Beranda Jendela Alkitab Ulasan Eksegetis Injil Minggu Biasa XXIII/C, 4 September 2016 (Luk 14:25-33)

Ulasan Eksegetis Injil Minggu Biasa XXIII/C, 4 September 2016 (Luk 14:25-33)

TIKET MASUK SURGA?

Rekan-rekan!

PADA awal Luk 14:25-33 yang dibacakan pada hari Minggu Biasa XXIII tahun C disebutkan bahwa “ada banyak orang berduyun-duyun mengikuti Yesus dalam perjalanannya” (ayat 25). Tentunya yang dimaksud ialah perjalanan Yesus ke Yerusalem, tempat nanti ia ditolak dan disalibkan, tapi juga tempat ia dibangkitkan setelah wafat. Dengan berita yang sederhana bunyinya itu Lukas hendak membuat pembaca bertanya-tanya apakah orang juga masih berani mengikutinya terus sampai ke akhir perjalanannya. Pertanyaan itu juga diharapkan timbul dalam diri kita yang berusaha menyertai perjalanan Yesus.

Pada bagian selanjutnya diuraikan bagaimana orang dapat mengikut Yesus sampai akhir. Menurut para ahli tafsir, kata-kata Yesus dalam ayat 25-33 disampaikan oleh Lukas guna menjelaskan maksud perumpamaan tentang seorang tuan rumah yang mengadakan perjamuan dalam Luk 14:15-24. Di situ disebutkan bahwa semua yang sudah menyatakan mau ikut perjamuan kini berdalih dengan macam-macam alasan untuk tidak jadi datang. Saking kesalnya tuan rumah kemudian menyuruh hamba-hambanya mengumpulkan orang miskin, orang cacat, orang buta dan orang lumpuh agar datang memenuhi rumahnya. Perumpamaan ini pada dasarnya mengajarkan bahwa yang akhirnya masuk ke dalam perjamuan Kerajaan Allah justru orang-orang yang tadinya tidak diperhitungkan. Dalam sejarah tafsir acap kali para undangan yang tidak jadi datang tadi dikenakan kepada orang Yahudi, “umat terpilih zaman dulu”. Bagian mereka dalam perjamuan itu kini diberikan kepada “umat baru”. Namun hal yang sama bisa berlaku pula bagi siapa saja yang memperoleh ajakan menjadi umat tapi kemudian mangkir.

Masuk Kerajaan Allah?

Segera timbul persoalan baru. Apakah status sebagai “orang miskin, penyandang cacat, buta, lumpuh”, dan status sebagai “umat baru” itu menjadi jaminan menikmati kelimpahan tuan rumah tadi? Dengan kata lain menjadi miskin, dst. itu sama dengan mendapat tiket gratis masuk ke Kerajaan Allah? Kok gampang bener! Sesederhana itukah? Persoalan ini menjadi masalah hangat dalam kehidupan Gereja sejak awal. Luk 14:25-33 menampilkan salah satu pemecahan. Ditegaskan bahwa supaya nanti dapat sungguh ikut memasuki Kerajaan Allah, orang perlu menjadi murid Yesus. Lalu apa syarat-syaratnya? Petikan Injil kali ini memberi rincian lebih jauh.

Marilah sebentar ditengok pembicaraan yang sejalan menurut Injil Matius. Dalam Mat 22:1-14 disampaikan perumpamaan yang mirip dengan Luk 14:15-24, yakni para undangan satu persatu berdalih untuk tidak datang. Dalam Injil Matius perumpamaan itu langsung diikuti dengan cerita mengenai orang yang datang tanpa berpakaian pantas (mengenakan“pakaian perjamuan”, ayat 11-14) dan oleh karenanya tidak boleh masuk ikut perjamuan. Bagian ini menjelaskan apa syaratnya agar orang betul-betul dapat ikut serta dalam pesta. Jadi sejajar dengan petikan Injil Lukas yang sedang dibicarakan sekarang, yakni Luk 14:25-33. Bagi Lukas, “pakaian perjamuan” dalam Matius itu ditampilkan sebagai upaya menjadi murid Yesus. Cara penyampaian Matius dalam hal ini lebih langsung dan lebih jelas, tapi Lukas sebenarnya lebih mendalam walaupun pembaca diminta agar lebih memikirkan perkaranya. Dalam pembicaraan dengan ahli tafsir di bawah nanti akan didalami lebih lanjut masalah ini. Sekarang marilah kita simak ayat 25-33.

