Home BERITA Romo Mudji Sutrisno SJ: Korespondensi antara Kata dan Perbuatan

Romo Mudji Sutrisno SJ: Korespondensi antara Kata dan Perbuatan

Romo Mudji Sutrisno SJ

Romo Mudji Sutrisno SJ: Korespondensi antara Kata dan Perbuatan

 

Romo Dr. FX Mudji Sutrisno SJ hadir dalam diskusi dan ikut menyumbangkan pikiran-pikirannya. Dalam wawancara dengan Mirifica di sela-sela diskusi, Mudji membenarkan adanya fenomena pembusukan di tengah masyarakat. Berikut wawancara Emanuel Dapa Loka dengan dosen Filsafat UI dan penulis buku Estetika: Filsafat Keindahan itu:

Apa pendapat Romo tentang kecenderungan pemahaman bahwa Filsafat sekadar kepandaian berbicara atau bersilat lidah?

Dalam sejarah Filsafat Yunani, ini adalah para sofis. Sofis itu adalah mereka yang pintar bicara, pintar agitasi, bisa menghipnotis orang, tapi ihwal kebenarannya tanda tanya besar. Kalau saya melihat fenomena ini, sebenarnya begini:  Filsafat itu sumber dari ilmu yang lain, yang mempertanyakan dan mencari kebenaran hidup. Filsafat itu cinta pada kebenaran. Dalam perkembangan, orang merasa bisa berfilsafat dengan mulut saja, padahal kebenaran yang betul adalah kesesuaian antara yang diucapkan dengan realitas. Ada korespondensi antara kata dan perbuatan. Di Indonesia ini, kita carut-marut, ada macam-macam kebenaran yang ditopang atau dilegitimasi oleh kekuasaan. Orang salah melihat bahwa dalam diskusi filsafat, yang diucapkan dengan sedemikian rupa, ditangkap begitu saja sebagai kebenaran. Jadi kita akan melihat, corong-corong Filsafat di Indonesia yang diucapkan lewat mulut, tapi kebenarannya dipertanyakan itu. Menjadi jelas bahwa Filsafat dimanipulasi menjadi ideologi untuk maksud dan interes sendiri. Filsafat itu ilmu untuk mencari kebenaran dan kebenaran itu harus diwartakan terus menjadi kabar baik, kabar indah tentang kehidupan. Kalau fungsi ini dikhianati, terjadilah manipulasi, dan itulah pembusukan. Menjadi busuk karena yang terjadi hanya silat lidah.

Saya mau mengatakan, ini terjadi ideologisasi, alat kepentingan untuk atas nama kebenaran yang busuk itu, mencapai kepentingan kekuasaan yang mau diperjuangkan itu.

Berikut lagi, masyarakat tahu ada pembusukan itu kalau dia belajar teori kritik. Ini bisa menguak manipulasi dan pembusukan atas Filsafat untuk tahu kepentingan apa dan siapa? Bisa dilihat, bicaranya untuk kesejahteraan bersama atau bonum commune, untuk mewartakan kebenaran itu atau untuk mendukung salah satu tokoh atau penguasa.

Kita harus menyiapkan orang-orang yang membuka kedok-kedok mereka yang memakai Filsafat untuk kepentingan kekuasaan busuk dengan mengelabui dan membodohi semua. Mereka harus menunjukkan kecerdasan yang palsu, itulah ideology. Kenapa? Karena kebenaran sebagai ruangan bersama untuk mencapai hidup yang lebih baik sudah ditutup dengan ideology.

Kata Goenawan Muhammad, di zaman Medsos ini, sudah tidak ada bedanya antara artis, politikus dan sastrawan. Semua dangklt. Apa tanggapan Romo?

Benar sekali. Sekarang ini, kekuatan Medsos, melihat hanya dari luar saja. Melihat hanya dengan mata indra atau mata fisik saja. Mata fisik adalah mata yang dangkal sekali. Contoh, yang orang lihat saat pacaran hanya cantik atau gantengnya sang pacar saja. Filsafat masuk dengan mata budi yang kritis dan analitis. Siapa penyanyinya, apa nyanyiannya dan seterusnya. Dan memang saat ini tengah terjadi pendangkalan. Pertemuan ini adalah untuk itu.

Menurut saya, dalam situasi kacau balau dengan kekuatan hendak membusukkan melalui hoax dan sebagainya, ini menjadi jelas bahwa kita sedang menjernihkan panggung. Padahal, idealnya dalam negara demokrasi adalah saling menyediakan panggung. Indonesia butuh panggung, saling berbagi panggung. Intelektual dan budayawan berbagi panggung, untuk apa? Untuk semua bisa bernyanyi dengan kebinekaan.

Bagaimana nasib demokrasi kita di tengah pembusukan tersebut dan kehadiran Medsos dengan anak kandungnya bernama “pendangkalan”?

Dalam konteks Indonesia sekarang ini, ada yang idealis dan mereka itu yang optimis. Untuk yang optimis, jalan terus. Untuk yang pesimis, payah sekali negara seperti ini. Saya realistis saja. Posisi realistis saya adalah: ini adalah sebuah panggung di mana tantangan Bung Hatta bahwa kita semua harus mencerdaskan kehidupan bangsa menjadi kritis, itu sekarang dibuka.

Filsafat yang tidak membusuk adalah Filsafat yang memihak pada kebenaran. Lantas, apakah diskursus semacam ini (diskusi publik) sudah memuat kebenaran? Saya katakan, ya, namun kebenaran in the making. Dan yang pasti, kebenaran itu menghargai harkat manusia dan humanis demi perkembangan setiap kita sebagai citra Allah dan semua menghormati kebinekaan.

Kalau mendengar orang yang menyebut diri filsuf lalu mendungu-dungukan orang lain, bagaimana?

Begini. Jika dia mendungu-dungukan orang lain, berarti dia tidak hormat pada orang lain. Nilailah dari situ. Di sinilah diperlukan sedikit kejelian. Mendengar khotbah yang bagus misalnya. Orang lalu membandingkan perilaku sang pengkhotbah dengan yang dia  khotbahkan. (EDL)