Suasana diskusi tentang Jejak Misi Gereja lokal di Hotel Mercure Convention Center, Ancol, Jakarta, Rabu (05/11/2025). Foto : Tim Pubdok SAGKI 2025.

Tantangan Internal: Pergulatan Iman, SDM, dan Regenerasi

Dalam sesi pertama dan kedua di hari kedua Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) 2025, peserta mendengarkan paparan dari sepuluh Provinsi Gerejawi yang salah satunya membahas tentang tantangan Gereja di Indonesia. Sebagai pengantar adalah bahwa saat ini, Gereja tidak hanya menghadapi badai dari luar saja, tetapi juga pergulatan dari dalam dirinya sendiri.

Romo Yohanes Wahyu dari Provinsi Gerejawi Semarang mengawali refleksinya dengan menjelaskan tentang tantangan di wilayanya. “Tantangan internal kami adalah minimnya pengetahuan iman, rendahnya penghayatan sakramen, dan inferioritas umat,” ujarnya. Ia menambahkan bahwa pembinaan iman dalam keluarga masih perlu ditingkatkan, sementara jumlah imam dan tenaga pastoral tidak mencukupi kebutuhan yang terus bertambah.

Selain itu, dunia pendidikan Katolik juga menghadapi krisis nilai. “Sekolah-sekolah Katolik banyak kehilangan roh kekatolikannya. Regenerasi guru sulit, fasilitas terbatas, dan minat untuk bersekolah di lembaga Katolik menurun,” paparnya. Tantangan ini diperparah oleh kurangnya koordinasi antara tarekat dan yayasan dalam mengelola karya-karya pendidikan.

Situasi serupa juga diungkapkan Romo Yustinus Ardianto, Pr dari Provinsi Gerejawi Jakarta. “Kita sering terlalu sibuk di altar, tapi kurang hadir di tengah masyarakat,” katanya. Dalam refleksinya, ia menyoroti bahwa banyak imam tersita dengan tugas administratif, sementara umat mendambakan pendampingan pastoral yang lebih personal.

“Pelayanan kasih kita kadang berhenti pada kegiatan berbagi bantuan, tapi belum menyentuh relasi sejati yang memanusiakan,” tegasnya. Tantangan internal lain yang disebut Romo Yus adalah kecenderungan umat menjadi katolik administratif, aktif dalam liturgi, namun pasif dalam aksi sosial.

Dari Provinsi Gerejawi Palembang, Romo Alexander Pambudi, SCJ, menggarisbawahi keterbatasan jumlah imam dan katekis di wilayah yang luas. “Bayangkan, wilayah pastoral kami meliputi tiga provinsi: Sumatera Selatan, Bengkulu, dan Jambi. Tidak mudah memastikan umat di pelosok tetap mendapat pendampingan iman,” ungkapnya.

Di Keuskupan Pangkalpinang, keterbatasan tenaga pastoral menjadi masalah serius karena wilayahnya terdiri dari banyak pulau kecil. “Kemandirian finansial umat juga masih rapuh, sehingga program pastoral sulit dijalankan secara konsisten,” katanya.

Sementara itu di Keuskupan Tanjungkarang, tantangan datang dari dalam keluarga. Banyak keluarga kesulitan menanamkan iman di tengah keterbatasan ekonomi. “Ego kesukuan juga sering memecah kebersamaan umat,” ujarnya, menandakan bahwa Gereja tidak hanya berhadapan dengan kemiskinan materi, tetapi juga kemiskinan relasi.

Dari Provinsi Gerejawi Papua, Romo Donatus Wea menegaskan hal serupa dengan konteks yang lebih ekstrem. “Kekurangan imam, rendahnya partisipasi umat, dan keterbatasan SDM lokal yang profesional membuat pastoral di Papua berjalan berat,” ujarnya. Ketergantungan pada bantuan eksternal dan kemunduran pendidikan di kalangan muda memperparah keadaan.

Ia menambahkan, “Tantangan internal yang paling berat bagi kami bukan hanya jumlah tenaga, tapi daya tahan iman. Kami berjuang agar umat tetap bertahan di tengah gempuran budaya modern dan konflik yang tak kunjung reda.”

Di Provinsi Gerejawi Makassar, Romo Aidan Putra Sidik mencatat bahwa medan pastoral yang luas membuat pelayanan tidak merata. “Beberapa stasi hanya bisa dikunjungi setahun sekali. Tapi umat tetap setia, menunggu imam datang dengan air mata bahagia,” tuturnya. Namun ia juga mengingatkan pentingnya tata kelola dan SDM profesional. “Karya misi sekarang menuntut transparansi dan akuntabilitas, bukan hanya semangat,” katanya.

Semua refleksi itu menggambarkan kenyataan yang sama: Gereja tengah berjuang memperkuat fondasi dalamannya, agar mampu menatap tantangan dunia yang makin kompleks.

