Home Jendela Alkitab Ulasan Eksegetis Injil Minggu Biasa XXVIII/C

Ulasan Eksegetis Injil Minggu Biasa XXVIII/C

Imanmu Telah Menyelamatkanmu!

PENYEMBUHAN sepuluh orang kusta dalam Luk 17:11-19 terjadi ketika Yesus sedang dalam perjalanan menuju ke Yerusalem – ke tempat ia akan menderita, ditolak, wafat disalibkan, tapi juga tempat ia bangkit. Ringkasnya, kisah ini terjadi dalam perjalanan memperkenalkan Yang Mahakuasa sebagai Bapa yang berbelaskasihan kepada manusia. Tidak semua orang memahaminya. Juga mereka yang mendapatkan kebaikan darinya.

Bila dieja sebagai Ierousaleem, kota tujuan perjalanannya itu tampil sebagai tempat yang menolak kehadiran utusan Yang Mahakuasa ini, bahkan memperlakukannya dengan buruk. Kota seperti ini kota kezaliman – Yeru-“zalim” yang akan runtuh dan diganti dengan Hierosolyma, tempat Yesus akan dimuliakan, kota kedamaian, Yeru-“syaloom”. (Sebagai tujuan perjalanan Yesus, nama kota itu ditulis sebagai Ierousaleem dalam 9:51; Hierosolyma dalam 13:22, di Ierousaleem 17:11, dan kemudian Hierosolyma 19:28). Sepuluh orang kusta yang berseru kepadanya “Yesus, Guru, kasihanilah kami!” menemuinya dalam perjalanannya ke Yeru-“zalim”. Sepuluh orang kusta tadi sebenarnya tidak lagi berada di dekat tempat yang bakal runtuh itu, melainkan menuju ke Yesus yang akan mengubah kota kezaliman itu menjadi kota damai. Kesepuluh penderita kusta itu sebenarnya malah lebih dekat ke pembawa keselamatan daripada Yeru-“zalim” sendiri! Tapi apa semuanya beres?

Dilemma Praktek Agama

Yesus tidak segera menyembuhkan kesepuluh orang berkusta tadi melainkan menyuruh mereka memperlihatkan diri kepada imam-imam (ayat 14). Hukum adat dan agama di Israel dulu menggariskan, orang kusta yang sembuh baru akan diterima kembali ke dalam masyarakat setelah dinyatakan sembuh dalam upacara yang hanya boleh dilakukan para imam. Hukum ini masih dapat dilihat dalam Im 14:1-32. Di situ diberikan pegangan untuk memeriksa apakah orang sungguh berpenyakit kusta atau tidak, apakah telah sembuh dari kusta atau belum. Hanya imam-lah yang berhak menyatakan “najis” (kotor karena kusta) atau “tahir” (bersih, sembuh dari kusta). Tujuan utamanya ialah menjamin agar kurban dan upacara kurban hanya dilakukan dan diikuti oleh mereka yang tak najis, yang bersih. Mereka yang tak bersih, termasuk mereka yang menderita kusta, tersingkir dari kehidupan yang ketika itu memang berporos pada praktek dan upacara agama. Tentunya semua ini pada awalnya berkaitan dengan upaya pencegahan penularan.

Dapatkah mereka kembali? Jelas mungkin dan ada pengaturannya. Namun menjelang zaman Yesus, penegasan sudah tahir atau masih kotor hanya dilakukan imam di Bait Allah di Yerusalem walaupun tidak dikenal larangan melakukannya di tempat lain. Dalam prakteknya para imam tidak lagi menjalankannya di luar Bait Allah karena semua upacara makin dipusatkan di situ. Tapi untuk memasuki Bait Allah orang harus bersih. Padahal bersih tidaknya mereka itu perlu ditegaskan terlebih dahulu oleh imam-imam yang kini melakukan upacara yang diterakan dalam Im 14 tadi hanya di dalam Bait Allah. Jadi orang kusta atau yang disangka menderita kusta benar-benar terkucil dan tidak memiliki tempat mengadu lagi. Dengan latar belakang seperti ini Yesus itu memang menjadi harapan satu-satunya. Mereka ingin mendapatkan belas kasihan, bukan kesembuhan saja. Ini seruan orang yang sudah bakal puas bila dapat sekadar mencicipi benarnya hal yang selalu diajarkan, yakni bahwa Tuhan itu berbelaskasihan.

Apa Yang Terjadi?

Dengan menyuruh kesepuluh orang kusta tadi menghadap imam Yesus menghormati hukum agama yang dikeramatkan dalam Im 14 tadi. Tentu saja Yesus sadar praktek pada zaman itu tidak memudahkan orang kusta tadi menghadap imam-imam. Yesus sebetulnya menghimbau imam-imam agar berani keluar dari rambu-rambu tambahan yang menyesakkan (yaitu hanya melakukan ritual Im 14 di Bait Allah) dan tak memungkinkan tujuan hukum yang sebenarnya tercapai.

Juga para penderita kusta itu tahu bahwa sulit atau bahkan tak ada kemungkinan menghadap imam. Justru karena itulah mereka berseru kepada tokoh yang menjadi harapan banyak orang ini! Namun apa yang dikatakannya? Ah, mengecewakan. Sama saja! Ia hanya membuat kami-kami kaum tersingkir makin merasakan getirnya diemohi. Guru yang katanya tumpuan hidup ini melempar kami kembali kepada imam-imam yang sudah jelas tak dapat membuat nasib kami berubah. Seandainya toh ada di antara imam di Yerusalem yang mau memahami, takkan mudah baginya menembus kekakuan rekan-rekannya. Pembaca kisah ini boleh ingat kembali perumpamaan orang Samaria yang baik hati yang mengisahkan orang Yahudi yang malang yang tidak dipedulikan oleh kaumnya sendiri. Imam dan orang Lewi yang lewat dan “melihat” orang itu malah menyingkir (Luk 10:31-32), tentunya karena mereka mau menghindar agar tidak menjadi “kotor” dengan menyentuh darah orang yang luka itu dalam perjalanan mereka ke tempat upacara. Satu-satunya orang yang menjadi tumpuan harapan sepuluh orang kusta tadi juga “melihat” mereka (ayat 14) tapi kemudian ia hanya menyuruh mereka mencari jalan yang sudah tertutup. Maka mereka pergi dengan perasaan hampa.

Warta Injil

Tetapi justru ketika menjauh dari Yesus dalam keadaan tadi, mereka mendapati diri mereka dibersihkan. Mereka sembuh dari penyakit kusta. Tak diceritakan bagaimana perasaan mereka. Apa mereka berusaha mendapat pengakuan resmi dari imam-imam bahwa mereka telah sembuh dst. tidak lagi menjadi pusat warta Injil. Lukas hanya mengisahkan bahwa salah satu dari sepuluh orang yang sembuh tadi kembali menghadap Yesus “sambil memuliakan Allah dengan suara nyaring, lalu sujud di depan kaki Yesus dan mengucap syukur kepadanya” (Luk 17:15-16). Ditambahkan oleh penulis Injil, “Orang itu orang Samaria”. Ia yang nanti dalam ayat 19 disebut Yesus “orang asing”, bukan orang Yahudi, bukan dari kaum sendiri itulah satu-satunya dari kesepuluh orang yang telah sembuh yang tidak kehilangan harapan yang sesungguhnya. Ia juga satu-satunya orang yang berhasil menembus keputusasaan. Ia tetap memuliakan Allah.

Di mana sembilan orang lain yang juga sembuh? Mereka mendapati diri bersih, tapi untuk mendapat pengakuan betul bersih dari imam-imam? Forget it! Di mata orang mereka masih “kotor” dan tak bisa mendapatkan pentahiran resmi. Mereka tetap pahit. Sudah terima nasib saja. Orang Samaria tadi lain. Memang baginya juga tak mungkin mendatangi imam di Bait Allah. Pertama-tama karena ia masih dipandang kotor. Kedua, ia orang Samaria, orang asing, bukan orang Yahudi dan diharamkan mendekat ke Bait Allah. Tapi dia menemukan ganti semuanya dalam diri Yesus yang membawakan belas kasihan ilahi. Karena itu ia kembali dan  mengucap terimakasih sambil memuliakan Allah dengan suara nyaring. Semua orang mendengar. Kelakuannya menjadi kesaksian akan bagaimana belas kasihan Tuhan mengungguli pembatasan-pembatasan terjadi dalam….praktek agama!

 “Imanmu telah menyelamatkanmu!”

GUS: Lalu apa maknanya orang Samaria tadi diselamatkan berkat imannya. Ia sembuh dari kustanya karena ia meng-iman-i Yesus yang sedang lewat?

LUC: Tentu saja itu arahnya. Tapi bagi orang Samaria itu kesembuhan bukan lagi yang paling penting.

GUS: Wait, apa maksudmu? Kan ini peristiwa penyembuhan? Kau sendiri yang cerita kan?

LUC: Ia sembuh dari penyakit yang sebenarnya. Ia tidak seperti sembilan orang yang lain yang jadi apatis terhadap Tuhan, terhadap lembaga agama, terhadap orang lain, terhadap tokoh-tokoh. Orang Samaria itu kini berani dan mau menjadi manusia wajar.

GUS: Jadi itu iman yang menyelamatkannya. Sepolos itu?

LUC: Dan juga sedalam itu. Orang Samaria itu menyangkal batas-batas yang mengungkung kehidupan. Eh, kayak kalian menyangkal setan dan segala perbuatannya ketika kalian dibaptis.

GUS: Ini terjadi dalam kontak dengan Yesus yang sedang berjalan ke Yeru-“zalim” – ke tempat bakal kena susah, tapi terus. Bisakah dikatakan, orang Samaria itu berbagi iman dengan Yesus yang berani menghadapi prospek seram di Yeru-“zalim” dan oleh karenanya diselamatkan?

LUC: Ehm! [Dehem puas karena Injilnya dimengerti setapak lebih jauh.]

Luc tenggelam dalam anganannya mengenai Yesus, mengenai orang Samaria, mengenai ilmu penyakit dan praktek ketabiban. Sore itu kami lewatkan dengan omong-omong di seputar khasiat kisah dan pengisahan sambil menghabiskan sepoci teh hibiscus hangat. Diagnosisnya menarik. Lemak-lemak rohani yang tebal mengental itu telah membuat batin para imam di Yeru-“zalim” mengalami sklerosis sehingga tidak lagi mampu mengikuti irama belaskasihan Tuhan kepada manusia yang menderita.

Salam hangat,

Kredit Foto: parrocchiadellassunta.it