Beranda OPINI Renungan Paus Benediktus XVI Mengenang Tahun Yubileum St. Paulus, Misionaris Besar Segala...

Renungan Paus Benediktus XVI Mengenang Tahun Yubileum St. Paulus, Misionaris Besar Segala Zaman

SANTO PAULUS

MISIONARIS BESAR SEGALA ZAMAN

 

(Paus Benediktus XVI, Pesan untuk Hari Doa Panggilan Sedunia Tahun 2008)

Pendahuluan

Siapakah Paulus?
-Paulus, Orang Tarsus
-Saulus, Seorang Yahudi

Pertobatan dan Misi
-Pertobatan?
-Seorang Misionaris Bangsa-bangsa
-Misi dan Gereja

Misi Paulus
-Dipimpin oleh Roh Kudus
-Sinagoga, Tempat Publik
-Rumah Pribadi
-Pendengar Paulus
-Lamanya Misi Kota
-Bagaimana Paulus Berkomunikasi
-Segala Sesuatu untuk Injil dan melalui Injil
-Pewartaannya
-Karunia dan Mukjizatnya

Kesimpulan

Apendiks
– Ajaran Paus Benediktus tentang Santo Paulus, Sang Rasul

 

Pendahuluan

Santo Paulus “bersinar laksana bintang yang bercahaya di dalam sejarah Gereja, dan bukan hanya dalam kisah awalnya.” (Paus Benediktus XVI, dalam Audiensi pada 25 Oktober tahun 2006)

Paulus bukan hanya penulis Surat-surat yang kita warisi sekarang ini. Ia pertama-tama dan terutama adalah misionaris. Ia dikenal dengan sebutan Rasul Segala Bangsa dan seorang tokoh penting dalam Gereja, yang penuh warna dan lengkap. Pertemuannya dengan Kristus dalam perjalanan ke Damsyik adalah sumber dari segala pewartaan dan teologinya. Ketika ia melakukan perjalanan ke kawasan Laut Tengah, mengalami penganiayaan, bahaya yang mengancam dalam perjalanan, ia bekerja tak henti-hentinya. Itulah yang menjadi kebanggannya dalam hidup, yaitu mewartakan Injil di tempat-tempat di mana Injil belum pernah diwartakan.

Renungan kita atas tokoh yang penuh warna dan yang memberikan dasar yang kuat pada Gereja selama tahun Yubileum ini akan menjadi sumber dan dorongan baru untuk kegiatan misionaris. Pertama, kita menengok ke figur Paulus. Pengetahuan tentang akar geografis dan religiusnya penting agar kita memahami dengan lebih baik inti dari pertemuannya yang sangat mempengaruhi seluruh hidupnya dengan Kristus serta memahami bagaimana dirinya diubah dan digunakan dalam pelayanan misionernya. Kedua, kita akan melihat bagaimana Paulus memahami dan menyiapkan tugas misionernya. Siapa itu Rasul? Bagaimana seorang rasul dikenali? Penting untuk diperhatikan dengan jelas kepada siapa dan di mana Paulus berbicara, bagaimana ia mewartakan Injil, di mana pewartaan, mukjizat dan karya Roh menjadi nyata dalam pelayanannya. Semua aspek ini akan memberi kita suatu pemahaman yang lebih baik tentang karya-karya dasar dari semua aktivitas misionernya.

Siapakah Paulus?

Paulus Orang Tarsus

Santu Lukas mengatakan, Saulus mungkin dilahirkan di Tarsus (Kis 22, 3). Orangtuanya pindah ke Tarsus atau mungkin dideportasi oleh penguasa Roma. Ketika mereka menetap di sana, mereka diberi kewargaan negara Roma, yang diwariskan juga kepada Saulus (Kis 25,11-12). Kita tahu bahwa ia memiliki seorang saudari dan seorang keponakan (Kis 23,16). Paulus bertumbuh besar di Tarsus (Kis 9,11, 30; 11,25; 21,39; 23,3), ibukota dari daerah Kilikia, sekarang Turki.

Tarsus, kota besar dan kaya, terletak dalam jalur urat nadi dunia pada waktu itu, pintu masuk ke Asia Kecil. Kota ini terkenal dengan kualitas kain sutranya. Hal ini mungkin menjelaskan mengapa sebagai kota perdagangan, Paulus juga memahami urusan dagang. Tarsus memiliki pemerintahan sendiri, dewan kota yang dipilih, dan mata uang sendiri. Keberadaan komunitas Yahudi selama abad pertama setelah Masehi sangat kuat. Pada tahun 66 sebelum Masehi, kota itu menentang Cassius, pembunuh Yulius Kaisar, dan sebagai hadiahnya Markus Antonius mengangkat status Tarsus menjadi kota bebas, yang tidak lagi membayar pajak.

Tarsus dikenal sebagai pusat pendidikan dan filsafat. Strabone, dalam Geografia-nya (14.5.14) mengatakan bahwa Tarsus lebih maju daripada Aleksandria dan tempat lain mana pun dalam bidang pendidikan. Dia berbicara tentang keunggulan sekolah retorikanya. Filsuf Stoik telah membuat Tarsus menjadi tempat tinggal yang menarik. Karena itu hal-hal ini yang menunjukkan jejak ajaran Stoik dapat ditemukan dalam pengajarannya di sepanjang perjalanannya. Santu Paulus menerima kebudayaan ini dalam pendidikannya. Di banyak Surat-suratnya, ia menunjukkan istilah-istilah setempat, argumen yang ditarik dari kebudayaan, filsafat dan sastra zamanya.

Elemen yang paling pasti dalam biografi Paulus adalah perjumpaannya dengan Yesus Kristus sekitar tahun 32 dan pemenjaraannya di Roma pada tahun 60-62. Dia menjadi martir di Roma mungkin antara tahun 63-67. Hal-hal lain sulit dipastikan misalnya, berapa kali Paulus mengadakan perjalanan misionernya. Pendapat bervariasi dari dua sampai empat, tetapi banyak orang lebih condong ke pendapat bahwa Paulus melakukan tiga kali perjalanan. Tahap-tahap dan peristiwa utama dalam hidupnya adalah pendidikannya di Yerusalem di sekolah Gamaliel (Kis 22,3), penganiayaan terhadap orang Kristen pada tahun-tahun sesudah itu, perjumpaannya dengan Kristus dalam perjalanan ke Damsyik pada tahun 30-an, pertemuannya dengan para rasul di Yerusalem, misi untuk menobatkan bangsa-bangsa kafir, kemartiran di Roma.

