Home Jendela Alkitab Ulasan Eksegetis Bacaan Kitab Suci Minggu Adven III/C

Ulasan Eksegetis Bacaan Kitab Suci Minggu Adven III/C

Bacaan pertama hari Minggu Adven III tahun C (Zef 3:14-18a) menghibur kota Yerusalem yang kini tinggal reruntuhan belaka akibat penyerbuan Nebukadnezar. Seperti terungkap dalam 13 ayat yang mendahuluinya, malapetaka ini dipahami sebagai hukuman bagi kelakuan buruk umat sendiri. Tetapi keadaan sudah berubah. Tuhan kini berbalik mengasihani umat-Nya dan berjanji akan berada kembali di tengah-tengah mereka. Ia akan mengumpulkan mereka yang tercerai-berai. Yerusalem dan penduduknya diimbau agar tidak lagi bersedih. Kebesarannya akan pulih. Harapan hidup kembali. Tuhan akan mendatangi kota suci-Nya dan tinggal di sana lagi. Iman ini tumbuh pada zaman setelah pembuangan dan tetap hidup dalam masa Perjanjian Baru. Injil-Injil, khususnya Lukas, memakainya dalam wujud pola perjalanan Yesus menuju ke Yerusalem – dia itulah Raja yang dinanti-nantikan orang, dia itulah Penyelamat yang diharap-harapkan datang ke kota sucinya.

Dalam Injil yang dibacakan bagi kesempatan ini, yakni Luk 3:10-18, dikisahkan bagaimana orang-orang yang datang kepada Yohanes Pembaptis berharap dapat membarui diri. Terungkap dalam beberapa ayat sebelumnya (ay. 7-9) kecaman keras Yohanes Pembaptis terhadap mereka yang disebut¬nya “keturunan ular berbisa”. Mereka diperingatkan agar jangan melamun akan luput dari murka pada akhir zaman nanti. Bahwasanya mereka lahir sebagai keturunan Abraham sama sekali bukan jaminan. Jalan satu-satunya agar selamat ialah bila mereka menghasilkan buah yang baik. Bila tidak, mereka ibarat pohon yang akan ditebang dan dimusnahkan dengan api.

“Nyepi” Ke Padang Gurun

Mendengar kata-kata Yohanes tadi, orang-orang mulai gelisah lalu minta dibaptis olehnya sambil menyatakan niat mau memperbarui diri. Waktu itu baptisan lazim dilakukan sebagai ungkapan niat membarui diri di hadapan seorang guru yang dihargai. Ada macam-macam kelompok: orang kaya, pemungut cukai, dan tentara. Meskipun termasuk “kaum terhormat” dalam masyarakat, mereka sering dianggap sudah terlampau jauh terpisah dari kehidupan orang Yahudi yang beragama. Mereka dinilai sebagai kaum egois, orang-orang kemaruk dan kawanan pemeras. Namun demikian, dalam Injil Lukas digambarkan bagaimana orang-orang yang biasanya dianggap sudah tak tertolong lagi itu masih mempunyai kesempatan. Ingat perumpamaan anak yang hilang tetapi kembali (Luk 15:11-32), perumpamaan pemungut cukai yang dengan tulus mengakui keberdosaannya (Luk 18:9-14), Zakheus yang ikhlas mengamalkan separo miliknya (Luk 19:1-10). Mereka ditonjolkan Lukas sebagai orang-orang yang dengan rendah hati bertanya “Apakah yang harus kami perbuat?” Pertanyaan ini juga sering timbul dalam lubuk hati banyak orang, juga dalam batin kita.

Cara-cara memperbaiki diri yang dianjurkan Yohanes sejalan dengan kehidupan masing-masing. Yang serba berkecukupan dianjurkan berbagi kelebihan dengan orang lain, yang mempunyai wewenang menarik pajak hendaknya belajar berlaku jujur, yang memiliki kekuasaan, senjata, dan organisasi dapat belajar agar tidak mempraktekkan kekerasan. Tidak pada tempatnya mengkhotbahkan secara harfiah anjuran-anjuran Yohanes itu. Keadaan masyarakat berbeda-beda dari zaman ke zaman dan dari tempat ke tempat. Tetapi tak meleset bila dikatakan anjuran Yohanes itu membuat orang berpikir bahwa kedudukan dan kekuasaan tak dapat dilepaskan dari kewajiban untuk menjalankannya sesuai dengan maksud kedudukan itu, begitu pula kelebihan material menuntut pengamalan, bukan penimbunan belaka. Inilah prinsip penalaran moral yang berlaku di mana-mana dan kapan saja.

