Beranda OPINI Sang Pembaharu itu Telah Pergi

Sang Pembaharu itu Telah Pergi

Sang Pembaharu itu Telah Pergi

Mengenang Uskup Sibolga Alm. Mgr Ludovicus Simanullang, OFM.Cap

(23 April 1955-20 September 2018)

20 Mei 2007, Pastor Ludovicus Simanullang, OFM.Cap yang dikenal sebagai pastor yang lembut hati dan kebapakan itu ditahbiskan menjadi Uskup Keuskupan Sibolga oleh Nuncio Apostolik untuk Indonesia, Mgr Leopoldo Girelli. Mgr Ludovicus Simanullang, OFM.Cap mengambil motto Crux Spes Unica (Salib Harapan Satu-satunya) untuk menggembalakan umat di tepian Samudera Indonesia ini.

Setahun kemudian sang Uskup baru sudah membuat gebrakan besar dengan mengadakan pembaharuan dalam model karya penggembalaan Gereja. Uskup Ludovicus menyelenggarakan Sinode I Keuskupan Sibolga (KS) 12-16 November 2009 sebagai forum merumuskan arah dasar pastoral KS. Melalui tahapan analisis sosial partisipatif dan berjenjang dari stasi-paroki-dekanat selama satu tahun, forum Sinode merumuskan perubahan orientasi dan paradigma karya pastoral, dari model lama yang terfokus pada kultis menjadi model Gereja perjuangan, Gereja pemberdayaan. Proses ini berpuncak pada pesta emas Yubileum 50 tahun wilayah Sibolga menjadi Prefektur Apostolik pada 17 November 2009.

Muyawarah Pastoral (MUSPAS) Tengah Tahunan Dekanat Tapanuli, Juni 2018, MUSPAS terakhir yang dihadiri Uskup Ludovicus (Doc. ES)

Arah dasar pastoral KS itu, yang kemudian dikukuhkan lagi dalam Sinode II tahun 2015 tertuang dalam Visi “Gereja mandiri, solider dan membebaskan.” Misi untuk mencapai visi itu terangkum dalam tiga dimensi ini: mereorientasikan & memberdayakan Gereja KS dan petugas pastoral sesuai dengan semangat Kristus yang membebaskan; memberdayakan orang-orang tertindas agar keluar dari situasi penindasan; dan merobah struktur kemasyarakatan yang tidak adil dan menindas.

Visi dan misi ini merupakan kontekstualisasi misi Yesus Kristus sendiri (Lukas 4:18-19) di wilayah KS yang merupakan kantong-kantong kemiskinan di Sumatera Utara. 6 kabupaten/kota termiskin di Sumatera Utara ada di wilayah KS yakni mulai dari yang paling miskin: Kabupaten Nias Utara, Nias Barat, Kota Gunungsitoli, Nias Selatan,  Nias dan Tapanuli Tengah. Kota Sibolga berada di urutan 9 termiskin. (Sumber: BPS Provinsi Sumatera Utara 2017 https://sumut.bps.go.id/ dynamictable/2016/10/10/17/persentase-penduduk-miskin-kabupaten-kota-1993-2016.html). Dengan arah dasar ini Gereja KS bermimpi menjadi komunitas yang berjuang bersama dalam terang iman untuk membebaskan diri dari kemiskinan dan ketidakadilan.

Namun upaya perubahan sosial tidak pernah menjadi pekerjaan mudah dan jangka pendek. Tidak mudah mengubah model kerja pastoral lama yang sudah berurat berakar dalam diri para pelayan pastoral dan umat di satu keuskupan. 9 tahun mengimplementasikan hasil Sinode, cukup banyak tantangan yang dihadapi. Pencapaian masih belum cukup banyak. Uskup Ludovicus sangat memahami itu dan ia dengan sabar mendampingi proses jatuh bangun menjalankan program-program yang diturunkan dari visi-misi KS.

Dalam berbagai forum musyawarah pastoral (MUSPAS) Uskup Ludovicus menyatakan bahwa kita harus bersyukur karena sekarang kita sudah berada on the track sesuai arah dasar, untuk sampai di tahap ini saja butuh kerja keras beberapa tahun. Uskup selalu menyemangati para pelayan pastoral dengan melihat bahwa tidak hanya kegagalan tapi ada perkembangan  menggembirakan dalam 9 tahun ini: kini KS telah memiliki arah dasar yang jelas, metodologi kerja yang kontekstual-partisipatif dan rencana strategis (renstra) untuk aksi, yang semuanya sudah terstruktur secara sistematik. Ada gerak bersama yang makin tertata di mana semua unit merancang, mengevaluasi dan mengawal pelaksanaan karya pastoral secara partisipatif khususnya melalui forum-forum MUSPAS di tingkat basis, paroki dan keuskupan. Juga para pelayan pastoral dari waktu ke waktu terus dibekali dan didampingi untuk makin kompeten menjalankan cara menggereja baru KS. Dalam berbagai kesempatan Uskup Ludovicus mensyeringkan bahwa melalui kunjungan-kunjungannya ke stasi-stasi dan paroki-paroki tanda-tanda semangat dan perilaku menggereja baru itu mulai terlihat. Umat semakin terlibat dan semangat kemandirian makin bertumbuh.

