Beranda OPINI Editorial Logika Waktu Pendek Media

Logika Waktu Pendek Media

Revolusi teknologi informasi melahirkan logika waktu pendek. Media elektronik dan komputer memungkinkan informasi dan pertukarannya dalam waktu riil yang singkat.

Tersedianya informasi secara instan membuat orang tidak lagi menghargai penantian dan kelambanan. Logika waktu pendek menular ke media massa dan menentukan mati-hidupnya. Untuk bisa bertahan hidup, prinsip pengorganisasian kerja harus menekankan tepat waktu, ringkas, luwes, dan menguntungkan. Saat tegang harus ditekan sampai titik nol. Kehilangan momentum adalah bentuk kekalahan.

Dilema media massa

Logika waktu pendek ini menempatkan media dalam situasi dilematis. Di satu sisi, idealisme media menuntut peran sebagai sarana pendidikan agar pembaca, pemirsa, atau pendengar kian memiliki sikap kritis, kemandirian, dan kedalaman berpikir; di sisi lain, pragmatisme ekonomi memaksa media mengadopsi logika mode yang terpatri pada yang spektakuler, sensasional, superfisial, dan pesan yang beragam.

Logika mode memungkinkan diskualifikasi masa lalu dan penghargaan terhadap yang baru (S Charles, 2004:21). Baru itu indah. Pembaruan terus-menerus untuk mempertegas kekhasan supaya tetap diminati, dan berarti terjaminnya kelangsungan hidup.

Tanpa kemasan kebaruan, aktualitas yang spektakuler, dan presentasi yang ringkas, media bisa ditinggal pelanggannya. Semua ini adalah demi efektivitas, rasionalitas, dan keuntungan. Bahayanya, bisa kehilangan tujuan karena teknik ingin mengalahkan semua nilai.

Sindrom yang menyertai logika pendek ialah dorongan untuk memberi informasi singkat dan cepat saji. Maka pilihan harus jeli. Akhirnya kriteria spektakuler dan sensasional menjadi dominan. Akibatnya, media yang diandaikan memberi informasi cenderung menyamakan yang layak bernilai berita dengan yang sensasional dan politik murahan.

Media diharapkan meningkatkan mutu debat publik, tetapi justru mengubah politik menjadi tontonan. Kecenderungan ini tampak menggejala saat kampanye pilkada dengan pengerahan artis dan penyelenggaraan berbagai hiburan. Artis dan hiburan yang diberitakan, sedangkan program dan diskusi lepas dari liputan. Padahal media diharapkan berperan dalam pendidikan politik untuk mengantar ke kematangan politik pemilih.

Pentingnya citra

Di satu pihak, media berhasil menyebarkan nilai-nilai pembebasan dan kesetaraan ke seluruh tubuh sosial sehingga lebih banyak orang menyadari hak-haknya. Di lain pihak, media juga menyebarkan dan menawarkan nilai-nilai hedonis. Maka, tidak mengherankan harapan yang diletakkan pada media untuk menjadi pelopor budaya yang berkualitas jatuh dalam pemberitaan hal-hal yang remeh, gosip selebritas, kriminalitas. Bahkan berbagai bentuk iklan kian memacu konsumsi.

Buah dari media logika waktu pendek adalah cara berpikir semakin dibentuk konsumsi dan mengikuti model rayuan informasi (S Charles, 2004:58). Muncul masyarakat yang tidak lagi memaksakan norma-norma melalui disiplin, tetapi melalui pilihan dan rayuan. Ungkapan Dilarang merokok! diubah, Merokok merugikan kesehatan.

Sudah menjadi rahasia umum, keprihatinan utama media adalah keuntungan, yang perlu dihiasi dengan pernik-pernik idealisme kemanusiaan. Keuntungan hanya mungkin jika punya pengaruh. Maka, memengaruhi dan membentuk citra bergeser menjadi obsesi media. Pencitraan mendiskualifikasi kategori kebenaran sehingga tidak bisa dibedakan antara realitas, representasi, simulasi, kepalsuan, dan hiperrealitas (J Baudrillard, 1981:17).

Ketika latihan menjinakkan bom, simulasi seakan tidak bisa beda dengan realitas. Namun, ketika benar-benar terjadi peledakan, semua sudah terlambat. Politikus mengunjungi daerah bencana dan membopong anak yang terluka. Dengan sentuhan dua menit, media telah membentuk citra pemimpin yang peduli korban. Simulasi seakan nyata, sedangkan realitas berlalu begitu saja seakan hanya representasi atau simulasi.

Tiada perlawanan yang terorganisasi

Media massa tidak bisa dilepaskan dari manuver kapital. Logika waktu pendek ikut mengubah kapitalisme. Kapitalisme pasar uang menggagalkan visi jangka panjang negara demi performance jangka pendek, sirkulasi cepat kapital di tingkat global, dan transaksi ekonomi kian cepat (G Lipovetsky, 2004:88). Kemajuan teknik informasi menjamin mobilitas modal yang tinggi sehingga sewaktu-waktu pemodal bisa pindah ke perusahaan yang lebih menguntungkan (P Bourdieu, 1998).

Dalam rezim waktu seperti ini, kontrak sementara menjadi hal biasa. Maka, kegelisahan akan masa depan muncul mengganti mitos kemajuan. Waktu menjadi amat penting. Solidaritas lenyap karena logika pasar ingin menghancurkan semua bentuk struktur kolektif (dari negara hingga keluarga) yang dianggap menghambat perwujudan utopia pasar murni. Persaingan, yang merupakan logika pasar, memacu perilaku individualis. Makna kewajiban dan utang budi kepada kelompok menghilang. Masyarakat kian tidak peduli terhadap kesejahteraan bersama.

Menghadapi kapitalisme global, komersialisasi gaya hidup, dan individualisasi yang tak terkontrol itu, tak ada perlawanan terorganisasi yang didukung struktur kuat dan ideologi serius. Bahkan agama kian terpinggirkan karena arena sosial kian dikosongkan dari yang transenden. Sinisme mewarnai segala bidang dan pengorbanan menjadi ejekan di tengah persaingan keras. Memang media mempunyai peran normalisasi dan pengaruh perilaku publik, tetapi tak bisa memaksa.

Media sebetulnya punya kesempatan memengaruhi masyarakat dengan menanamkan kebebasan dan inisiatif, tetapi media justru semakin membuat audiens tergantung dan kompulsif. Karena itu, sulit bagi media untuk membentuk pikiran kritis dan penilaian yang refleksif.

Dalam bayang-bayang pragmatisme ekonomi, logika komersial membuat refleksi diabaikan demi emosi, teori ditinggal demi kegunaan praktis. Padahal, refleksi dan teori mengandaikan argumentasi. Argumentasi membuat tulisan menjadi lebih panjang. Logika waktu pendek tidak tahan terhadap tulisan yang panjang.

Haryatmoko, Dosen Pascasarjana Filsafat UI dan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta