Beranda OPINI Editorial Aceh Damai!

Aceh Damai!

Delegasi Indonesia dan GAM memasuki tahap kesepahaman tentang Aceh damai. Untuk mewujudkan cita-cita itu, TNI akan menghentikan kegiatan ofensif di NAD.

Hal yang sama diharapkan dilakukan GAM. Inilah berita gembira perindu damai di negeri ini, apa pun klausul draf perjanjian menyangkut segmen politik.

Bukan proyek

Kita berharap, seluruh keputusan di Helsinki, Finlandia, bukan proyek elite, dan merupakan kesepakatan terakhir untuk mewujudkan Aceh damai. Pihak-pihak yang berkonflik pun tidak lagi mengkhianati seluruh rancangan damai yang sudah disepakati. Proses pemulihan dan rekonstruksi Aceh pasca-tsunami pun dapat berlangsung lebih cepat. Masa depan Aceh yang damai menjadi harapan semua pihak.

Ada tiga alasan mengapa kesepakatan damai untuk Aceh jangan menjadi proyek elite politik dan pemerintahan.

Pertama, bangsa kita sedang mengalami lack of justice, masalah terbesar yang merusak perdamaian anak-anak bangsa. Keadilan menjadi barang mewah, tidak setiap anak negeri bisa menikmatinya. Kasus-kasus ketidakadilan terserak hampir di seluruh Nusantara, menyisakan keprihatinan bagi tiap orang yang masih mempunyai nurani.

Kedua, banyak masalah menumpuk di Tanah Air tidak ditangani secara arif dan bijaksana, tetapi telah menjadi proyek elite politik, keamanan, dan pemerintahan, yang hanya menguntungkan sekelompok orang. Dan mereka adalah penguasa. Perang terhadap anak negeri sendiri mudah meletup di mana pun! Aceh hanya salah satu daerah potensial (maupun aktual) perang selain daerah lain yang rawan konflik.

Ketiga, dalam situasi sosial politik yang kian rumit, aspek sosial keagamaan yang menjadi ciri bangsa pun mulai dirusak wawasan politik sempit, tampak dalam oknum yang menggunakan agama demi kepentingan politik. Keprihatinan mendasar di dalamnya adalah intervensi politis yang berlebihan dan membahayakan harmoni yang selama ini menjadi wajah pluralitas negeri.

Dalam situasi mondial yang ditandai perang dan terorisme hingga hari ini, bagaimana kita dapat berbicara tentang keadilan sebagai prasyarat mewujudkan perdamaian? Mungkinkah keadilan menjadi bagian perdamaian yang didambakan setiap manusia dalam kehidupan bersama?

Keadilan dan rekonsiliasi

Kita pun dihadapkan pada realitas yang sama. Perang, antarbangsa maupun antarkelompok, menjadi ancaman yang setiap kali siap meledak oleh sentimen-sentimen tertentu, khususnya sentimen ketidakadilan.

Bencana melanda dan menimpa. Gempa, tsunami, banjir, tanah longsor, kecelakaan kereta api, busung lapar, muntaber, flu burung, atau hama wereng. Dan kita tetap diajak untuk percaya bahwa keadilan akan menjadi jalan menuju damai bagi segenap umat anak negeri ini.

Keadilan menjadi jalan menuju damai sebab damai merupakan buah tata tertib, yang oleh Sang Pencipta ditanamkan dalam masyarakat manusia dan harus diwujudkan secara nyata oleh mereka yang haus akan keadilan yang kian sempurna.

Keteraturan tata hidup bersama yang membawa damai bukan hasil sebuah rezim diktatorial, tetapi karya keadilan.

Namun, tetap harus disadari, keadilan manusiawi yang menjadi pokok perjuangan manusia yang senantiasa disertai kerapuhan dan ketidaksempurnaan. Ada dosa egoisme dan struktural yang dengan mudah menghancurkan keadilan yang akan dibangun. Karena itu, harus terus dibutuhkan semangat pengampunan.

Perjuangan menegakkan keadilan demi damai membutuhkan rekonsiliasi sebab ”forgiveness which heals and rebuilds troubled human relations from their foundations” (Paus Yohanes Paulus II, 2001:5).

Rekonsiliasi jugalah syarat utama terbangunnya sebuah perdamaian sejati. Tanpa rekonsiliasi, perdamaian sejati tidak akan pernah terwujud di dalam kehidupan kita yang ringkih dan rapuh ini.

Semoga finalisasi perjanjian damai antara delegasi Pemerintah Indonesia dan GAM menjadi titik cerah bukan saja bagi terwujudnya Aceh damai, tetapi juga republik yang sejahtera seluas Nusantara!

Aloys Budi Purnomo Rohaniwan, Pemred Majalah Inspirasi, Tinggal di Semarang