Home Jendela Alkitab Harian Siapakah Jati Diriku ?

Siapakah Jati Diriku ?

Selasa, 8 April 2014,

( Bil 21:4-9; Yoh 8: 21 – 29)

“Siapakah Engkau?”… “Akulah Dia.”(Yoh 8:25,28)

Sudah sejak kemunculannya di dunia ini, jati diri dan asal usul Yesus sudah menjadi bahan perdebatan. Banyak orang mengatakan: “Dia itu benar-benar seorang nabi (yang kita harapkan)”, sebagian lain menyangsikan ada nabi dari Galilea.(Bdk. 7: 40-44). Yesus berkata kepada mereka: “kamu tidak tahu sama sekali dari mana Aku datang dan ke mana Aku pergi … Kamu tidak kenal siapakah Aku dan siapakah Bapa-Ku”. (Yoh. 8: 14, 19). “Kamu adalah dari bawah, Aku dari atas; kamu dari dunia ini, Aku tidak dari dunia ini”. (ay. 8: 23). Mereka lalu bertanya: “Siapakah Engkau?” Jawab Yesus: “Akulah Dia”.

Dengan menyebut diri-Nya “Akulah Dia” (ay.24,28), Yesus ingin menyembunyikan tetapi sekaligus mengungkapkan misteri ilahi tentang jati diri-Nya. Sebutan “Akulah Dia”, mengingatkan kembali peristiwa historis semak berduri yang terbakar, ketika Allah mewahyukan nama ilahi-Nya kepada Musa, Akulah “Yahwe”, artinya “Akulah yang ada”, “ Akulah ini”, atau “Akulah Dia” (Kel. 3: 13-14). Ia satu-satunya Allah sejati, “Tuhan pembebas”, “Allah penyelamat” yang tetap ada dan dipercaya umat Israel dulu, sekarang, dan yang akan datang. (Bdk. Ul. 32: 39; Yes. 43: 10 dst.). Dengan sebutan itu Ia mengungkapkan keunikan jati diri-Nya, bahwa misteri (kemuliaan) ilahi dari Allah yang esa, secara pribadi telah hadir dalam diri-Nya. Sejatinya “Aku dan (Allah) Bapa adalah satu”. “Bapa ada di dalam Aku, dan Aku ada di dalam Bapa”, “Barang siapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa.” (Yoh. 14: 9). Namun kesatuan (kemuliaan) ilahi itu baru dikenali secara nyata ketika Putera Manusia telah “ditinggikan” di kayu salib (ay. 28, dst). Di salib itulah “saat-Nya sudah tiba Putera untuk beralih dari dunia ini kepada Bapa .. saat kasih Putera “sampai pada kesudahannya” (Yoh. 13:1). Saat Ia berada pada “ketinggian Allah” yang jati diri-Nya adalah “kasih” (1 Yoh. 4: 8). Saat sengsara dan wafat di salib itulah Ia mencurahkan “kasihnya sehabis-habisnya.”

Pada saat mewayukan jati diri-Nya, Yesus (Putera) mengambil cara dan kata yang sama bagi diri-Nya sendiri, sama seperti ketika Allah (Bapa) mewahyukan diri-Nya kepada Musa.

Yesus telah datang di dunia untuk memberikan kehidupan, karena Dia memberikan Allah kepada kita. Dia telah memberikan “hidup dalam kepenuhannya”, yakni kebahagiaan sejati. Dia dapat memberikannya sebab Dia sendiri menyatu dengan Allah, karena Dia Sang Putera, Sang kehidupan. Barang siapa percaya kepada Bapa, tetap tinggal pada Allah dan Bapa tetap tinggal padanya. (Bdk. 1 Yoh. 4: 15-16). Tetapi setiap orang yang tidak percaya, yang secara mutlak menolak Yesus “akan mati dalam dosanya”, akan jatuh binasa tanpa harapan. Mereka berdosa kepada kebenaran (Yoh. 8:40, 45), atau “dosa melawan Roh Kudus”. (Bdk. Mat.12: 31-32); “Karena itu tadi Aku telah berkata kepadamu, bahwa kamu akan mati dalam dosamu; sebab jikalau kamu tidak percaya, bahwa Akulah Dia, kamu akan mati dalam dosamu.” (ay. 24). Sebab mereka telah diberi kesempatan untuk mengenal Yesus melalui perkataan dan perbuatan-Nya(ay. 25), ketika Yesus masih bersama dengan mereka di dunia ini; tetapi mereka menyia-nyiakan. Orang-orang Yahudi “menghakimi” Yesus “menurut ukuran manusia.” (Yoh. 8: 15). Mereka hanya mengenal Yesus menurut apa yang mereka lihat, yakni seorang manusia biasa. Di dalam daging-Nya, mereka tidak melihat kehadiran kemuliaan Anak Allah. Kalau mereka baru mengakui-Nya/mengenalnya setelah Ia “ditinggikan” di salib (ay. 28), berarti terlambat, tidak berguna.

Kehadiran kemuliaan Allah dalam diri Yesus nampak nyata dalam karya kasih pelayanan-Nya kepada dunia, terutama kepada orang-orang kecil, yang miskin dan menderita, yang lemah dan tak berdaya. Kehadiran-Nya di dunia untuk menciptakan suasana “damai sejahtera” bagi seluruh umat manusia (Bdk. Luk. 2: 14). Sebab Yesus datang di dunia bukan untuk berkuasa dan memerintah, – seperti pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar dunia – melainkan untuk mengabdi dan melayani dan “untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang.” (Mrk. 10: 41-45).

Pertanyaan reflektif:

Siakah sebenarnya jati diriku ini ? Orang yang telah dipilih dan dipanggil untuk beriman, berharap dan berbuat kasih ; apakah kita telah siap untuk melayani dan berbelarasa tanpa pamrih dan pilih kasih untuk mencitakan kesejahteraan bersama?

Doa :

Ya Tuhan Allah Bapa di surga ampunilah semua kesalah dan dosa kami, karena selama ini kami hanya banyak berjanji untuk berbuat baik, bermurah hati kepada sesama, tetapi tak pernah kami wujudkan dan tepati.

(I.Masiya Suryataruna)