Beranda Jendela Alkitab Harian Sebungkus Keripik Kentang dalam Genggaman, Rabu 23 Juli

Sebungkus Keripik Kentang dalam Genggaman, Rabu 23 Juli

Ilustrasi: Sungai Rhine, Jerman (foto diambil dari panoramio.com)

Riak-riak kecil aliran sungai Rhine memantulkan seberkas sinar lembut sang surya yang bersiap tidur dalam peraduannya, indah bagai cermin kehidupan yang memantulkan gerak langkah hidup anak manusia di atasnya. Hutan cemara di sepanjang tepian sungai melambai lembut bersaut-sautan dalam belaian angin senja, bagai dawai biola kehidupan alam semesta.

Alangkah tenang, damai dan bersahajanya alam ini. Tidak heran kota ini telah menghasilkan musisi super genius sekelas Bethoveen yang mampu membuat malaikat-malaikat turun dari langit untuk mendengarkan setiap melodi yang diciptakannya.

Keindahan Sungai Rhine sungguh bukan cuma sebatas teori di buku-buku pelajaran Geografi yang pernah aku baca ketika duduk di bangku SMA. Sungai ini adalah salah satu sungai terbesar yang membelah Kota Bonn-Jerman Barat dan telah ribuan tahun menjadi salah satu tulang punggung transportasi dan perekonomian kota ini.

Perahu-perahu raksasa yang disulap menjadi restoran berkelas menambah indahnya cahaya temaram sore itu dengan kerlip kerlip lampunya yang beraneka warna. Tetapi sayangnya cuma orang berpunya saja yang bisa makan di dalamnya. Pemandangan yang sungguh kontras dengan sebungkus keripik kentang yang menemaniku duduk sendirian di bangku kosong di salah satu tepiannya. Keping demi keping keripik kentang itu kumakan pelahan penuh kenikmatan, karena cuma itu yang bisa ku beli untuk makan malamku kali ini.

Dalam setiap keping kentang renyah yang kumakan, aku mencoba mengingat kembali kebaikan-kebaikan Tuhan yang sungguh nyata dalam hidupku dan kini terhadir kembali dalam slide-slide kehidupanku yang penuh warna. Pada kepingan pertama, anganku melayang kembali ke masa kecilku dalam keluarga. Sebagai anak ketiga dari lima bersaudara, aku berada di tengah-tengah. Keluargaku adalah keluarga biasa sama seperti keluarga pada umumnya, tidak ada yang menonjol namun tetap bisa kubanggakan. Seorang nenek, papa dan mama yang begitu baik, tidak memanjakanku begitu hebatnya, namun kasihnya sangat jelas terasa.

Kakak-kakak dan adik-adik yang dulu ketika kecil sering berkelahi meski karena hal kecil, kini mampu bermetamorfosis begitu indahnya seiring berjalannya waktu dan kedewasaan. Saat ini kami sudah tersebar-sebar, papaku sudah berpulang ke rumahnya yang terakhir, kakakku tertua jauh di Benua Paman Sam, aku merantau sendirian di Benua Eropa, sedangkan mama dan keluargaku lainnya jauh di Indonesia.

Masa bahagia penuh tawa sampai masa sulit penuh isak tangis telah kulalui silih berganti bersama mereka. Masih teringat jelas dalam satu ruang otakku bagaimana satu kali mama karena terpaksa sekali menyuruhku mengunci pintu ketika petugas RT datang hendak menagih iuran kebersihan. Perjuangan papa mama membanting tulang dari pagi buta sampai larut malam tidak akan pernah tergantikan bahkan oleh hadiah termahal yang bisa kuberikan untuk mereka saat ini. Telapak tangan mereka yang kasar adalah bukti nyata kasih mereka meski jarang terkatakan.

Kasih Tuhan benar-benar menjawab setiap doa kami dan mewujudkan setiap impian dan harapan kami. Tanpa sadar kepingan kentang yang sudah lembut dalam mulutku, kutelan dengan penuh rasa syukur dan terima kasih.

Dalam kepingan kedua yang kumakan, aku teringat setiap pribadi yang pernah hadir dalam hidupku sampai sekarang, dengan berbagai macam cara mereka mengembangkan aku. Ada yang memberikan aku makna kebahagiaan, keceriaan dengan canda dan tawa, ada pribadi-pribadi yang pernah kusakiti atau atau ada juga yang pernah menyakiti hingga membuat aku menangis, ada juga yang membuka wawasanku tentang arti harapan dan hidup.

Satu per satu pribadi-pribadi itu melintas bagai gambar film di atas kepalaku: sanak saudaraku, para sahabat dan teman-temanku, para guru dan rekan sekerjaku, para muridku, serta setiap pribadi yang telah menggoreskan sebuah coretan di dalam buku putih kehidupanku. Setiap peristiwa yang aku lalui bersama mereka, kini bisa kusenyumi, bahkan ada beberapa peristiwa yang sungguh mampu membuatku tertawa sendiri.

Aku tertawa bukan hanya karena sungguh bahagia tetapi juga menertawai kebodohan dan kesalahanku di masa lalu. Kepingan kentang kedua ini kutelan bersama dengan rasa syukur dan doaku untuk mereka yang telah hadir dalam hidupku, Tuhan balaslah segala kebaikan yang pernah mereka berikan kepadaku. Biarlah doa dan harapan tulus mereka senantiasa menjadi nafas bagi hidupku.

Bersamaan dengan keping ketiga yang kumasukan dalam mulutku, anganku terhanyut pada gambaran seorang anak kampung sederhana yang sedang berjongkok di atas rerumputan dan kini berubah menjadi seorang Imam muda. Bagai ulat gatal dalam kepompong yang kini mulai berubah menjadi kupu-kupu cantik dengan sayap-sayap indahnya.

Sejak kecil aku bukanlah pribadi yang istimewa, sama sekali jauh dari gambaran anak gaul jaman sekarang ataupun seorang anak yang mampu membuat bangga orang tuanya karena terpampang namanya di papan tulis di dalam urutan angka 1 sampai 10 waktu pengambilan raport tiba. Aku hanya anak pendiam yang cenderung minder tetapi usil karena tidak mampu membendung jutaan ide yang berputar di kepalaku secara spontan.

Ketika aku melihat sosok diriku yang mengenakan jubah putih, lambang kesucian, kesederhanaan dan rahmat, aku sendiri masih heran dan tidak percaya, betapa Tuhan sungguh selalu mengasihi aku dan membuat hidupku menjadi baru. Rahmat Tuhan membawaku pada kebahagiaan yang masih diimpi-impikan jutaan orang di luar sana, yaitu hidup dalam kepenuhan rahmat dan menjadi penyalur rahmat bagi orang lain secara utuh.

Fakta sejarah hidupku yang penuh liku mengajarkanku untuk tidak menjadi besar kepala, karena kusadari sungguh, semua yang aku terima kini hanya semata anugerah yang diberikanNya kepadaku. Kusadari sungguh bahwa harta itu kini masih berada di dalam suatu BEJANA TANAH LIHAT YANG RAPUH.

Dalam hatiku kuberdoa : “Tuhan bantu aku untuk menjaganya. Jagalah hatiku dari segala keterpecahaan dan kesia-siaan. Biarlah harta itu selalu berdiam di dalamku, jangan biarkan seorangpun mengambilnya dari padaku, sebab kuyakin RahmatMu cukup bagiku.

Ilustrasi: Sungai Rhine, Jerman (foto diambil dari panoramio.com)