuan untuk menikah sesuai dengan rencana ilahi. Dengan kata lain, keputusan kedua mempelai melalui persetujuan nikah tidak dapat ditarik kembali. Mereka mempertaruhkan seluruh hidup dalam cinta kasih yang tidak terpisahkan serta kesetiaan tanpa syarat. Akan tetapi jika segala usaha pasangan-pasangan tunangan menunjukkan bahwa secara eksplisit dan formal menolak apa yang dimaksudkan oleh Gereja, gembala jiwa tidak dapat menerima mereka untuk merayakan pernikahan. Oleh karena itu, syarat iman menjadi penting karena menjadi arah perjalanan pasangan suami-isteri sesuai dengan ketulusan intensi mereka. Sudah pasti rahmat Kristus akan mendukung dan menopang kehidupan mereka.