Home BERITA Rapat Pleno KKI-IX; Dirdios Harus Miliki Kemampuan Managerial yang Baik dalam Mengembangkan...

Rapat Pleno KKI-IX; Dirdios Harus Miliki Kemampuan Managerial yang Baik dalam Mengembangkan KKI

Gereja Katolik Indonesia, Iman Katolik, Injil Katolik, Katekese, Katolik, Kitab Suci, Komsos KWI, Konferensi Waligereja Indonesia, KWI, Lawan Covid-19, Penyejuk Iman, Pewartaan, Umat Katolik, Yesus Juruselamat, Rapat Pleno KKI, Karya Kepausan Indonesia, Denpasar -Bali
Dr. G. Respati Wulandari / Komsos Denpasar

MIRIFICA.NET, BALI – Sebuah organisasi entah yang berorientasi laba maupun organisasi nirlaba (non profit) bila ingin berkembang dan maju harus dikelola secara profesional. Untuk itu dibutuhkan kemampuan managerial yang baik dari seorang pemimpin. Demikian halnya dalam mengembangkan dan memajukan Karya Kepausan Indonesia (KKI). Seorang pemimpin, dalam hal ini baik Dirnas maupun para Dirdios haruslah memiliki kemampuan manajerial yang baik pula.

Gereja Katolik Indonesia, Iman Katolik, Injil Katolik, Katekese, Katolik, Kitab Suci, Komsos KWI, Konferensi Waligereja Indonesia, KWI, Lawan Covid-19, Penyejuk Iman, Pewartaan, Umat Katolik, Yesus Juruselamat, Rapat Pleno KKI, Karya Kepausan Indonesia, Denpasar -Bali
Dr. G. Respati Wulandari / Komsos Denpasar

Hal itu ditegaskan Dr. G. Respati Wulandari, saat memaparkan hasil penelitiannya tentang KKI, pada forum Pernas KKI-IX di Bali, hari kedua, Jumat (5/8).

Staf pengajar Universitas Bina Nusantara (Binus) Jakarta itu melakukan penelitian tentang KKI ini bertujuan untuk mencari tahu apakah organisasi ini sudah berkembang secara baik atau belum. Untuk mengetahui hal ini dia menggunakan kerangka kerja “Orientasi Kewirausahaan.”

Orientasi Kewirausahaan (Entrepreneurial Orientation) adalah konsep yang digunakan untuk mengetahui sejauh mana sikap organisasi dapat dikategorikan sebagai kewirausahaan atau konservatif.

Konsep Orientasi Kewirausahaan juga merupakan serangkaian perilaku berbeda yang saling terkait dan memiliki kualitas inovatif, proaktif, agresivitas kompetitif, berani mengambil resiko dan otonom.

“Lima kualitas ini yakni inovatif, proaktif, agresivitas kompetitif, berani mengambil resiko dan otonom dijadikan alat ukur untuk menilai motivasi dan kinerja sebuah organisasi,” katanya.

Menurut Dr. Respati, motivasi kewirausahaan tidak hanya mencari keuntungan, tetapi terutama untuk memenuhi misi sosial yang diharapkan dapat mempengaruhi cara seseorang mengkoseptualisasikan perilaku kewiraushaan itu sendiri. Karena itu, orientasi kewirausahaan itu cocok juga diterapkan pada organisasi nirlaba antara lain organisasi keagamaan semacam KKI.

“Benang merah Orientasi Kewirausahaan pada organisasi laba maupun nirlaba adalah sama-sama dibutuhkan untuk menjawab perubahan lingkungan yang dapat menghadirkan peluang untuk melayani kebutuhan sosial yang lebih luas dan akhirnya menciptakan nilai baru,” imbuhnya.

Ada 30 Dirdios dan 1 orang Dirnas yang menjadi responden dari penelitian ini. Metodelogi riset yang dia gunakan adalah dimulai dengan exploratory case study, phenomenology and narative approach, action research dan documentation research.

Gereja Katolik Indonesia, Iman Katolik, Injil Katolik, Katekese, Katolik, Kitab Suci, Komsos KWI, Konferensi Waligereja Indonesia, KWI, Lawan Covid-19, Penyejuk Iman, Pewartaan, Umat Katolik, Yesus Juruselamat, Rapat Pleno KKI, Karya Kepausan Indonesia, Denpasar -Bali
doc: Komsos Denpasar

Dalam penelitian ini, beberapa hal yang digali dalam bentuk pertanyaan penelitian yaitu KKI ingin berkembang dan semakin dikenal oleh umat Katolik (perform). Kemudian, bagaimana KKI mengkoseptualisasikan Orientasi Kewirausahaan dalam menjalankan karya misi mereka (konsep)? Berikutnya adalah faktor-faktor penting apa yang muncul selain Orientasi Kewirausahaan (faktor lain).