Namun demikian, penalaran seperti di atas belum tentu membawa perubahan dalam diri orang secara menyeluruh. Orang perlu sejenak meninggalkan kebisingan hidup dan menemukan ketenangan batin. Mereka yang mendengarkan Yohanes Pembaptis itu datang ke padang gurun untuk “nyepi” ke daerah Yordan, meninggalkan Yerusalem yang inggar- bingar dan penuh kezaliman (“Ierousaleem” katakan saja mudahnya “Yeru-zalim”) untuk melihat prospek kembali ke Yerusalem yang jadi tempat keselamatan (“Hierosolyma” – mudahnya – “Yeru-syalom”). Di situ orang boleh berharap mendapat pertolongan kekuatan-kekuatan ilahi yang diimbau Yohanes Pembaptis dan menjadi peka mendengarkan isyarat ilahi. Dalam suasana seperti inilah ajakan untuk memperbaiki diri akan lebih merasuki batin dan budi. Kekuatan-kekuatan ilahi itulah yang akan meluruskan batin orang dan menimbun lubang-lubang yang biasanya membuat batin orang tak rata, yang “nggronjal”. Pertobatan yang sungguh baru bisa terjadi bila berawal dalam suasana kesunyian yang sarat dengan kehadiran ilahi. Ini pertobatan yang menghadirkan Tuhan

Langkah-Langkah Pembaruan Hidup

Dalam Injil bagi Minggu Adven II tahun C  kita mendengar Yohanes mewartakan baptisan tobat demi pengampunan dosa (Luk 3:1-6). Ia mendekatkan orang kepada kekuatan-kekuatan ilahi yang memberi hiburan dan karena itu orang dapat mulai berharap dan mencari arah baru yang segar. Orang baru bisa berharap bila pernah mengalami penghiburan bahwa ada kemungkinan untuk itu. Warta Kitab Suci menekankan adanya penghiburan dari atas sebagai dasar harapan sejati. Ini landasan bagi teologi harapan yang kukuh dan yang dapat nyata-nyata menolong orang.

Memang tidak dapat disangkal adanya unsur jeri dan jera. Dalam tahap tertentu kekuatan-kekuatan ilahi itu bukan hanya pesona yang menghibur, tetapi juga membuat orang tergetar. Perjumpaan dengan Yang Ilahi sering dialami orang sebagai yang mengejutkan, sebagai keberdosaan yang menyakitkan, yang mencemaskan. Kecaman keras yang sebelumnya diutarakan Yohanes dalam Luk 3:7-9 menyadarkan orang akan dimensi ini. Akan tetapi, kata-kata tajam Yohanes itu ditujukan bagi orang yang sudah mulai mencari arah baru, dengan kata lain, sudah mulai “bertobat”. Mereka itu sudah terhibur dan memiliki harapan.

Tahapan selanjutnya ialah sikap bertanya “Apa yang harus dikerjakan?” (Luk 3:10.12.14) seperti terungkap dalam Injil kali ini. Orang mau belajar mengubah diri, belajar memperhatikan sesama, belajar berlaku adil dan lurus. Keinginan inilah yang menjadi kenyataan hadirnya kekuatan-kekuatan ilahi yang datang mempersiapkan dan meluruskan jalan seperti kata-kata Yesaya yang dikutip dan diterapkan Lukas dalam bacaan Injil pada ulasan Injil Minggu lalu. Inilah kekuatan-kekuatan moral yang bakal menjinakkan kecenderungan serakah, main kuasa, curang … dan pelbagai kenyataan buruk di dunia ini yang menjadi bagian kehidupan manusia. Bila terjadi, mulai jelaslah makna anjuran Yohanes agar orang memberikan sehelai dari “dua helai baju” kepada orang yang tak mempunyainya.