Saulus, Orang Yahudi

Paulus berbicara tentang dirinya pada beberapa kesempatan dan hal ini membantu kita memahami siapa dirinya. Ia memberitahu kita beberapa informasi penting dalam Fil 3, 5-6: “Disunat pada hari kedelapan, dari bangsa Israel, dari suku Benyamin, seorang Ibrani asli, tentang pendirian terhadap hukum Taurat, aku orang Farisi.Tentang kegiatan, aku penganiaya jemaat, tentang kebenaran dalam menaati hukum Taurat, aku tidak bercacat” Dia disunat para usia delapan hari sesudah kelahirannya. Hal ini menunjukkan bahwa ia sungguh berasal dari bangsa Yahudi. Paulus disunat sebagaimana ditetapkan oleh Hukum Taurat Musa (Im 12,3). “Orang Israel” merupakan istilah teknis untuk menggambarkan identitas religiusnya, “dari suku Benyamin.” Menjadi anggota suku ini merupakan suatu kehormatan dalam Yudaisme dengan beberapa alasan. Benyamin adalah putra dari Rachel, isteri yang sangat disayangi oleh Yakub, ia juga satu-satunya anak yang lahir di Tanah Terjanji (Kej 35,16-18). Salah seorang keturunan suku ini menjadi raja pertama dari bangsa Israel (1 Sam 9, 1-2) dan suku ini tetap setia kepada keturunan Daud (1 Raj 12,21). Bersama dengan suku Yuda, suku Benyamin adalah kelompok pertama yang membangun kembali Kenisah Yerusalem setelah pembuangan (Kel 4,1). Jadi menjadi anggota dari suku ini adalah suatu kehormatan. “Seorang Yahudi dari kelompok Yahudi” atau dengan kata lain seorang Yahudi yang menjalankan hukum Yahudi secara taat, yang menjalankan Hukum Musa dan berbicara bahasa Aram. Teks-teks ini memperlihatkan kepada kita tentang Yahudi sejati.

Paulus juga menyatakan dirinya sebagai seorang Farisi, yang dikenal sangat taat kepada Hukum Musa dan hukum lisan. Hukum lisan ini, yang dijadikan hukum tertulis pada abad kedua sebelum Masehi menjadi terkenal dengan sebutan Talmud. Flavius Josef, seorang sejarawan Yahudi yang bekerja untuk kekaisaran Roma, menulis: “Orang-orang Farisi memaksakan kepada umat Yahudi hukum tradisi nenek moyang yang tidak tertulis dalam Hukum Musa (Antiquités, Juives, 13.297). Kita menemukan gagasan ini sekali lagi dalam Surat Rasul Paulus di mana dia berkata bahwa dia secara fanatik “membela tradisi nenek moyang” (Gal 1,14). Hukum yang terkait dengan makanan, uang dipandang penting. Hal-hal ini secara simbolik membatasi Umat Pilihan sehingga menjadi terpisah dari bangsa manusia lainnya. Iman baru, dalam Yudaisme, menjungkir-balikkan perbedaan ini. Hal ini tidak dapat dibiarkan bagi orang Farisi yang teguh beriman seperti Paulus. Menyangkal hukum ini dan mengatakan bahwa keselamatan diperuntukkan bagi semua umat manusia berarti bahwa Israel berada dalam bahaya kematian.

Namun demikian, gambaran atau deskripsi ini tidak membuat kita membayangkan seorang manusia yang dekat dengan kebudayaan iman. Kita telah melihat konteks di mana Paulus bertumbuh di Tarsus. Surat-suratnya membenarkan bahwa ia mendapat pendidikan di sinagoga dan juga dalam lingkungan Yunani. Kemahirannya dalam hal retorika dan pengutipan atau referensinya kepada penulis Yunani kuno menyatakan bahwa ia belajar hal-hal itu paling tidak hingga berusia 14 atau 15 tahun. Selanjutnya, dia dikirim ke Yerusalem untuk mempelajari tradisi nenek moyangnya di sekolah Gamaliel.

Bahkan para Rabi dalam kisah itu tidak ragu-ragu memberi kepada para siswa mereka penulis-penulis Yunani untuk dibaca. Karena itu betapa luasnya dunia budaya dan intelektual dari Paulus.

Pertobatan Paulus dan Misi

Pertobatan

Panggilan untuk bermisi dan “pertobatan” memiliki kaitan yang erat dalam diri Paulus. Itulah sebabnya mengapa menarik untuk dikaji hakikat pendidikan spiritual agar memahami penggilannya sebagai misionaris.

Paul tidak banyak berbicara tentang peristiwa-peristiwa ini dalam Surat-suratnya. Inti suratnya terdapat dalam 1 Kor 15,1-11, Gal 1,13-17, dan Fil 3,2-14, tetapi rincian historisnya tidak banyak diberikan. Rasul Paulus lebih berfokus pada arti penting atau maknanya. Ia berbicara tentang pengalaman yang mengubah seluruh hidupnya, tetapi agaknya lebih daripada suatu peristiwa khusus yang ia lihat sebagai saat panggilan sejak dari kandungan ibunya (Gal 1,15). Karena itu kita tidak dapat menafsir perjumpaannya dengan Yesus Kristus tanpa memerhatikan seluruh keberadaannya.

Lalu, apa arti dari peristiwa itu? Berbicara tentang pertobatan, akan salah jika menafsir hal ini sebagai perubahaan dari satu agama ke agama lain. Sebetulnya, Paulus sama sekali tidak berpikir bahwa ia telah mengubah agamanya. Harus dicatat bahwa pemisahan antara Yudaisme dan Kristianisme belum terjadi pada waktu itu. Pertobatan ini lebih memiliki makna sebagai keterbukaan hati kepada Allah, pancaran rahmat dan perubahaan pribadi.

Paulus mengomentari perjumpaannya dengan Kristus dalam kata-kata berikut ini: “Ketika Allah, yang memilih aku sejak kandungan ibuku dan memanggil aku (Yer 1,5) oleh karena kasih karunia-Nya, berkenan menyatakan Anak-Nya di dalam aku, supaya aku memberitakan Dia kepada bangsa-bangsa bukan Yahudi” (Gal 1,15-16). Rasul Paulus memahami kejutan dalam dirinya ini sebagai buah dari kematangan yang lama yang dimulai sejak saat pertama keberadaanya: sejak lahir ia dibimbing oleh Alah, secara perlahan, sabar, sampai momen yang menentukan ketika Kristus menangkapnya dan membuatnya menjadi miliknya untuk selamanya (Fil 3,12). Paulus menegaskan dalam Surat-suratnya tentang prakarsa ilahi. Dalam satu momen saja, semuanya menjadi berbeda.

Pertobatan berarti dilahirkan kembali. Peristiwa itu membawa sesuatu yang sama sekali baru. Paulus menjadi buta karena penampakan diri Kristus. Pembaptisan memulihkan pengelihatannya (Kis 9,18), suatu simbol yang sangat kuat dan jelas. Orangtua itu tidak bisa melihat dengan baik sebelum ia dilahirkan kembali. Satu dunia baru dinyatakan kepada Sang Rasul. Seluruh pemikiran Paulus didasarkan pada pengalaman itu. Ini bukan hanya penglihatan tentang Kristus. Ini terutama adalah pewahyuan transformasi dunia yang mendalam yang diperoleh berkat Kristus yang Bangkit. Paulus menegaskan dalam tulisan-tulisannya perbedaan antara dunia lama dan dunia baru. Ia mengalami perbedaan ini dalam tubuhnya.