Musyawarah Pastoral (MUSPAS) akhir tahun 2016, Uskup Ludovicus di kursi langganan beliau tiap kali mengikuti MUSPAS (Doc. ES)

Di sisi lain, Uskup juga menyadari bahwa perlu dicari strategi-strategi percepatan untuk mencapai keberhasilan program. Tantangan paling berat datang dari pola pikir dan habitus pastoral lama banyak pelayan pastoral yang enggan berubah, padahal merekalah ujung tombak agen penggerak karya Gereja. Tantangan lain, meski pelatihan-pelatihan selalu dibuat, paroki-paroki masih  kekurangan tenaga terampil untuk menjalankan renstra hasil Sinode. Pengembangan komunitas basis gerejawi (KBG) sebagai lokus dan fokus pastoral masih terbilang lambat. Di sisi lain para pastor paroki yang diharapkan menjadi “titik api” yakni penggerak utama umat juga masih perlu banyak berbenah. Akibatnya banyak agenda kerja pemberdayaan yang diamanatkan Sinode masih tersendat. Semua ini tentu menjadi pekerjaan rumah yang besar untuk ke depan.

Satu sikap Uskup Ludovicus yang sangat berkesan adalah keseriusan dan kesetiannya mengawal implementasi renstra hasil Sinode. Beliau sama sekali tidak pernah absen mengikuti semua MUSPAS tengah tahunan dan akhir tahun untuk evaluasi dan perencanaan yang diadakan sejak 2010 sampai pertengahan 2018. Dalam sesi-sesi MUSPAS beliau selalu hadir lebih dulu dan pulang setelah selesai, selalu antusias mempelajari pencapaian dan masalah yang dihadapi umat, dan tentu selalu memberikan pencerahan serta peneguhan. Beliau selalu sabar mendengar bahkan ketika para pastor dan peserta MUSPAS berdebat sengit. Sikap lembutnya selalu menyejukkan tapi kadang membuat jengkel, rasanya ingin mendesak “Bapak Uskup ayo kali ini marah doooong!”

Kepergian beliau sungguh mengagetkan. Lebih sepuluh tahun menjadi Uskup nyaris tidak pernah terdengar beliau mengalami sakit serius. Ketika harus menjalani rawat inap di satu klinik di Sibolga pada tanggal 27 Agustus lalu kami hanya menganggap sakit biasa saja akibat kelelahan sepulang mengunjungi beberapa stasi. Namun ternyata situasi makin memburuk, Bapak Uskup harus rawat inap di Medan, di RS Elisabet dan ternyata tidak lagi pulang untuk meneruskan tugas penggembalaannya.

November mendatang MUSPAS akhir tahun 2018 akan terasa sangat lain. Uskup Ludovicus tidak akan duduk lagi di kursi langganannya, kursi tengah di baris depan untuk mengevaluasi pelaksanaan program yang ikut beliau rancang dan promulgasikan akhir tahun 2017 yang lalu. Kami tidak akan melihat lagi senyum tipis ketika para pastor peserta MUSPAS melontarkan olok-olok nakal ketika mengevaluasi hasil kerja satu tahun.

11 tahun 4 bulan menjadi Uskup rasanya terlalu singkat. Pembaharuan yang digulirkan Uskup Ludovicus masih dalam proses terbilang muda. Namun misteri kebijaksanaan Allah menetapkan bahwa bagi beliau masa menjadi abdi-Nya hanya sampai di sini. Kini menjadi tugas semua pelayan pastoral KS di bawah penggembalaan pengganti beliau untuk meneruskan agenda kerja yang masih belum selesai itu.

Bapak Uskup Ludovicus terkasih, terimakasih, terimakasih banyak untuk keberanian membuat pembaharuan besar dan mendasar di Keuskupan Sibolga. Ini adalah warisan historis yang luar biasa berharga bagi umat Allah di pantai Barat Sumatera Utara ini. Doakanlah kami dari Surga agar tetap setia dan bersemangat meneruskan perjuangan kita. Berangkatlah dengan doa-doa dan cinta kami umatmu yang masih berjuang di tepian Samudera Indonesia ini menuju Gereja mandiri, solider dan membebaskan …

 

Penulis: Elvina Simanjuntak (Sekretaris Program Pusat Pastoral (PUSPAS) Keuskupan Sibolga)