Beranda BERITA Toraya Maelo: Eksposure Budaya PKSN ke-6

Toraya Maelo: Eksposure Budaya PKSN ke-6

RD. Kamilus (baju batik) bersama RD. Samuel

MESKI rangkaian kegiatan Pekan Komunikasi Sosial Nasional (PKSN) ke-6 di Keuskupan Agung Makassar telah usai (Minggu, 26/5-Minggu, 2/6), kenangan bersentuhan langsung dengan adat dan budaya Toraja masih menyisakan cerita. Selama kegiatan PKSN di Makassar (Minggu, 26/5-Selasa, 28/5) dan Tana Toraja (Rabu, 29/5-Minggu, 2/6), para peserta utusan dari 23 Komisi Komsos Keuskupan di Indonesia berkesempatan untuk mengadakan eksposure budaya.

Suasana penyambutan Tim Komisi Komsos KWI dan Komisi Komsos Keuskupan di Halaman Gereja Paroki Makale.

Gereja dan Budaya Toraja

Di sela-sela kegiatan, mereka menyempatkan diri berkunjung ke situs-situs budaya dan objek wisata budaya di Tana Toraja. Bahkan, pada dua hari terakhir, mereka secara khusus diajak untuk mengunjungi tempat-tempat tersebut. Tujuannya, para peserta diajak melihat langsung dan mengenal bagaimana kerasulan dan pastoral Gereja Lokal bagi budaya Toraja yang luhur.

Mereka mengunjungi Patung Kristus Raja di Buntu Burake, situs kampung adat Toraja yang terdapat rumah adat Tongkonan dan makam di  Ke’te’ Kesu, dan tempat ziarah Keluarga Kudus Nazareth sekaligus objek wisata Sa’pak Bayo-Bayo. Rombongan sempat singgah untuk makan siang di rumah orangtua Mgr. John Liku Ada’ di Sa’pak Bayo-Bayo, dengan sesi ramah-tamah dan foto bersama Uskup Agung Makassar beserta keluarganya, Minggu, 2/6.

Pada Senin, 3/6, sebagian besar peserta perwakilan Komsos keuskupan dan Badan Pengurus Komsos diundang oleh Vikep Toraja, Romo Natanael Runtung untuk menghadiri upacara pemakaman orangtuanya di Sangalla, Tana Toraja, dari pagi hingga sore hari. Para peserta diajak untuk melihat lebih dekat dan mengenal lebih dalam bagaimana Gereja Katolik setempat tumbuh dengan balutan adat khas Toraja.

Sebagian peserta dan panitia PKSN-KWI sedang menikmati Kopi di tempat wisata Ke’te’ Kesu.

Memang tidak berlebihan bila ada ungkapan, “Toraja bagaikan sepotong surga jatuh di bumi”. Realitas memang tampil jujur dalam panorama alam nan indah yang membentang asri di lekuk-lekuk Bumi Toraja. Terlihat dari kejauhan, bukit-bukit batu tajam menjulang ke angkasa lepas. Masih banyak bentangan sawah menghijau di kaki-kaki bukit terjal. Rasanya, kekuatan kata-kata begitu miskin untuk mengungkapkan keindahan alam Toraja. Tana Toraja sungguh menjadi salah satu mutiara yang nilainya tak terperi di Bumi Pertiwi.

Decak kagum seolah tak pernah pergi dari bibir para peserta PKSN ini. Pengakuan polos datang dari Ketua Komsos Keuskupan Manokwari-Sorong, Romo Aloysius Susilo. Baginya, Tana Toraja sungguh excited. Negeri yang kaya akan keindahan alam. Pesona budaya yang kental dan khas; memukau dan tetap membekas di hati. “Baru pertama kali saya menginjakkan kaki di Tana Toraja, tetapi rasanya tak mungkin untuk melupakan pesona budaya dan keindahan alam Tana Toraja,” katanya ketika dimintai kesan terhadap eksposure budaya ini, Senin, 3/6.

Ikon Rohani Toraja

Selain destinasi wisata budaya, Tana Toraja juga terkenal akan wisata rohani yang mengundang banyak wisatawan asing maupun domestik. Patung Kristus Raja berukuran raksasa berdiri tegak di Bukit Burake. Inilah gambaran kebesaran Tuhan yang menakjubkan. Jika dilihat dari kejauhan, tangan patung Kristus Raja yang membentang itu seolah sedang memberkati Tana Toraja. Satu ikon rohani khas Toraja ini melekat di jiwa para penduduknya, yang mayoritas beragama Kristen.