Dia menggunakan dua ungkapan untuk menggambarkan apa yang terjadi: Sang Rasul “melihat” Kristus (1 Kor 9,1; 15,8) dan menerima wahyu (Gal 1,16; 2,2; Ef 3,3), suatu istilah yang sering ia gunakan (Rom 16,25; 1 Kor 1,7; 2 Kor 12, 1,7 dan masih banyak lagi). Kedua istilah ini menggambarkan satu tindakan ilahi. Kristus tidak dilihat, sebetulnya Dialah yang membiarkan dirinya dilihat. Ketika berbicara tentang pengelihatan ini, Paulus menggunakan kata kerja dalam bentuk pasif. Allah menyatakan diri-Nya kepada manusia; inilah komunikasi misteri ilahi. Itulah sebabnya dalam Ef 1,17 Paulus berbicara tentang “roh kebijaksanaan dan wahyu”, bagi orang-orang Kristiani, sumber pengetahuan tentang misteri Allah.

Misionaris

Paulus menjelaskan bahwa wahyu yang diberikan kepadanya adalah “wahyu (misteri tentang Kristus) yang boleh diwartakan kepada bangsa kafir”. Wahyu ini menetapkannya menjadi misionaris, tetapi misinya dipahaminya sebagai hal yang sejalan dengan panggilan nabi. Paulus dalam Galatia 1, 15-16 memberikan rujukan ke panggilan nabi Yesaya (Yes 49,1) dan Yeremia (Yer, 1,5). Paulus melihat panggilannya untuk mewartakan Injil kepada bangsa-bangsa sebagai kelanjutan dari misi para nabi, dan, khususnya hamba Allah seperti yang dilukiskan dalam Yesaya. Misionaris adalah pembawa pesan yang menunaikan misi pelayan Kristus seperti yang dijelaskan dalam Yes 40-55. Bagaimana pun dalam satu penglihatan Paulus di Korintus dikisahkan, “Pada satu malam berfirmanlah Tuhan kepada Paulus dalam suatu penglihatan, ‘Jangan takut; teruslah memberitakan Firman dan jangan diam; sebab Aku tetap menyertai engkau. Dan tidak seorang pun yang akan menjamah dan menganiaya engkau sebab banyak umat-Ku di kota ini” (Kis 18,9-10). Kita membaca dalam Yes 41,10: “Jangan takut, sebab Aku menyertai engkau; jangan bimbang, sebab Akulah Tuhan Allahmu; Aku akan meneguhkan kamu; ya, Aku akan menolong engkau; ya, Aku akan memegang engkau dengan tangan kanan-Ku yang membawa kemenangan.” Tugas Paulus di Korintus adalah menjalankan tugas sebagai pelayan Allah.

Kebanyakan dari teks ini menunjuk ke Yesaya dan khususnya figur hamba Allah. Katekese agama Kristen awal mengakui ramalan tentang Kristus dalam diri yang misterius ini. Adalah cukup untuk diingat percakapan antara seorang sida-sida dari Etiopia dan Filipus di jalan ke Gaza (Kis 8, 30-35). Itu berarti bahwa Paulus, yang menerapkan ramalan tentang hamba kepada dirinya sendiri, memahami misinya sebagai kelanjutan dari misi Kristus. Identifikasi diri sang pewarta dengan Tuhannya harus dipahami dalam arti yang dinamis, bukan statis. Pada titik ini, kita bertemu dengan pokok dasar dari teologi Paulus: identifikasi dengan Kristus dimulai dari Pembaptisan dan merupakan suatu proses yang berlangsung seumur hidup. “Bertobat” karena Kristus (Fil 3,13) menyebabkan pembaruan diri yang mendalam. Hal ini terjadi khususnya dalam kasus Rasul Paulus.

Pembenaran diri Paulus ketika dikritik merupakan suatu hal yang kaya ajarannya (2 Kor 4, 7-15). Paulus didorong untuk membenarkan kualitas kerasulannya kepada misionaris Kristen Yahudi yang sedikit kurang menghormati kualitas ini: “Kita membawa kekayaan ini dalam bejana tanah liat, sehingga menjadi jelas bahwa kekuatan yang luar biasa ini datang bukan dari diri kita sendiri, tetapi dari Allah.” Ayat ini menjelaskan teori yang kemudian ia tunjukkan dalam ayat berikut: kerentanan Rasul dalam karya kerasulannya, yang hidup dalam penganiayaan, bukanlah tanda kelemahan, melainkan kondisi yang harus diterima karena kekayaan yang ia bawa, pengetahuan tentang Kristus, untuk dinyatakan, dan bagi komunitas Kristiani untuk menerima kehidupan Kristus yang Bangkit. Ayat 10 dan 11 menggambarkan bagaimana ia mengidentifikasikan penderitaannya dengan penderitaan Kristus. Paulus berkata: kita “siap mati”. Sekarang, ungkapan “siap” biasanya digunakan Paulus dan oleh para pewarta Injil untuk melukiskan penderitaan Kristus. Dia meneruskan identifikasinya dalam ayat 14, ketika ia berkata, dia akan bangkit dari mati bersama Kristus. Karena itu, misinya adalah memberikan hidupnya seperti yang Kristus lakukan. “Selama membawa kematian Yesus dalam tubuh kami sehingga kehidupan Yesus, juga sungguh menjadi nyata dalam tubuh kami (2 Kor 4,10). Ayat ini mengatakan bahwa kematian yang bekerja dalam diri pewarta Injil merupakan sumber kehidupan bagi komunitas, sama seperti kematian Kristus merupakan sumber kehidupan kita. Melalui pelayanannya sebagai seorang Rasul, ia membuat korban penebusah Kristus menjadi nyata hadir. “Dalam tubuhku sendiri aku menyempurnakan penderitaan yang masih harus dialami oleh Kristus” (Kol 1,24). Di sini kita mengetahui hakikat ekaristi dari kehidupan setiap misionaris.

Kepada Bangsa-bangsa

Universalitas merupakan satu ciri penting dari misi Paulus. Hal itu merupakan konsekuensi dari inti iman barunya. Tugasnya adalah menyampaikan Kabar Baik kepada bangsa-bangsa bukan Yahudi. Pernyataan ini, yang ditemukan dalam Gal 1, 16 hanya diperkuat oleh janji bantuan yang kita temukan dalam Kis 26,17; “Aku akan mengasingkan engkau dari bangsa ini dan bangsa-bangsa lain dan Aku akan mengutus engkau kepada mereka.” Paulus akan bekerja bagi orang Yahudi dan bukan Yahudi sebagai saksi dari Dia yang Bangkit, yang diutus oleh Tuhan yang Dipuji yang, sama seperti Keduabelas Murid, ia telah bertemu secara pribadi. Laporan lain bahwa penglihatan itu adalah dasar misinya kepada bangsa-bangsa asing, Kis 22,17-21 merujuk ke penglihatan yang terjadi di kenisah. Paulus harus pergi kepada segala bangsa. Kata “segala bangsa” diterapkan pada bangsa bukan Yahudi dan juga orang-orang yang hidup di luar Yerusalem. Di sini kita menemukan satu pokok penting dari hal-hal yang baru dalam iman Kristen dan teologi Paulus: universalitas keselamatan. Kristus memberi hidupnya bagi semua umat manusia dan ia menginginkan agar setiap orang diselamatkan. Cinta Kristus, yang membakar hati sang Rasul, akan membawanya jauh sampai ke Spanyol (Rom 15,24), yang pada waktu itu dikenal sebagai ujung dunia.

Misi dan Gereja

Paulus berkata, dia adalah Rasul, sekalipun bukan dari keduabelas murid. Kata benda ini berasal dari kata kerja dalam bahasa Yunani “mengutus dan pergi jauh”. Hak Paulus untuk menyandang sebutan ini, sering kali diklaim, didasarkan pada kenyataan bahwa Kristus yang Bangkit itulah yang mengutusnya untuk mewartakan (1 Kor 17), misteri Kristus kepada bangsa-bangsa bukan Yahudi (Gal 1,16; Ef 3,8), dan dia sangat sadar bahwa kehormatan terbesar berlaku: “Karena Aku adalah yang terakhir dari para rasul dan tidak cukup tepat dipanggil rasul karena aku pernah menganiaya Gereja Allah” (1 Kor 15,9). Untuk menjadi rasul, ia harus diutus; fakta bahwa dia telah melihat Kristus tidaklah cukup. Dalam 1 Kor 15,5-7, Paulus membedakan “lima ratus saudara” dari “semua rasul” (“semua rasul” berbeda dari “Keduabelas murid”. Perbedaan antara kedua kelompok ini terletak dalam kenyataan bahwa yang pertama tidak diberi tugas untuk menjalankan misi.

Ketepatan semantik ini memperkenalkan pokok ajaran tentang Gereja. Paulus yang diutus langsung oleh Kristus, seperti ia sendiri katakan, apakah mungkin ada misi di luar Gereja? Kita memperhatikan dalam laporan yang berbeda tentang panggilan, dalam Surat-surat dan dalam Kis, bahwa Gereja tidak pernah absen. Sehingga Paulus sering kali berkata bahwa misinya bukan tanggung jawab gerejani, melainkan karunia ilahi. Kita juga melihat bahwa perantaraan Gereja itulah yang mengesahkan otentisitas panggilannya. Paulus pergi bertemu Petrus untuk menghindari usaha yang sia-sia(bdk Gal 2,2). Dalam Kis 9, 10-18, kita melihat dia menerima perutusan misionernya bukan secara langsung dari Kristus tetapi dari Ananias. Maksud dari perantaraan Ananias bukan untuk memberikan ajaran baru kepada Paulus tetapi lebih berarti membantunya untuk memahami penetapan apostoliknya dalam terang tradisi gereja. Hal ini diperkuat dengan banyak rujukan dalam Surat-surat Paulus tentang tradisi gereja (1 Kor 11,2; 11,23; 15,1). Akan tetapi perhatian Paulus yang tetap muncul adalah diutus oleh komunitas. Hal ini berlaku sejak awal kegiatan misioner, ketika dia menyimpang dari Antiokia (Kis 13, 1-3) ke tempat lain. Paulus mau menulis surat untuk jemaat di Roma, yang meminta sesuatu yang lain untuk mendukung dan mengakui misinya (Rom 15, 24). Tidak ada pertentangan antara misinya dan tradisi Gereja.

Misi Paulus

Kita telah membahas tentang asal mula misi dan maknanya bagi Paulus. Sekarang kita akan membahas aspek konkret dari misi ini. Apakah ia memiliki strateginya? Bagaimana ia menjalankannya? Bagaimana ia memulainya? Hal-hal ini menjadi pertanyaan yang menarik bagi siapa pun yang terlibat dalam kegiatan mewartakan Injil.

Dipimpin oleh Roh Kudus

Paulus memperkenalkan dirinya kepada orang Yahudi dan kemudian kepada orang bukan Yahudi, tetapi ia tahu ia harus mewartakan Injil kepada orang bukan Yahudi. Paulus adalah seorang misionaris bagi kedua kelompok bangsa itu (Rom 1,16). Rencana strateginya sederhana: ia memutuskan, agar memenuhi panggilan tugasnya, bahwa ia akan mewartakan Injil ke pada orang bukan Yahudi di tempat-tempat di mana Injil belum pernah diwartakan (Gal 2,7; Rom 15,14-21). Berjalan keliling di jalan-jalan kekaisaran Romawi, Paulus pergi dari satu kota ke kota lain di Arabia, Siria, dan Kilikia, kemudian ke Ciprus, Asia Kecil, Makedonia, Akaia dan, seperti ia pernah rancanakan, ke Spanyol. Paulus menyerahkan perjalanan misionernya di tangan Allah. Sekalipun perjalanannya direncanakan, ia sadar akan karya Roh Kudus yang memimpin dirinya (Kis 16,9), sekalipun hal ini membuatnya dianiaya. Dan Roh Kudus itu pulalah yang menjadi pendorong perjalanannya beberapa kali. Roh Kudus mendorongnya untuk berangkat ke Antiokia (Kis 13,50-51), Ikonium (Kis 14,5-5), Listra (Kis 14,19-20), Filipi (Kis 16, 19-40), Tesalonika (Kis 17, 5-9), Berea (Kis 17,13-14), dan Efesus (Kis 21,1).

Sinagoga, Tempat Publik

Strategi Paulus berfokus pada pusat perkotaan, pusat pemerintahan Romawi, kebudayaan Yunani, dan kehadiran bangsa Yahudi sehingga Injil mungkin disebarkan dari komunitas yang ia dirikan di sana, ke berbagai tempat lain.

Setibanya di satu kota, hal pertama yang Rasul Paulus lakukan adalah pergi ke sinagoga setempat pada hari Sabat, dan turut ambil bagian dalam kebaktian hari itu. Sebagai seorang asing, ia akan diminta oleh pejabat keagamaan setempat untuk memberi tafsirannya tentang Taurat. Ini merupakan kesempatan untuk menarik perhatian para pendengar dan mewartakan Kristus yang Bangkit. Dari sudut pandang strategis ini orang-orang bukan Yahudi menerima Allah Israel; “umat yang takut pada Allah” adalah target utama dari pewartaannya kepada bangsa bukan Yahudi atau kaum kafir. Dengan mewartakan Injil dalam sinagoga, orang-orang inilah yang Paulus inginkan. Pergi ke sinagoga merupakan hal yang tetap dilakukan dalam seluruh hidup Paulus. Bahkan pada akhir hidupnya ketika ia tiba di Roma, Paulus mengundang orang-orang Yahudi di kota itu untuk mendengarkan apa yang ia hendak wartakan (Kis 28).

Sehubungan dengan lingkungan masyarakat bukan Yahudi, pewartaan Paulus di Athena seperti dilaporkan dalam Kisah Para Rasul (Kis 17, 16-34) membuat kita membayangkan bahwa Paulus biasanya memilih satu tempat umum di mana ia bisa mewartakan. Ia tidak ragu-ragu mengambil setiap kesempatan yang mungkin untuk mewartakan Injil Kristus, bahkan dalam penjara (Kis 16, 26-34), satu kisah yang mengharukan tentang pertobatan satu keluarga kepada Kristus.

Rumah-rumah Pribadi

Rumah-rumah pribadi merupakan satu tempat penting lain untuk bermisi. Kehidupan komunitas Kristiani perdana sangat berkaitan erat dengan rumah, yang mencakup seluruh keluarga, termasuk para hamba dan sahaya. Rumah, titik rujukan, di mana komunitas itu bertemu untuk berkumpul pada Hari Tuhan, dijadikan sebagai tempat pertemuan. Hal ini bukanlah sesuatu yang baru bagi kaum beriman yang bertumbuh sebagai orang Yahudi, dan biasa bertemu di rumah-rumah pribadi. Rumah pribadi memberi beberapa manfaat lain. Perayaan Ekaristi dapat diikuti dengan perjamuan bersama. Hal ini menjamin keleluasaan, yang akan menjadi penting untuk menghindari penganiayaan dari pihak Romawi atau kebencian dari pihak sinagoga.

Menarik untuk dicatat bahwa Paulus mengusulkan agar para isteri dari orang-orang bukan Yahudi tidak meninggalkan suami mereka (1 Kor 7,13-14). Hal ini sangat menarik karena kita tahu bahwa rumah merupakant tempat peribadatan keluarga. Dewa-dewa kafir memiliki altarnya sendiri. Pater familias, kepala keluarga, bebas pergi ke kuil untuk berdoa atau menjalankan fungsi keimaman tertentu. Ia juga bebas untuk pergi secara rutin ke rumah pelacuran, yang merupakan suatu kebiasaan yang tersebar luas. Sangat sering kita membaca tentang pertobatan dari seluruh keluarga: kelurga Lydia dan keluarga kepala penjara di Filipi (Kis 16, 14-15, 32-34), keluarga dari Krispus dan Stefana di Korintus (Kis 18,8; 1 Kor 1,16; 16,15). Studi-studi arsitektur menunjukkan bahwa sesuai dengan ukurannya, rumah-rumahn pada waktu itu cukup untuk memuat orang sekurang-kurangnya 20 orang dan sebanyak-banyaknya 100 orang beribadah.

Para Pendengar Paulus

Paulus berbicara kepada setiap kelompok masyarakat. Walaupun warga Korintus berasal dari masyarakat dengan kondisi sosial sangat sederhana, dan nama-nama yang disebut dalam Rom 16 mengungkapkan gaya hidup yang sederhana, Lukas melaporkan lebih dari satu kali bahwa Paulus memiliki hubungan dengan anggota masyarakat dari kelas sosial yang lebih tinggi: Lydia, seorang perempuan yang berdagang kain ungu, banyak perempuan dari masyarakat kelas tinggi di Tesalonika dan di Berea (Kis 17,4.12), dan beberapa pembesar dari Asia (Kis 19,31). Orang-orang yang disebutkan terakhir ini digambarkan sebagai sahabat-sahabat Paulus. Sangat mungkin mereka adalah buah-buah dari pewartaan ini. Kis 13,7 mencatat tentang Sergius Paulus, Prokonsul di Pafos.

Pertemuan Paulus dengan Prokonsul Festus dan Raja Agripa sangat menarik karena hal itu menunjukkan siapa itu Paulus ketika ia berbicara dengan tokoh-tokoh yang berada pada puncak tangga sosial. Kepada Festus, yang menyebutnya seorang gila, Paulus menjawab dengan menunjuk ke Raja Agripa yang percaya kepada nabi-nabi (Kis 26,27), dan mengatakan keinginannya bahwa cepat atau lambat semua pendengar di sini akan menjadi sepertinya, yaitu beriman (Kis 26,29). Bagian pidato yang panjang lebar tentang kegiatan misioner ini menunjukkan bukan hanya keberanian Paulus tetapi juga bahwa misinya menjadi semakin mungkin di kalangan bangsa Yahudi.

Menurut 2 Tim 4, 16-17, Paulus mewartakan Injil bahkan selama masa penahanannya oleh penguasa Roma: “Pada waktu pembelaanku yang pertama, tidak seorang pun yang membantu aku. Semuanya meninggalkan aku – kiranya hal itu jangan ditanggungkan atas mereka. Tetapi Tuhan telah mendampingi aku dan menguatkan aku supaya dengan perantaraan Injil yang diberitakan dengan sepenuhnya dan semua orang bukan Yahudi mendengarkanya; dengan itu aku lepas dari mulut singa.”

Hubungan-hubungan dan percakapan dalam lingkungan yang sama membantunya untuk mendapatkan dukungan politik dan juga akses ke tempat pertemuan yang cukup luas, dan membuktikan fakta bahwa Injil menyentuh setiap sektor masyarakat. Namun demikian tak satu dalam teks itu menunjukkan bahwa untuk lingkungan-lingkungan ini Paulus memiliki satu strategi khusus.

Lamanya Misi Kota

Pembacaan sepintas terhadap Kisah Para Rasul dan Surat-surat Paulus mungkin memberi kesan bahwa Paulus tidak berhenti lama di setiap kota. Ia berjalan dari kota yang satu ke kota yang lain. Sebaliknya, malahan misinya berlangsung selama beberapa bulan atau bertahun-tahun. Untuk bermisi di Siria (Antiokia) Kisah 11,26 menyebut waktunya setahun. Misi di Makedonia dan Akaia berlangsung selama tiga tahun, dari 49 Masehi hingga 51 Masehi. Pada masa itu Paulus membangun tidak kurang dari empat komunitas: Filipi, Tesalonika, Berea dan Korintus. Paulus menghabiskan waktu selama 18 bulan (Kis 18,11) di Korintus (dari Februari-Maret pada tahun 50 sampai September tahun 52). Misinya ke Asia (tahun 52-55) berfokus di Efesus di mana Paulus bekerja selama tiga tahun (Kis 20,31); ia mengajar di sinagoga selama tiga bulan (Kis 19,8), di sekolah di Tirus, selama dua tahun dan sedikit lebih lama, tidak seperti yang dilaporkan (Kis 19,22). Seorang misionaris tahu bahwa untuk membawa iman kepada umat, ia harus menghabiskan waktu lebih lama bersama mereka.

Bagaimana Paulus Berkomunikasi?

Keberhasilan Rasul Paulus membuat kita iri hati. Suatu pembacaan yang cermat atas surat-surat apostolik atau kerasulannya dan Kisah Para Rasul membuat kita mengetahui alasan tentang keberhasilan yang luar biasa ini. Kita telah melihat bahwa Rasul memandang dirinya seperti bejana tanah liat, yang rentan dan mudah pecah. Tetapi bejana ini didiami oleh Roh Kudus, kekuatan Allah. Dan Paulus mencari dalam setiap cara untuk mempermudah kekuatan ini, karya Roh Kudus. Hal ini akan menjadi pokok pertama dari pewartaaan. Paulus mempersembahkan seluruh hidup demi Injil dan bersama dengan Injil. Injil disampaikan terutama dengan dua sarana: mewartakan dan menjalankan karunia.