 Menjadi Murid Yesus

Kepada para pengikut Yesus kini disampaikan pengajaran mengenai apa artinya menjadi murid yang sejati dan berjalan bersamanya. Ujung pangkal perjalanan ini hanya dapat dijabarkan dari keakraban dengan sang tokoh yang diikuti. Memang menurut Luk 13:22, kata-kata Yesus terasa menantang. Menjadi muridnya menuntut komitmen yang besar. Di situ diutarakan syarat-syarat menjadi murid Yesus. Mengikutinya berarti bersedia mengatasi ikatan sanak keluarga serta kepentingan sendiri. Jadi menjadi muridnya sama dengan menempuh hidup baru yang bisa jadi amat berlainan dengan yang biasa dijalani hingga kini.

Diungkapkan tiga syarat yang harus dipenuhi agar orang dapat disebut murid Yesus yang sejati. Syarat pertama (Luk 14:26) kedengarannya keras. Orang yang tidak “membenci” orangtua, keluarga, sanak, nyawa sendiri tak layak menjadi muridnya. Dalam gaya bicara orang Semit yang dipakai dalam kumpulan kata-kata Yesus, ungkapan “membenci” biasa dipakai untuk menggambarkan sikap tidak memihak. Begitu pula “mengasihi” maksudnya sama dengan berpihak. Dalam mengikuti jalan menuju Kerajaan Allah, orang diingatkan agar tidak lagi berpihak pada ikatan-ikatan kekerabatan atau mengikuti naluri menyelamatkan diri. Mengapa? Bukan karena mengikuti Yesus itu bertolak belakang dengan ikatan-ikatan tadi, melainkan agar perkara Kerajaan Allah tidak dibataskan lagi menjadi perkara “mengurus nyawa sendiri” (mengurus keselamatan sendiri), dan dibawahkan pada kelembagaan sosial yang tumbuh dari ikatan-ikatan yang rasanya sudah tidak dipertanyakan lagi. Tetapi juga tak usah kita tafsirkan ajaran itu sebagai program hidup masyarakat alternatif. Yesus bukan nabi “kehidupan sosial baru”. Bukan maksud Yesus membangun masyarakat yang merombak pelbagai bentuk kelembagaan. Ia sekadar menggarisbawahi bahwa warta Kerajaan Allah pada dasarnya merdeka dan tidak lagi terikat pada pelbagai kelembagaan yang muncul dari hubungan keluarga atau naluri mempertahankan diri dan ikatan-ikatan primordial lain seperti itu. Dengan demikian warta itu bisa memberi angin baru bagi orang zaman ini juga. Bila dipikirkan lebih lanjut kata-kata ini sebenarnya juga mengajak Gereja memeriksa diri apa kelembagaan yang dijalankannya berada pada jalan kemerdekaan Kerajaan Allah.

Syarat kedua (ayat 27) ialah mengangkat salib dan mengikuti Yesus. Perkataan ini janganlah kita pahami sebagai ajakan mencari-cari salib. Cara yang paling menjamin untuk menemukan salib ialah mengikuti jejak langkah Yesus dan meniti jalan yang sama. Begitulah orang akan ikut sampai ke tujuan perjalanan Yesus (“exodos” Luk 9:31 tempat kemuliaannya), bukan mengalami penderitaan melulu. Tak ada faedahnya mencari-cari salib. Salib sudah ditemukan oleh Yesus dan orang tinggal ikut memanggulnya, meringankan beban perjalanan. Itulah makna mengangkat salib dan mengikutinya. Menjadi murid berarti menjadi rekan seperjalanan. Dalam arti inilah sebaiknya dipahami kata-kata Yesus: “Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut aku, ia tak layak mengikut aku.” (lihat juga Mat 10:38; Mrk 8:34; 10:21; Mat 16:24; Luk 9:23). Dalam semua ayat itu, “memikul salib” dan “mengikut aku” tak bisa dipisahkan satu dari yang lainnya. Bila dipisahkan, beban yang dipikul orang bisa-bisa bukan lagi salib yang membawa ke “keselamatan”, tapi berhenti pada penderitaan yang tanpa ujung pangkal. Dan upaya menjadi murid akan terganjal.