Ada pasang surut dalam tahap-tahap tadi. Ini deskripsi, bukan evaluasi terhadap pengalaman. Pengalaman membawa kita maju bila digambarkan dan dimengerti, bukan bila dinilai begini atau begitu menurut seperangkat ukuran yang sudah lazim dipakai. Kepekaan mengenai hal ini amat berguna dalam bimbingan rohani dan pelayanan pastoral pada umumnya.

Mengajak Orang Bertanya

Dalam konteks Injil Lukas, orang-orang yang datang ke Yohanes itu sebenarnya orang-orang yang sudah maju jauh. Banyak ahli tafsir yang melihat tokoh Yohanes Pembaptis beserta pengikutnya sebagai kaum rahib yang menjauhi hidup di Yerusalem dan menyepi di padang gurun. Kita banyak mendengar mengenai kelompok-kelompok seperti itu: kaum Ebioni, kaum Eseni, dan kaum rahib dari pertapaan Qumran.

Bagaimana menerapkan gagasan di atas bagi keadaan yang berbeda, bagi umat yang tidak hidup dalam suasana pertapaan seperti itu, bagi orang-orang yang belum melangkah ke pertobatan seperti orang-orang yang datang ke Yohanes Pembaptis itu? Tak banyak faedahnya memakai mimbar khotbah untuk mencela sikap-sikap atau contoh-contoh kejahatan dan kedosaan. Salah-salah malah akan menjauhkan orang dari Gereja. Lebih mudah diterima bila dijelaskan bahwa bertobat dapat mulai dengan membangun sikap tidak mengalah kepada ketidaksempurnaan dalam kehidupan ini. Sikap yang paling berlawanan dengan pertobatan ialah takut, tak berbuat apa pun. Yohanes Pembaptis mengajarkan sikap tidak menerima begitu saja bengkak-bengkoknya jagat ini yang mempengaruhi dan membentuk kehidupan. Dalam pandangan Lukas, sang Pembaptis menyerukan kekuatan-kekuatan dari atas sana untuk mengalahkan daya-daya yang tidak lurus tadi. Sekali lagi sikap “nyepi” dapat membantu orang membiarkan diri disertai kekuatan-kekuatan tadi sambil menjauhi kebisingan daya-daya jahat.

Spiritualitas Pelayan Sabda: Luk 3:15-18

Yohanes Pembaptis itu pewarta kedatangan sang Penyelamat. Pelayanannya juga khas. Ia menyiapkan orang agar makin ingin berjumpa dengan Tuhan sendiri. Pelayanan seperti inilah yang menjadi dasar kerohanian para pelayan sabda. Juga di masa kini. Dan lebih dalam lagi. Ketika orang mulai menduga-duga apakah dia itu sang Mesias sendiri, Yohanes menegaskan dirinya bukan Dia yang dinanti-nantikan. Ia mengatakan tak pantas melepaskan tali kasut Mesias sekalipun. Ungkapan ini berlatar yuri¬dik dan artinya “mengklaim” harapan umat. Maklum, melepaskan tali kasut di sini berhubungan dengan praktek menunjukkan alas kaki kepada pihak yang boleh memandang pembawa alas kaki itu mewakili secara sah pemilik yang tak hadir secara fisik. Ini praktek yuridik tradisional yang dikenal di pelbagai tempat dan sering dipakai dalam upacara nikah per procura. Yohanes tidak merasa pantas menjadi wakil yang sah sekalipun dari Yesus. Jadi, ungkapan itu bukan ungkapan basa-basi saleh, melainkan ungkapan yuridik. Ia menyatakan diri sama sekali tak memiliki hak mengukuhi umat Tuhan. Lalu siapakah Yohanes Pembaptis itu? Menurut Lukas, dia itu suara di padang gurun, di kesunyian, suara yang memperdengarkan kehadiran Tuhan dan mengajak kekuatan-kekuatan ilahi menyiapkan orang agar mampu menerima Tuhan sendiri. Yohanes Pembaptis bergerak dalam senyapnya awang-uwung yang sarat dengan kekuatan-kekuatan ilahi, tetapi ia juga bisa didengar oleh orang-orang yang hidup dalam kebisingan sehari-hari.

Salam hangat,

Kredit Foto: https://www.google.com/