Eksternal: Gereja di Tengah Krisis Ekologi dan Arus Digital

Romo Yohanes Wahyu menyebut sejumlah tantangan eksternal yang dihadapi keuskupan-keuskupan di Provinsi Gerejawi Semarang. “Ada disintegrasi bangsa akibat radikalisme, kerusakan alam, kemiskinan, dan krisis ekologis,” katanya. Dunia pendidikan menghadapi komersialisasi, sementara di bidang kesehatan tekanan datang dari sistem JKN dan BPJS yang belum berpihak pada karya pelayanan Katolik.

Namun di tengah keterbatasan itu, Gereja tidak diam. “Kami menempuh adaptasi, kolaborasi, dan inovasi,” lanjut Romo Wahyu. Ia menyebut berbagai inisiatif: pembentukan unit pengembangan pastoral, sistem informasi terpadu, penguatan SDM, serta kampanye ekologis. “Sinodalitas kami hidup melalui musyawarah pastoral dari tingkat lingkungan hingga keuskupan.”

Romo Yus menyoroti tantangan sosial dan politik di Jakarta. “Ketika kita berbuat baik, sering dicurigai sebagai kristenisasi. Tapi kita tetap harus hadir dengan semangat Pancasila dan ajaran sosial Gereja,” ujarnya. Ia menambahkan bahwa Gereja perlu berani masuk ke ruang publik melalui gerakan awam Katolik yang terlibat di bidang politik, ekonomi, dan sosial. “Kami punya gerakan rasul awam, pelatihan kepemimpinan, dan analisis sosial. Semuanya untuk menghidupkan iman yang relevan dengan kehidupan bangsa,” tambahnya.

Sementara itu, di Palembang dan Pangkalpinang, tantangan eksternal datang dari pluralitas budaya, perdagangan manusia, hingga kerusakan lingkungan pesisir. “Kami harus membangun dialog lintas iman dan kolaborasi sosial agar bisa tetap menjadi berkat,” ujar Romo Alexander.

Di Papua, tantangan eksternal jauh lebih kompleks. Romo Donatus Wea menguraikan panjang lebar: “Kami menghadapi sekularisasi, narkoba, miras, seks bebas, medan pastoral yang sulit dijangkau, hingga konflik bersenjata dan pelanggaran HAM.” Ia menegaskan bahwa semua itu bukan alasan untuk menyerah, melainkan panggilan untuk berjuang. “Kami ingin tetap menjadi saksi, membela martabat manusia di tengah ketidakadilan struktural,” katanya lantang.

Tantangan di Medan dan Sumatera bagian utara juga tak kalah berat. Romo Petrus Simarmata mencatat bahwa arus migrasi dan tekanan ekonomi menyebabkan banyak umat kehilangan semangat menggereja. Namun, Gereja di sana menanggapinya dengan semangat formasi dan penguatan ekonomi umat. “Kami mengembangkan kredit union, koperasi, dan pelatihan keterampilan bagi keluarga miskin,” ujarnya.

Di Makassar, Manado, dan Amboina, Gereja berhadapan dengan medan yang luas dan daerah-daerah 3T (terdepan, terluar, tertinggal). “Beberapa wilayah hanya memiliki satu keluarga Katolik. Tapi dari situlah kami memulai karya kasih,” ungkap Romo Aidan. Gereja juga memperkuat pelayanan pendidikan dan kesehatan sebagai sarana pewartaan yang kontekstual.

Menariknya, semua provinsi gerejawi menampilkan pola jawaban yang serupa: meningkatkan kualitas iman, memperkuat kemandirian ekonomi, membina generasi muda, dan memelihara bumi.

Di Keuskupan Agung Semarang, gerakan “dua ribu rupiah untuk pendidikan” membantu beasiswa dan gaji guru honorer. Di Surabaya, Gereja menyediakan rumah sakit murah dan pelayanan bagi kaum difabel. Di Purwokerto, kampanye “Laudato Si” menjadi gerakan ekologis umat paroki. Sementara di Papua, Gereja merencanakan pendirian Universitas Katolik, pengembangan kader politik Katolik, serta pemanfaatan teknologi komunikasi untuk pendidikan iman.

Semua langkah itu bukan sekadar strategi administratif, tetapi perwujudan iman yang teruji di tengah badai zaman. “Tujuan akhirnya,” ujar Romo Donatus Wea, “adalah agar Gereja menjadi sumber perdamaian, kemajuan, dan harapan bagi masyarakat, khususnya umat di Papua.”

Gereja yang Bertahan karena Berjalan

Dari Jakarta yang hiruk-pikuk hingga Merauke yang terpencil, dari Medan yang penuh sejarah hingga Ambon yang menyeberangi lautan, satu hal mengikat semuanya bahwa gereja tidak menyerah pada keadaan. Romo Yus menekankan, “Kita tidak dipanggil untuk jadi Gereja yang sempurna, tapi Gereja yang terus berjalan.”

Situasi ini meyakinkan kita bahwa meski di tengah dunia yang cepat berubah, Gereja Katolik Indonesia berupaya menghadapi badai dari dalam dan luar dengan satu bekal utama: iman yang hidup dan harapan yang tak padam.