Home OPINI Editorial RUU Pornografi yang Kontroversial

RUU Pornografi yang Kontroversial

Rancangan Undang-Undang Pornografi yang tengah diperdebatkan oleh masyarakat sekarang ini awalnya  bernama Rancangan Undang-Undang Antipornografi dan Pornoaksi. Draf tersebut untuk pertama kalinya diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI pada 14 Februari 2006 yang berisi 11 bab dan 93 pasal. Dalam perkembangannya, ada beberapa pasal kontroversial yang dihapus sehingga tersisa 82 pasal dan 8 bab. Pasal-pasal yang dihapus antara lain menyangkut dibentuknya badan anti pornografi dan pornoaksi nasional. Pada 24 Agustus 2007 silam, draft yang dikirim oleh DPR kepada Presiden mengalami perubahan lagi menjadi 10 bab dan 52 pasal sekaligus merubah nama menjadi Rancangan Undang-Undang Pornografi. Kata ‘anti’ dihilangkan sekaligus menghilangkan juga kata ‘porno aksi’ sehingga lengkap menjadi Rancangan Undang-Undang Pornografi dirievisi lagi menjadi 8 bab dan 44 pasal. Presiden selanjutnya menunjukkan Menteri Agama, Menteri Komunikasi dan Informatika, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, dan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan untuk membahas RUU ini bersama Panitia Khusus DPR yang rencananya  disahkan pada 23 September 2008, tetapi akhirnya ditunda karena reaksi dari berbagai elemen masyarakat di negeri ini yang peduli akan hak-hak sipil warga negara.

          Berbagai perubahan dan revisi telah dibuat tetapi RUU Pornografi masih ditolak  karena substansi permasalahan itu tak pernah disentuh dalam revisi-revisi yang dibuat: apa sebenarnya pronografi  dan apa relevansi RUU Pornografi bagi masyarakat Indonesia sekarang.

Menyamakan seksualitas dengan pornografi.

         RUU pronografi mendefinisikan pornografi sebagai ‘materi seksualitas dalam bentuk gambar,sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara,bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh yang dipertunjukkan di depan umum, yang dapat membangkitkan hasrat seksual. . . .’ (bab 1, pasal 1). Menurut hemat saya,  dengan dipertunjukkan materi seksualitas di muka umum  tidak bisa disebut porno dan pornografi. Dia baru disebut porno-pornografi, Pertama,  apabila obyek atau gerak tubuh tertentu merupakan bentuk eksploitasi seksual dengan tujuan komersial dan hiburan murahan terhadap anak dan perempuan. Kedua,  penyalahgunaan seksual (pemaksaan dan penipuan terhadap perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan seksual). Bila kedua unsur ini tidak dimasukkan, sesuatu dan atau seseorang tidak bisa disebut porno atau pornografi. Materi seksualitas dari dirinya sendiri tidak porno-pornografi. Dia menjadi porno/pornografi sejauh untuk apa dipergunakan.

         Bahwa sesuatu dikategori pornografi karena ‘membangkit hasrat seksual’ seperti terungkap dalam bab 1 pasal 1merupakan suatu definisi yang sangat diskriminatif. Bangkitnya hasrat seksual adalah suatu kondisi subyektif dan tidak bisa dijadikan sebagai norma hukum obyektif. Cara berjalan seseorang atau bau parfum pada diri seseorang bisa saja membangkit hasrat seksual pada orang yang satu tetapi sama sekali tidak menggairahkan bagi orang lain. Mengapa orang lain dipersalahkan dan diadili karena ketidakteraturan nafsu dan gairah seksual kita? Apakah orang lain harus dihukum karena saya bernafsu padanya? Oleh karena itu, definisi pornografi sendiri dianggap kabur, multi tafsir dan membaurkan pemahaman tentang seksualitas dengan pornografi. Suatu definisi yang tidak cerdas dan menyesatkan.

Peran serta masyarakat?

          RUU Pornografi memberikan peluang kepada masyarakat untuk mengambil bagian dalam upaya pencegahan seperti yang tertuang dalam pasal 21 masih sangat disangsikan.  Kalau definisi  pornografi masih kabur dan multi tafsir,  lalu bagaimana masyarakat yang memiliki latarbelakang sosial dan formasi pendidikan berbeda diberi wawewnag untuk mengadakan tindakan pencegahan. Bagaimana masyarakat diberi kesempaan untuk mencegah sesuatu yang mereka sendiri tidak mengerti.  Dalam situasi dimana otoritas di negara ini masih lemah, dengan adanya kebiasaan memberlakukan ‘politik pembiaran’ terhadap aksi sweeping dan vandalisme dan main hakim sendiri,  produk undang-undang ini merupakan suatu dukungan berharga bagi kelompok-kelompok serupa. Apalagi, pasal 23 RUU pornografi memberikan jaminan kepada ‘para pencegah sipil’ itu untuk dilindungi dimuka hukum. Akan sangat mungkin bahwa produk undang-undang ini akan menimbulkan tawuran horisontal (horizontal riot) di tengah masyarakat.

 Apa sebenarnya yang mau dilindungi ?

           Yang menjadi casus belli (baca: pemicu) gagasan undang-undang pornografi adalah melindungi anak dan perempuan dari bahaya pornografi yang beredar luas dari media massa modern dan informatika. Hal itu dijelaskan lagi oleh Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Meutiah Hatta dalam acara ‘Save Our Nation’ di stasiun televisi Metro pada 26 September 2008.  Argumentasi-argumentasi dari Meutiah Hatta terkesan tidak menyentuh masalah yang diperdebatkan (apa sebenarnya faktor pemicu), terkesan arogan dan ia  sendiri agaknya tidak mengerti apa persisnya produk ruu dimaksud tatkala ditantang oleh Intelektual Islam Perempuan Prof Dr. Siti Musda Mulia dan ketua Komnas Perempuan Kamala Chandrakirana. Persoalannya, bangsa ini telah banyak sekali menghasilkan undang-undang dan peraturan untuk melindungi kaum perempuan dan anak-anak. Beberapa di antaranya adalah Undang-Undang No 1 Tahun 1946 tentang “Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang No 32 tahun 2002 tentang ‘penyiaran’, Undang-undangan No 23 tentang “perlindungan anak’, UU no 43 thn 1999 tentang ‘Pers’. Bila toh, hingga kini, anak-anak dan perempuan masih mengalami dampak negatif pornografi, itu berarti undang-undang sebelumnya belum tegas dan terfokus. Maka undang-undang itu perlu direvisi.  Bila aparat penegak hukum dan pemerintah terkesan mandul dalam penerapan undang-undang yang sudah ada, maka otoritas itu harus diganti karena gagal dan bukan menciptakan suatu produk hukum baru.

        Yang harus dipertimbangkan dalam RUU Pornografi adalah orang-orang (perempuan dan anak-anak) yang menjadi korban pornografi dan industri seks. Para pelaku bisnis seks biasanya dalam menjerat para korbannya, menggunakan berbagai cara seperti bujuk-rayu, paksaan, penggunaan obat-obat terlarang, hipnotis, penipuan dan manipulasi. Dalam RUU ini, mereka akhirnya akan dipidanakan tanpa diberi kesempatan untuk membela diri. Mereka justru tidak diberi perlindungan pada hal mereka adalah korban yang wajib dilindungi dan dicari jalan keluar. Undang-undang yang bertujuan luhur untuk melindungi anak dan perempuan, justru pada akhirnya menjadi pemicu tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak.  Aneh khan?

Agus Alfons Duka SVD
Sekretaris Eksekutif Komisi Komsos KWI