Beranda BERITA Tsunami Informasi Perlu Diimbangi dengan Literasi Media

Tsunami Informasi Perlu Diimbangi dengan Literasi Media

DI TENGAH maraknya berita-berita palsu (fake news) dan berita bohong (hoaks) pada media sosial hari-hari ini, masyarakat perlu memilih media informasi yang bisa dipercaya. Dalam hal ini, media arus utama (mainstream), baik cetak, radio maupun televisi, menjadi pilihan yang direkomendasikan.

Praktisi media, Errol Jonathans menyatakan hal tersebut saat membawakan materi pada Seminar Literasi Media dalam rangka Pekan Komunikasi Sosial Nasional (PKSN) ke-6 di Aula Tammuan Mali Paroki Makale, Tana Toraja, Keuskupan Agung Makassar, Sabtu, 1/6.

Media arus utama, kata pengelola Radio Suara Surabaya itu, memiliki tahap-tahap redaksional yang baik dalam proses pemberitaan. Selain itu, pengelolaannya pun diatur oleh undang-undang dan diawasi secara ketat melalui regulasi.

“Izinnya bisa dicabut kalau ia melanggar,” tegas Errol.

Ajakan untuk kembali ke media arus utama itu ia sampaikan bertolak dari situasi negara Indonesia pada dua pekan terakhir, ketika media sosial dimanfaatkan oleh sejumlah kalangan untuk menyebarkan berita palsu dan ujaran kebencian (hate speech). Akibatnya, pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika membatasi pemanfaatan beberapa fitur pada media sosial pada saat situasi dianggap genting.

“Di tengah maraknya berita-berita palsu pada media sosial hari-hari ini, media mainstream cetak, radio, dan televisi sukses menjadi validator,” tandas Errol.

Kondisi Memprihatinkan

Errol Jonathans, dalam presentasinya yang berjudul “Khalayak yang Komunikatif dan Melek Media”, memaparkan kondisi Indonesia yang sedang memprihatinkan. Majunya teknologi komunikasi dan informasi dewasa ini menyebabkan aliran informasi yang masif dan cepat.

“Kita sedang berada pada era tsunami informasi,” ungkapnya sambil menampilkan data tentang pemanfaatan media sosial oleh masyarakat Indonesia, tempat berbagai informasi dan berita itu tersalurkan.

Namun, lanjut dia, itu tidak diimbangi dengan tingkat melek media yang baik. Dia menyebutkan bahwa lima fakta yang menunjukkan masih lemahnya literasi media pada masyarakat, yaitu tidak mengerti karakter media, tidak mahir menyeleksi informasi, kurang memeriksa referensi pada media terpercaya, malas melakukan konfirmasi, dan tidak paham dampak-dampak hukumnya.

“Masih banyak di luar sana yang menjadi korban penipuan melalui media online,” kata Errol.

Perlunya Literasi Media

Literasi media perlu digalakkan bagi masyarakat Indonesia dalam menghadapi laju perkembangan teknologi informasi. Itu, menurut Errol Jonathans, perlu dilakukan sejak dini.

“Di negara tetangga kita, Australia, literasi media itu masuk dalam kurikulum sekolah setingkat SD,” kata Errol.

Selain itu, lanjutnya, litetasi media juga melibatkan berbagai pihak termasuk Gereja. Gereja perlu memasukkan literasi media dalam program-program pastoral bagi umat.

“Di sinilah peran komisi Komsos,” pungkasnya. (Erick Ratu/RBE)