JAKARTA – Sesi kelima Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) 2025 menghadirkan tiga narasumber yang memberikan pandangan reflektif mengenai kehidupan Gereja dan bangsa. Para pembicara antara lain Uskup Pangkalpinang Mgr. Adrianus Sunarko OFM, Ekonom dari Universitas Katolik Atma Jaya Dr. Agustinus Prasetyantoko, dan Pengamat Politik Yunarto Wijaya. Ketiganya berbicara dalam suasana dialog yang hangat dan terbuka, mengaitkan semangat Gereja Sinodal dengan realitas sosial, ekonomi, dan politik Indonesia masa kini
Uskup Sunarko membuka sesi dengan paparan yang menuntun peserta untuk memahami makna Gereja sinodal sebagai “cara hidup dan cara bekerja” umat Allah. Ia menjelaskan bahwa proses Sinode Para Uskup 2021–2024 telah menegaskan kembali panggilan Gereja untuk hidup dalam komunio dan melaksanakan misi bersama.
Menurut Mgr. Sunarko, dua pilar utama Gereja sinodal adalah komunio dan misi. Komunio menjadi dasar bagi kesaksian iman yang otentik, sementara misi menuntun Gereja untuk terus keluar, hadir, dan melayani. “Komunio menjadi syarat bagi kredibilitas misi, dan pembaruan komunio selalu diarahkan bagi karya perutusan,” ujar Mgr. Sunarko.
Ia juga menekankan pentingnya partisipasi seluruh umat, keterbukaan terhadap suara Roh Kudus, serta keberanian untuk memperjuangkan transparansi dan akuntabilitas di dalam kehidupan menggereja. Gereja yang hidup dalam semangat sinodal, lanjutnya, akan mampu menjadi suara kenabian di tengah dunia yang terus berubah.
Membangun Ekonomi yang Adil dan Berkeadaban
Dalam paparan selanjutnya, Ekonom dan mantan Rektor Unika Atma Jaya Jakarta, Dr. Agustinus Prasetyantoko, mengajak peserta SAGKI untuk melihat situasi bangsa dengan kacamata harapan. Ia menegaskan bahwa pertumbuhan ekonomi yang sejati tidak dapat dilepaskan dari prinsip keadilan sosial.
Mengutip pemikiran ekonom peraih Nobel, Amartya Sen, ia menyampaikan bahwa kesejahteraan dan keadilan adalah dua dimensi yang tak terpisahkan. “Tidak akan ada kemakmuran tanpa keadilan,” katanya, sambil menekankan pentingnya keberpihakan pada masyarakat kecil dan kelompok rentan.
Dr. Prasetyantoko juga menyoroti berbagai program pemerintah yang digagas untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Ia mengajak untuk melihatnya secara kritis namun konstruktif, agar semangat pelayanan publik selalu dijalankan dengan integritas dan kepekaan sosial.
“Kita patut menghargai upaya negara dalam menyejahterakan rakyat, sekaligus memastikan agar pelaksanaannya sungguh berpihak pada kepentingan bersama,” ungkapnya.
Dalam paparannya, ia juga mengingatkan bahwa tantangan ekonomi Indonesia tidak hanya terletak pada angka pertumbuhan, melainkan pada pemerataan hasil pembangunan, penguatan kelas menengah, serta keberlanjutan ekonomi yang berkeadaban. Gereja, menurutnya, dapat berperan dengan menanamkan nilai-nilai etika sosial, solidaritas, dan tanggung jawab bersama dalam ruang publik.
Yunarto Wijaya: Menjaga Rasionalitas dan Kewarasan Demokrasi
Pengamat politik Yunarto Wijaya, Direktur Eksekutif Carta Politika, menutup sesi dengan refleksi tajam namun menenangkan tentang arah politik nasional. Ia menggambarkan situasi politik global dan nasional yang dinamis, di mana berbagai perubahan sosial dan teknologi menghadirkan tantangan baru bagi tata kelola pemerintahan.
Menurutnya, Indonesia tengah memasuki fase penting dalam sejarah demokrasinya. Pemerintah pusat dihadapkan pada kebutuhan untuk menjaga keseimbangan antara stabilitas dan partisipasi publik, antara efektivitas kebijakan dan ruang bagi perbedaan suara.
“Tantangan kita bukan sekadar mempertahankan prosedur demokrasi, tetapi menumbuhkan kesadaran bersama bahwa partisipasi warga adalah kekuatan moral bangsa,” ujarnya.
Yunarto juga mengingatkan bahwa generasi muda kini tumbuh dalam konteks yang berbeda — lebih terbuka, lebih cepat beradaptasi, namun kadang kurang akrab dengan nilai-nilai perjuangan demokrasi masa lalu. Karena itu, pendidikan publik yang menumbuhkan semangat kritis, rasionalitas, dan solidaritas menjadi semakin penting.
“Menjaga kewarasan dalam kehidupan politik berarti menjaga nurani bersama agar bangsa ini tetap berjalan di jalur keadilan dan kemanusiaan,” tambahnya.
Gereja yang Hadir di Tengah Bangsa
Dari ketiga pembicara, terjalin benang merah yang kuat: Gereja dipanggil untuk berjalan bersama bangsa, membaca tanda-tanda zaman, dan menghadirkan wajah Allah yang penuh belas kasih dalam ruang publik. Mgr. Sunarko menekankan dimensi rohani dan eklesial dari sinodalitas; Dr. Prasetyantoko menghadirkan pandangan etis tentang keadilan ekonomi; dan Yunarto Wijaya menegaskan pentingnya menjaga rasionalitas dan tanggung jawab dalam kehidupan politik.
Dalam semangat ini, SAGKI 2025 menjadi ajang refleksi bersama: bagaimana Gereja, dalam kesetiaan pada Injil, dapat terus menjadi penabur harapan di tengah dinamika masyarakat Indonesia — menuju kehidupan berbangsa yang lebih adil, terbuka, dan berkeadaban.


Mantan Jesuit, Pendiri Sesawi.Net, Jurnalis Senior dan Anggota Badan Pengurus Komsos KWI