Dia mulai memaparkan hasil penelitiannya mengenai apa yang menjadi tantangan KKI saat ini. Tantangannya antara lain kurangnya tenaga profesional, tidak semua KKI memiliki struktur kepengurusan, wilayah geografis yang beragam, minimnya dana untuk beberapa keuskupan tertentu.
Tantangan lainnya adalah ternyata tidak semua umat Katolik mengenal KKI, latar belakang (pendidikan, ekonomi,dll) yang sangat beragam, tidak meratanya pembanguan di Indoenesia serta pandemi covid 19 dan masyarakat adat yang sangat tradisional.

Khusus dari Direktur Nasional KKI, tantangan yang dihadapi dalam mongkoordinasikan 37 Dirdios yang di bawah koordinasinya merasa sumber daya manusia masih kurang profesional.

Menghadapi tantangan tersebut, maka perlu peningkatan performa dengan pola Orientasi Kewirausahaan mulai dari sisi inovasi, proaktif, pengambilan resiko, agresivitas daya saing maupun otonomi .

Dari sisi inovasi,yang berfokus pada pencapaian misi baik dari segi efisiensi maupun kuantitas dan kualitas layanan yang dapat diberikan. Berdasarkan hasil penelitiannya, terkait inovasi, hal yang dilakukan adalah ada yang membuat acara bazar menjual tiket menonton film (penggalian dana), ada yang mencari dana untuk bayar honor staf KKI, penerbitan majalah dan jurnal seperti Missio (Biro Nasional) Jurnal Misiologi SAWI serta penyelenggaraan kursus animasi misioner dan kursus misiologi.

“Dari 30 Dirdios yang diwawancara secara mendalam, hanya 21 yang memiliki program baru atau inovasi selama menjabat dengan kategori tinggi dan sedang,” katanya.

Peserta Rapat Pleno mengikusi diskusi bersama/doc: komsos denpasar

Kemudian, dari sisi proaktif yaitu mengantisipasi perubahan harapan dari para pemangku kepentingan. Dari sisi ini, menurut Dr. Respati diperoleh kesan umum bahwa sebagian besar umat Katolik tidak tahu dan tidak menyadari tentang misi Gereja dan tugas misioner yang menjadi tanggung jawabnya.

Kemudian, di beberapa keuskupan, para Dirdios mendapati bahwa ada umat Katolik yang pindah agama atau pindah ke gereja non Katolik. Alasan paling dominan adalah soal ekonomi, pekerjaan dan perkawinan.

Tindakan proaktif yang dilakukan di antaranya menyediakan bahan-bahan renungan misioner, membuat jurnal ilmiah dan menyelenggarakan kursus-kursus misi. Lalu ada Pekan Misi Nasional, ada Dirdios yang memiliki program pendampingan remaja secara lebih intens.

“Dari 31 informan yang saya wawancara didapatkan 23 Dirdios memiliki tindakan proaktif, termasuk Dirnas,” katanya.

Dalam pengambilan resiko yang berfokus pada kemauan untuk melakukan tindakan dengan dampak resiko yang paling minim, dalam hal resiko sosial, resiko kerugian finansial maupun non-finansial dan resiko dukungan dari pemangku kepentingan.

Dari sisi ini, secara garis besar Dirnas dan para Dirdios berani mengambil resiko dalam hal finansial. Namun ada juga yang mengaku resiko ditolak oleh rekan sejawat atau umat terkait program baru yang dibuat.

Lalu beberapa Dirdios yang baru menjabat tahun 2019 atau 2020, menyatakan belum mengambil resiko apapun, apalagi ada program tertunda akibat covid 19.

“Dari hasil wawancara yang dianalisa, hanya 19 Direktur termasuk Dirnas, yang berani mengambil resiko dengan kategori tinggi dan sedang,” katanya.

Gereja Katolik Indonesia, Iman Katolik, Injil Katolik, Katekese, Katolik, Kitab Suci, Komsos KWI, Konferensi Waligereja Indonesia, KWI, Lawan Covid-19, Penyejuk Iman, Pewartaan, Umat Katolik, Yesus Juruselamat, Rapat Pleno KKI, Karya Kepausan Indonesia, Denpasar -Bali
Diskusi dalam Rapat Pleno KKI-IX / Komsos Denpasar

Sementara dalam agresivitas daya saing terhadap organisasi lain atau lingkungan. Persaingan yang sehat dan konstruktif untuk perubahan dan pertumbuhan yang inovatif. Dalam konteks ini, mayoritas Dirdios mengatakan bahwa mereka melihat banyak gereja non Katolik bermunculan dan berusaha untuk mengajak umat Katolik pindah ke gereja mereka. Kenyataannya ada umat yang pindah walau jumlahnya sedikit.

Untuk mengantisipasi umat yang lompat ‘kandang’ itu, KKI sudah membuat banyak program proaktif yang telah dilakukan.

“Dari 31 Direktur, hanya 12 Direktur termasuk Dirnas yang memiliki sikap agresivitas daya saing,” katanya.

Lalu, untuk peningkatan performa otonomi yaitu memiliki kemampuan mencari peluang secara mandiri yang mempengaruhi strategi.