Segala Sesuatu demi Injil dan melalui Injil

Syarat penting untuk melaksanakan kegiatan misioner, menurut sang Rasul, adalah suatu gaya hidup yang konsisten. Kehidupannya sendiri merupakan suatu pewartaan tentang Injil. Hal itu sama sekali tidak menghalangi pewartaan ini. Paulus mengungkapkan konsepnya dalam satu cara khusus. Ia tidak mau menjadi beban bagi komunitas yang ia kunjungi dan yang kepada mereka ia mewartakan Injil, walaupun ia tahu bahwa pewartaan memiliki hak untuk hidup dari kegiatan pewartaannya. 1 Kor 9 memberikan kepada kita suatu refleksi dari sang Rasul yang membangkitkan semangat tentang hal ini. Walaupun ia berhak untuk menikmati buah-buah dari kerjanya, ia menolak untuk mengambil manfaat dari tanggung jawabnya itu. Alasan dasarnya adalah ini: keputusan Paulus sebetulnya merupakan suatu keharusan. Ia sadar bahwa mewartakan Injil adalah satu tugas yang dipercayakan kepadanya. “Celakalah aku jika aku tidak mewartakan Injil!” (1 Kor 9,16). Bukan dirinya yang mengambil inisiatif. Upahnya terletak dalam hal bahwa ia harus mewartakan Injil! Dan untuk melakukan hal ini, ia berusaha menjadi segalanya!

Satu-satunya komunitas yang memberinya dukungan keuangan adalah komunitas Filipi. Paulus berada dalam penjara ketika komuntas Filipi memberinya bantuan pada saat-saat yang tidak menyenangkan ketika ia tidak bisa bekerja. Sangat sering para tahanan tidak mendapat makanan kecuali makanan yang dibawa oleh keluarga atau teman-temannya kepada mereka. Paulus pun tidak bisa lagi mendapatkan bantuan makanan.

Pewartaannya

Paulus adalah seorang guru dalam hal pewartaan. Pembacaan sepintas lalu atas Surat-suratnya mungkin membuat kita berpikir bahwa ia berbicara tanpa persiapan, tanpa persiapan khusus, “dilhami” oleh Roh Kudus, sangat berbeda dari pidato-pidato yang memperlihatkan kemahiran diri tetapi kosong dari para ahli retorika sofis pada zaman itu. Sebaliknya, 1 Kor 2, 1-5 menunjukkan dasar karya pewartaannya. Bagaimana pun datang dari sekolah yang baik, ia juga sadar betul bahwa untuk beberapa ajarannya, aturan dasar retorika Yunani yang diterapkan dengan baik dapat menjadi sangat efektif. Ia menempatkan pengetahuan dalam kerangka pelayanan kepada Injil. 1 Kor 2 menawarkan kepada kita suatu pelajaran yang bernilai tentang hal-hal yang kita bisa lakukan dengan lebih baik, yaitu memeriksanya dengan penuh perhatian.

Walaupun ada kritik terhadap seni berbicara pada zamannya, Paulus mengembangkan satu teologi tentang pewartaan dengan menggunakan beberapa elemen retorika. Pertama-tama ia mengingatkan bahwa misinya adalah mewartakan tentang Yesus sebagai Mesias, tetapi Mesias yang tersalib. Pewartaan tentang kematian Tuhan merupakan inti pewartaannya. Mereka yang turut ambil bagian dalam meja perjamuan Tuhan mewartakan kematiannya (1 Kor 11,26), Sabda Allah diwartakan di sinagoga-sinagoga (Kis 13,5). Ia berbicara kepada anggota Gereja yang berada di Roma bahwa iman mereka menjadi terkenal di seluruh dunia (Rom 1,8). Tekanannya adalah pada pewartaan kepada publik, bukan pewartaan di tempat-tempat atau gedung umum. Hal ini membuat Paulus menampilkan diri seperti seorang orator publik, yang akan mengancam posisinya di Korintus. Namun demikian pewartaan selalu bersifat publik: bukan komunikasi dalam bentuk pengajaran yang esoterik kepada sekelompok orang yang mau diperkenalkan, tetapi dengan kisah tentang peristiwa-peristiwa bagi siapa pun yang ingin mendengar.

Paulus, tidak seperti para ahli retorika pada waktu itu, menolak menggunakan apa yang mungkin menyenangkan para pendengar tetapi mencegah pemahaman mereka tentang Injil. Tujuan dari pewaartaannya bukanlah untuk mendapatkan pengaruh, semacam parade untuk membujuk para pendengar. Pewartaannya adalah penyampaian tentang misteri Salib. Dia ingin tahu satu hal. Kristus disalibkan. Hal inilah yang menjadi isi dasar pesannya, sisanya adalah komentar. Ia sungguh menjelmakan kenyataan ini. Kristus yang tersalib hidup dalam dirinya (Gal 2,20).

Ia mengatakan bagaimana ia mewartakan, gemetar ketakutan; hal itu muncul sebagai satu kejutan karena kekuatan karakter yang besar bersinar melalui surat-suratnya. Sebetulnya dua kata ini, yaitu “gemetar ketakutan”, menjadi ungkapan khusus yang ditemukan dalam Perjanjian Lama dan biasanya digunakan untuk menggambarkan seseorang yang menghadapi musuh yang mengancam atau serangan yang mematikan (Kel 15,16; Ul 2,25; Gd 2,28; Mz 54,6; Yes 19,16). Pewartaan merupakan suatu perjuangan. Di antara orang Korintus kelemahannya merupakan suatu kondisi yang tidak biasa. Dalam konteks inilah kekuatan Allah menyatakan dirinya. Kita melihat hal ini dalam 1 Kor 1,27-29 dan dalam 2 Kor 12,9. “Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu.” Sikap ini sangat berlawanan dengan sikap yang sangat percaya diri dari kaum sofis. Paulus tidaklah seperti orang yang Anda mungkin sebut sebagai pembicara yang dipanggil untuk menyenangkan banyak orang.

Kesadaran tentang sifat khusus pewartaannya secara eksplisit diungkapkan dalam ayat 4 dan 5 dengan permainan yang sangat halus dalam kata-kata. Banyak kata yang digunakan oleh Paulus memiliki makna ganda yang dalam terjemahannya kita tidak berhasil menjelaskan maknanya. Ia memakai kata-kata yang memiliki makna dalam kosakata keagamaan dan makna teknis dalam retorika. Roh Kudus ditampilkan sebagai sesuatu yang menggerakkan hati. Frase ini memandang kekuatan yang menggerakan itu berasal dari Roh Kudus. Dialah penguasanya.

Hasil dari “pertunjukkan” ini (istilah teknis dalam retorika) bukan hanya suatu pembuktian, suatu keyakinan; itulah iman dan semua konsep diungkapkan dengan kata Yunani yang sama, yang Kitab Suci terjemahkan dengan kata ‘iman’. Suatu ironi besar. Kekuatan Roh Kudus berhadapan dengan kelemahan Paulus dan kekuatan yang jelas dari Roh Kudus berhadapan dengan kekuatan persuasif dari kata-kata yang merupakan kebijaksanaan manusia.

Terlepas dari konteks historis yang menentukan sejauh mana wacana yang digunakan Rasul Paulus, kita dapat mengangkat beberapa elemen penting yang berguna untuk mewartakan Injil. Pesan utamanya adalah misteri Salib atau keselamatan. Buah dari pewartaan adalah iman, bukan suatu bentuk yang meyakinkan. Iman menurut Paulus ditandai oleh ketaatan (bdk. Rom 1,18). Itu berarti kesetiaan kepada pribadi dan kata-kata Yesus. Ini merupakan buah karya Roh Kudus yang menyatakan dirinya menjadi orang yang berkata-kata di balik pribadi misionaris yang tugasnya adalah bertindak dalam “ketakutan dan gemetar”. Pada saat yang sama hal ini berarti bahwa situasinya sangat genting. Ini merupakan suatu medan juang, tetapi juga bahwa sangat perlu untuk menyadari bahwa ini merupakan karya Allah. Hal ini terjadi dalam kehadiran Allah. Karena itu karya misioner merupakan suatu pekerjaan teologis yang penting. Komposisi yang indah dari bagian ini, yang dengan cakap menggunakan semua sarana retorika, menunjukkan bahwa hal itu tidak berarti kemiskinan bahasa atau kecakapan, sebaliknya, setiap hal ini memiliki makna sesuai dengan bahasa yang dipakai untuk menyampaikan pesan itu.

Karunia dan Mukjizat

Persoalan tentang karunia dan mukjizat tidak boleh diremehkan atau dinilai terlalu tinggi. Kisah Para Rasul menunjukkan bahwa mukjizat bukanlah pendorong utama dari pelaksanaan pewartaan, sekalipun hal itu juga kadang-kadang turut membantu efektivitas pewartaan. Ketika orang banyak bertobat, pertobatan ini pertama-tama disebabkan bukan oleh mukjizat tetapi oleh kata-kata yang diwartakan. Sering terjadi bahwa beberapa mukjizat disalahpahami dan menjadi pangkal kebingungan atau kekacauan. Cukuplah menunjukkan satu contoh tentang penyembuhan orang cacat di Lystra dalam Kis 14. Pertama-tama orang-orang di Lystra mengira bahwa Paulus dan Bernabas adalah dewa Zeus dan Hermes. Sesudah langsung mengikuti episode ini, dikisahkan bahwa Paulus dilempari dengan batu, sesudah orang banyak dihasut oleh sekelompok orang Yahudi dari Ikonius dan Antiokia (Kis 14,19). Kis 16,18 melaporkan bagaimana pembebasan seorang hamba yang dikuasai oleh roh tenungan menimbulkan kemarahan besar dari tuan-tuan perempuan itu yang hidup dari roh tenung hamba perempuan itu. Akhirnya, dalam Kis 28, Paulus digigit oleh seekor ular, tetapi tidak mati. Mereka yang hadir tidak bertobat tetapi memandang satu sama lain seolah-olah mengatakan bahwa Paulus adalah seorang dewa.

Betapa pun mukjizat dan karunia tidak boleh diremehkan atau dipandang tidak bermakna atau tidak berguna. Sejarah pewartaan Injil bertaburan dengan karunia dari Roh Kudus yang, dengan cara yang biasa dan luar biasa, membawa orang-orang yang tidak percaya kepada iman. Untuk menjadi yakin tentang hal ini, cukuplah untuk membaca tentang karunia dalam 1 Kor 12-14. Kata-kata profetis, kata-kata yang diilhami, yang disampaikan kepada orang yang berkumpul untuk berdoa, merupakan alasan langsung pelaksanaan pewartaan bagi mereka yang tidak percaya.

Paulus dalam surat-suratnya mengatakan sedikit sekali tentang mukjizat kecuali dalam tulisannya tentang karunia, dalam 1 Kor 12-14 dan mungkin dalam 1 Kor 2,4, di mana ia menunjukkan suatu kekuatan Roh Kudus, suatu rujukan yang tidak langsung ke mukjizat. Hanya Kisah Para Rasul mengujinya dalam kenyataan. Kita harus mengakui bahwa mukjizat ini, walaupun kadang-kadang disalahpahmi oleh orang yang hadir, sering merupakan sumber atau penyebab pertobatan.

Penyembuhan orang yang cacat di Lida dan kebangkitan Tabita di Jaffa (kis 9,32-43, pelepasan yang menakjubkan terhadap Paulus dan Silas dari penjara (Kis 16,25-34). Kis 14,3 sangatlah menarik. Paulus dan Bernabas mewartakan Injil di Ikonium. Dilaporkan bahwa “Paulus dan Bernabas tinggal beberapa lama di sana, mewartakan tanpa takut dalam nama Tuhan; dan Tuhan menguatkan berita tentang kasih karunianya, dengan mengaruniakan kepada mereka kuasa untuk mengadakan tanda-tanda dan mukjizat.”

Kesimpulan

Salah besar bila orang yang memandang Paulus sebagai pendiri agama Kristinai, hanya karena besarnya hasil karya misioner untuk mewartakan iman ini pada masa awal Gereja. Tetapi inti yang mau disampaikan adalah bahwa bukan tanpa alasan kemudian bahwa ia tetap dipandang sebagai contoh yang paling unggul bagi semua karya misioner. Ciri utama yang kita harus tiru adalah kedekatannya dengan Kristus: “Apa yang menjadi pertimbangan adalah menempatkan Yesus Kristus pada pusat kehidupan kita, sehingga identitas kita ditandai betul dengan perjumpaan, persekutuan dengan Kristus dan dengan Sabda-Nya.” (Paus Benediktur, XVI, Audiensi, 25 Oktober 2006).

Ciri kedua adalah visinya tentang misi ketika karya Roh Kudus bersatu dengan kesadaran akan kelemahan pribadi. Seorang rasul harus menjadi satu dengan Kristus, tetapi bersama Kristus yang Tersalib. Kekuatan Rasul Paulus adalah kelemahannya karena ia membuka diri kepada Roh Kudus untuk menjalankan kekuasaan-Nya. Keterbukaan kepada Roh Kudus ini merupakan persyaratan bagi kerasulan yang akan berbuah banyak.

Ciri penting ketiga adalah persepsi Paulus tentang sifat universal dari keselamatan. Dia adalah manusia yang berwawasan universal. Dalam satu dunia yang ditandai dengan pemisahan dan hambatan di antara masyarakat dan kebudayaan, ia menyadari bahwa pesan Kristus diperuntukkan bagi semua umat manusia dari kebudayaan atau agama apa saja, kebangsaan atau kondisi sosial apa pun. Dia menyadari bahwa “Allah adalah Allah bagi semua orang” (Paus Benediktus XVI, Audiensi Umum, 25 Oktober 2006).