Syarat ketiga (ayat 33) ialah melepaskan harta milik. Syarat ini disebutkan sesudah diberikan perumpamaan mengenai membuat anggaran yang cukup sebelum mulai membangun (ayat 28-30) dan memperhitungkan kekuatan sendiri masak-masak sebelum mulai berperang (31-32). Bagaimana penjelasannya? Kedua perumpamaan itu mengajarkan agar murid pandai-pandai mempertanggungjawabkan rencana dengan cara yang matang. Hal-ihwal menjadi murid bukanlah keinginan saleh dari saat ke saat dan mudah berubah menurut keadaan atau kecenderungan batin yang berubah-ubah. Orang diajak agar masak-masak menimbang kekuatan sendiri dulu. Bukan hanya keberanian memulai, tetapi juga kemampuan meneruskan serta menerima segala konsekuensinya. Kepribadian murid Yesus itu membuat orang merdeka, juga dalam hal harta milik. Dalam hubungan ini lebih jelas mengapa ada syarat agar orang melepaskan ikatan harta milik. Salah satu kekhususan Kerajaan Allah dalam perspektif Lukas ialah perhatian kepada orang yang miskin. Berarti orang yang memiliki kelebihan diimbau agar dapat menggunakan kekayaan untuk membantu mereka yang kurang mempunyai. Untuk itu perlu ada sikap merdeka terhadap harta. Orang sering lebih rela berbagi kekayaan dengan sanak keluarga sendiri. Menjadi murid itu gaya hidup yang membentuk yang membentuk “umat”, membentuk masyarakat yang memberi ruang hidup bagi siapa saja yang hidup di dalamnya. Bukan masyarakat yang ditokohi orang-orang yang saling menyingkirkan agar bisa maju.

Yesus bukan pelopor sistem sosial yang berusaha menggariskan sistem ekonomi yang berciri khas melepas milik pribadi. Ia sekadar ingin mengajarkan agar mereka yang mau mengikutinya belajar semakin memperhatikan orang-orang yang tidak berkesempatan cukup untuk maju. Mereka itu juga berhak mendapat bagian dalam kelimpahan yang dipunyai para murid. Kita ingat juga bahwa para pengikut Yesus dalam abad-abad pertama banyak yang berasal dari kalangan berada. Mereka diajak memperhatikan orang-orang di sekitar mereka, baik yang termasuk kalangan murid atau yang tidak. Karena itulah lama kelamaan mereka semakin dikenal sebagai komunitas baru, sebagai umat baru.

Tanya Jawab dengan Ekseget

TANYA: Menurut Anda, Injil mengatakan, agar bisa sungguh masuk Kerajaan Allah orang perlu menjadi murid Yesus. Begitu kan?

JAWAB: Benar.

TANYA: Belum jelas mengapa Lukas justru menampilkan macam-macam persyaratan menjadi murid untuk memasuki Kerajaan Allah. Kok tidak seperti Matius yang dengan lebih sederhana mengatakan bahwa orang mesti datang dengan pakaian pantas? Soal ini jadi rumit bila kita ingat bahwa kata-kata tentang membenci sanak saudara dan nyawa sendiri (Luk 14:26-27) muncul kembali dalam konteks lain dalam Injil Matius, yakni Mat 10:37-38.

JAWAB: Anda pinter! Memang Matius dan Lukas sama-sama mengolah kumpulan kata-kata Yesus yang dikenal waktu itu untuk menjelaskan berbagai hal yang berbeda-beda. Dalam Injil Matius kata-kata itu menjelaskan mengapa pengikut Yesus dari kalangan Yahudi akhirnya berseberangan dengan sanak saudara mereka yang tetap memeluk agama Yahudi. Komunitas Lukas tidak begitu mengalami soal ini karena mereka terutama bukan orang asal Yahudi. Bagi Lukas lebih masuk akal bila mengikuti Yesus dijelaskan sebagai keikutsertaan dalam perjalanan Yesus sendiri ke Yerusalem dengan dedikasi total.

TANYA: Wah, wah, jadi kehidupan umat awal itu penuh dinamika! Dan ternyata bukan hanya satu kelompok seragam belaka. Jadi pluralitas itu kenyataan sejak awal, begitu kan?

JAWAB: Mengikuti Yesus itu bisa dijalankan oleh macam-macam orang dan dengan macam-macam cara. Tidak berhenti pada rumus-rumus teologi atau kesalehan ibadat belaka. Ikut memanggul salib, ikut serta dalam perjalanan Yesus sendiri, itu yang ingin ditegaskan Lukas.

Salam hangat.

Kredit Foto: www.cercoiltuovolto.it