Dari konteks otonomi, Dirnas memiliki otonomi sendiri dalam arti tertentu yaitu mengemban otonomi di hadapan para uskup Indonesia dan Kongregasi Suci Penginjilan Bangsa-bangsa dalam hal ini adalah Sekretariat Jendral Karya Kepausan.

Sementara Direktur Diosesan, otonomi yang diemban tidak 100%. Para Dirdios tidak berani mengubah kebijakan yang sudah ditetapkan oleh Superior/Uskup mereka walaupun merasa programnya dapat meningkatkan karya atau kinerja KKI.

Selain lima faktor berbasis Orientasi Kewirausahaan di atas, terdapat faktor-faktor lain yang dapat meningkatkan performa. Sebut saja, faktor kolaborasi secara internal dan eksternal (27 Direktur). Lalu interpersonal melalui komunikasi, setia, kemampuan berelasi baik, fleksibel, memiliki passion dalam misi, humoris dan influencer.

Lalu ada faktor Managerial seperti kepemimpinan, kemampuan managerial unggul, kemampuan bekerjasama serta kemampuan memberdayakan tim.

Berdasarkan hasil tersebut di atas, beberapa rekomendasi disampaikan oleh Dr. Respati. Pertama, rekomendasi volunteers dan staf serta stakeholder eksternal. Direkomendasikan supaya merasionalkan visi dan misi KKI.

Gereja Katolik Indonesia, Iman Katolik, Injil Katolik, Katekese, Katolik, Kitab Suci, Komsos KWI, Konferensi Waligereja Indonesia, KWI, Lawan Covid-19, Penyejuk Iman, Pewartaan, Umat Katolik, Yesus Juruselamat, Rapat Pleno KKI, Karya Kepausan Indonesia, Denpasar -Bali
Dr. Respati menerima kenang-kenangan dari Dirnas KKI Rm. M. Nur Widipranoto / Komsos Denpasar

“Pemimpin atau Diretur harus bisa berkomunikasi kepada mereka bahwa mereka membantu organisasi, bukan personil yang ada di organisasi itu. Berikut adalah menciptkan kepengurusan/anggota yang berkelanjutan dan profesional,” katanya.

Berikutnya, rekomendasi inovasi, antara lain perlu peer mentoring, rotasi/pergantian direktur serta pelatihan manajemen dan kepemimpinan secara berkala.

Untuk rekomendasi proaktif, perlu membuat pelatihan atau webinar edukatif selain ilmu Misi untuk para Direktur. Misalnya, cara membuat video dan rekaman secara profesional dengan HP, membuat presentase menarik, design thingking, dll.

“Tujuan program itu adalah mengatasi kejenuhan dan keterbatasan keahlian para direktur,” katanya.

Sedangkan untuk Direktur yang memiliki jabatan rangkap, posisi tersebut bisa menjadi kelebihan dalam melakukan misi. Contohnya, Direktur lebih mudah dalam menyosialisasikan program KKI kepada umat paroki atau siswa/mahasiswa didiknya.

Pengambilan Resiko, direkomendasikan untuk berani mempekerjakan tenaga profesional dengan gaji tetap bagi keuskupan yang mampu secara finansial, membuat evaluasi kinerja secara berkala bersama Uskup dan Dirnas, perlunya reward dan self reflection.

“Tujuan program dalam rekomendasi ini adalah mengukur kinerja dan pencapaian target kerja, memberikan solusi pada permasalahan di lapangan dan membahas strategi kegiatan yang telah dan akan dilakukan,” tegasnya.

Rekomendasi Otonomi antara lain Otonomi Dirnas sebagai pemimpin dan koordinator diterapkan dan disosialisasikan ke semua Direktur dan Uskup sehingga dapat membuat kinerja KKI lebih tinggi. Lalu, ketentuan pada statuta dan buku pegangan KKI diterapkan.

“Para Direktur juga wajib mengetahui dan memahami indikator kinerja dalam jobdesc dan melaporkan segala kegiatan kepada Dirnas sesuai aturan yang telah ditetapkan pada buku pegangan KKI. Hal ini diperlukan untuk proses evaluasi, asesmen, dan penentuan strategi KKI,” pungkasnya.

Saat ditemui setelah pemaparan hasil penelitiannya, Dr, Respati , kepada media ini dia mengatakan harapannya supaya para Direktur KKI harus lebih gencar lagi memajukan lima faktor berbasi Orientasi Kewirauhaan dalam mencapai target yang diharapkan.

“Memang masih banyak juga Dirdios yang beranggapan bahwa ilmu Orientasi Kewirausahaan ini tidak sesuai untuk KKI. Tetapi sesunggunhya banyak Dirdios yang secara tidak sadar yang telah menjalankan Orientasi Kewirausahaan ini,” kata pemilik gelar S-1 bidang Hukum dan S-2 serta S-3 di bidang Bisnis itu. *Hironimus Adil-Komsos Keuskupan Denpasar