(Ki-ka) RP. Santo, OSC, Rensiana , Stefani, Ellen, RD Ino (duduk)

Ada pepatah, “Tutur kata menggambarkan karakter orang”. Pembawaan seseorang  bisa terbaca dari ekspresi yang muncul di wajahnya, atau bahasa yang terucap; menggambarkan kepribadian orang yang sesungguhnya. Dalam konteks orang Toraja, perbedaan agama dan keyakinan bukanlah penghambat untuk membina kerukunan hidup. Mereka seolah dapat menyatukan hati untuk membangun Tana Toraja, sepikir dan seperasaan menjunjung tinggi kebinekaan. Itulah yang muncul dalam sambutan Bupati Tana Toraja, Nicodemus Biringkanae, dalam Pagelaran Malam Budaya Toraja di halaman Paroki Makale, Sabtu, 1/6. Ia mengapresiasi kerja sama yang baik antara Gereja Katolik, Gereja Protestan dan pemeluk agama lain. Bukan hanya itu, toleransi yang tinggi sungguh dibangun di Tana Toraja.

“Perbedaan itu sesuatu yang sangat wajar, tetapi bukan berarti saling bersaing hingga bermusuhan. Mari kita satukan hati membangun Tana Toraja, rumah kita bersama,” tegasnya dalam sambutan pada Pagelaran Malam Budaya Toraja sekaligus merayakan Hari Lahirnya Pancasila.

Jadi Saksi Iman melalui Keluhuran Budaya

Para peserta PKSN mengikuti eksposure budaya selama dua hari, Minggu-Senin, 2-3/6, dengan didampingi oleh Ketua UNIO Keuskupan Agung Makassar, Romo Carolus Patampang; Ketua Panitia PKSN Keuskupan Agung Makassar, Romo Semuel Sirampun; dan budayawan Toraja sekaligus imam Keuskupan Agung Makassar, Romo Yans Sulo. Ketika mengunjungi situs-situs budaya Toraja, rombongan diundang singgah di rumah orangtua Mgr. John Liku Ada’, di Sa’pak Bayo-Bayo, untuk makan bersama yang dilanjutkan dengan sesi ramah-tamah dan foto bersama Uskup Agung Makassar beserta keluarganya, Minggu, 2/6.

Susunan rumah tinggal yang terlihat apik di rumah orangtua Mgr. John Liku Ada’, Tongkonan Ampan, mempunyai arti mendalam. Rumah itu menampakkan kekhasan budaya Tana Toraja. Ada tiang agung; terlihat juga ukiran indah di setiap dinding rumah. Bubungan atas sedikit mencekung dengan sudut kiri kanan yang lancip. Bentuk-bentuk itu menyiratkan goresan nilai keluhuran budaya dan spiritual yang mendalam.

Foto bersama dengan Mama dari Mgr John Liku-Ada’

Romo Yans Sulo, yang sangat menguasai ritual adat dan budaya Tana Toraja, setiap kali membantu peserta dengan menjelaskan simbol-simbol budaya Toraja yang dibalut sentuhan khas ajaran Gereja Katolik. Sejarah leluhur ia pahami dengan sangat baik. Simbol- simbol budaya itu menggambarkan keterkaitan erat antara ciptaan dengan Yang Ilahi.

“Budaya di Tana Toraja banyak sekali simbolnya. Ritual adatnya kaya makna. Sekarang, bagaimana Gereja mulai mewartakan Injil dan ajarannya melalui kearifan lokal budaya ini. Sudah pasti kita akan menemukan sakralitas ritual yang menggambarkan  kebesaran Tuhan, yang diselaraskan dengan ajaran Gereja,” tegas Romo Yans.

Sementara itu, Romo Semuel Sirampun menjelaskan bahwa ritual adat Toraja memang cukup rumit. Tidak banyak orang Toraja, terutama kaum muda, mampu memahami secara utuh budaya Toraja. Misalnya, upacara adat Tongkonan To’pao yang bisa menelan biaya begitu besar. Romo Semuel mengakui, tidak semua orang Toraja bisa merayakan ritual adat tersebut karena biaya yang dibutuhkan sedemikian besar, sehingga Gereja perlu hadir memberikan solusi tanpa harus menghilangkan dan melukai tradisi yang sudah berjalan dari generasi ke generasi secara turun-temurun.

“Memang tradisi yang satu ini tidak bisa dilakukan oleh orang biasa. Budaya Toraja juga mau memperlihatkan status sosial dalam masyarakat sebagai orang terhormat dan berpengaruh,” tukasnya spontan. Ritual adat Tongkonan To’pao memakan waktu sekitar seminggu sampai dua minggu. Puluhan kerbau dan babi dikorbankan dan belum lagi biaya-biaya lainnya.

Kehadiran Gereja Katolik diharapkan mampu menerangi dan menginspirasi, melengkapi dan menyempurnakan budaya lokal. Dengan demikian, hadirnya patung Kristus Raja yang merentangkan tangan-Nya, seolah menjadi simbol bahwa Yesus sungguh hadir dan memberkati Tana Toraja. (Romo Ino-Atambua/RBE)