Yang terakhir, keterpusatan pada Gereja, Tubuh Kristus, tidak diragukan lagi merupakan pelajaran penting yang ditarik dari keteladanannya ini. Paulus selalu berpandangan bahwa misinya harus dilaksanakan dalam Gereja dan melalui Gereja. Misi adalah urusan membangun Tubuh Kristus. Ini berarti ia tidak berpikir tentang pewartaan tanpa perutusan oleh Gereja. Apakah melalui pertemuannya dengan Petrus, yang harus diyakini bahwa ia tidak melakukan sesuatu yang sia-sia, atau permintaan dukungan dari komunitas di Roma, Paulus tahu bahwa karya misionernya harus selalu merupakan buah dari ikatan yang hidup dengan Gereja.

Apendiks

Rasul Santo Paulus, dalam ajaran Paus Benediktus XVI

Sejak pemilihannya sebagai pelanjut tahta Petrus, Paus Benediktus XVI berulang kali berbicara tentang Paulus, Rasul Segala Bangsa. Dan sejak awal sekali, pada 25 April 2005, Bapa Suci melakukan kunjungan ke makam Paulus di mana ia mengatakan dalam kotbahnya “Saya berada di sini untuk membangkitkan kembali dalam iman “rahmat apostolik” ini, karena Allah, sebagaimana Rasul kepada Bangsa-bangsa biasa berkata, mempercayakan saya dengan “kecemasan bagi semua Gereja”.

Rasul ini dikenal pertama-tama sebagai seorang yang berkarya untuk mewartakan Injil kepada segala bangsa. Jika tugas Gereja adalah bermisi, pelanjut tahta Petrus melakukan “ziarah ke akar misi”. (Kunjungan ke Basilika Paulus, 25 April 2005).

Paus berbicara tentang Paulus dalam Pesta Santo Petrus dan Paulus, dan pada Pesta Pertobatan St. Paulus menjelang Pekan Doa Sedunia untuk Persatuan Umat Kristiani. Dia berbicara panjang lebar tentang figur dan teologi Paulus pada audiensi umum (8, 15, Oktober dan 22 November 20060 dan ketika mengumumkan Tahun Santo Paulus, Paus menampilkan Paulus sebagai teladan.

Paus merenungkan pribadi Paulus dan menegaskan hakikat terdalam dari perjumpaannya dengan Kristus dan wahyu yang diterima dalam perjalanan ke Damsyik sebagai sumber dasar teologi Paulus. “Dia langsung memahami apa yang kemudian ia akan katakan dalam tulisan-tulisannya: bahwa Gereja membentuk satu tubuh di mana Kristus adalah Kepalanya. Dan dengan demikian, dari seorang penganiaya orang-orang Kristinai, ia menjadi Rasul bagi Bangsa-bangsa bukan Yahudi.” (Vesper dalam Basilika Paulus di Roma, 25 Januari 2006).

Paus Benediktus XVI menekankan kesadaran Paulus bahwa dia dipilih dan diutus oleh Allah. Panggilan ilahi, perwujudan belas kasih Allah, bagi Paulus merupakan alasan perutusan dirinya dalam misi. Pemberian dirinya merupakan alasan utama tentang keberhasilan dari karya kerasulannya (Vesper, 28 Juni 2007). Kehidupan Paulus, yang digambarkan oleh Paus dalam audiensi umum pada 25 Okober 2005, ditandai dengan keterpusatannya pada pribadi Kristus dan aspek universal dari karya kerasulan Paulus. Apa yang membuatnya melakukan perjalanan yang sulit ini adalah cinta Kristus terhadapnya dan cintanya kepada Kristus (2 Kor 5,14-15). Kemartiran merupakan suatu konsekuensi logis, ungkapan yang paling nyata tentang cinta total yang membuatnya menyatukan dirinya dengan Guru Ilahinya bahkan sampai mati.

Bagi Paus, pesan ajaran Paulus jelas berpusat pada Kristus (Audiensi Umum 8 November), karya dari Roh Kudus (15 November), dan Gereja yang senantiasa hadir dalam hatinya (Audiensi Umum 22 November 2006).

Kristus membenarkan manusia “dengan belas kasih Allah” yang masuk ke dalam persekutuan terdalam dengannya, mengampuni dosa-dosanya. Inilah pengalaman fundamental dari pertobatan Rasul Paulus. Manusia dibenarkan karena iman. Unsur kedua yang menunjukkan aspek berpusat pada Kristus ini adalah identitas Kristianinya: “Identitas Kristiani ini terdiri dari dua elemen: tahan diri untuk tidak mencari diri sendiri dengan diri sendiri tetapi menerima dirinya dari Kristus dan memberi diri bersama Kristus, karena itu berpartisipasi secara pribadi dalam kehidupan Kristus hingga menyatukan diri dengan-Nya dan turut ambil bagian dalam kematian dah kehidupan-Nya” (Audiensi Umum 8 November 2008).

Kehidupan Rasul Paulus merupakan satu manifestasi dari kehidupan Kristus. Hal ini terjadi dalam diri kita melalui kehidupan Roh Kudus yang Paulus sebut Roh Kristus. Santo Paulus menjelaskan karya Roh Kudus dalam kehidupan orang Kristen: dalam hidup dan tindakannya (Audiensi 15 November 2006). Keputraan Ilahi, buah dari kehadiran Roh dalam orang-orang Kristiani yang terbaptis, bagi Paus merupakan anugerah pertama dan utama dari Roh yang menuntun orang Kristiani untuk menyapa Allah “Abba, ya Bapa”. Kehadiran cinta Allah dalam diri kita merupakan satu janji tentang kemuliaan di masa depan.

Gereja merupakan bagian terakhir dari meditasi Paus tentang Santo Paulus, yang “bertobat untuk percaya kepada Kristus dan Gereja” (Audiensi Umum, 22 November 2006). Gereja secara tepat menemukan dirinya dalam kehidupan Rasul itu. Berbagai Gereja baginya merupakan sumber kegembiraan dan penderitaan. Bagi mereka, ia adalah ayah dan ibu. Tubuh Kristus yang diterima dalam Ekaristi (1 Kor 10,17), panggilan Santo Paulus kepada kesatuan dan kasih adalah hasil langsung dari pandangan teologinya. Gereja merupakan tempat persekutuan dengan Allah dan di antara diri kita sendiri, perhimpunan dengan orang-orang yang berkumpul dalam nama Tuhan Yesus Kristus.

Renungan Paus Benediktus tentang figur Rasul sungguh merupakan ringkasan ajaran Rasul Paulus. Dia membuat kita bertemu langsung dengan penulis, yang dinilai bahkan oleh Santo Petrus sebagai sulit dipahami. Ini merupakan satu metode yang luar biasa bagus untuk memahami Surat-surat Paulus.

Luca de Malta, Editor, dalam Agenzia Fides 28 Juni 2008