Beranda KATEKESE Ajaran Gereja Bagaimana Pandangan Gereja Katolik terhadap Perbedaan Agama

Bagaimana Pandangan Gereja Katolik terhadap Perbedaan Agama

MEMELUK agama sesuai keyakinan menjadi hak bagi setiap individu. Kebebasan dalam beragama pun
diatur dalam Undang-Undang Dasar No. 28 Pasal 1 yang berbunyi “Setiap orang bebas memeluk agama
dan beribadat menurut agamanya”. Menganut suatu agama bukan saja menjalankan perintah yang
diberikan dalam agama, melainkan menjaga hubungan dari manusia dengan Allah sendiri. Bagaimana persisnya pandangan Gereja Katolik lebih dalam tentang ini?
Dokumen Konsili Vatikan II DH (Dignitatis Humanae/Martabat Pribadi Manusia) mengenai pernyataan
tentang kebebasan beragama artikel no. 3 memaparkan, bahwa kebenaran akan keagamaan harus dicari sesuai
kodrat dan martabat manusia, yaitu melalui penyelidikan bebas, melalui pendidikan, komunikasi, serta
dialog. Misalnya, ketika kita mendapat pesan di media sosial mengenai perpecahan karena perbedaan, daripada segera membagikannya, kita mencari tahu kebenaran dari dua sisi (pendidikan), dan atau bertanya (komunikasi), juga berdialog supaya tidak terjadi kesalahpahaman dan menjadi korban adu domba.
Selain itu manusia juga bisa menangkap ketentuan hukum keagamaan melalui suara hatinya.
Masih dalam Dokumen Konsili Vatikan II DH art. no. 3 menjelaskan bahwa:
Allah mengikutsertakan manusia dalam hukum-Nya agar manusia dan berkat penyelenggaraan
Ilahi secara halus dapat mengatur segalanya. Manusia menangkap dan mengakui ketentuan-
ketentuan hukum Ilahi melalui suara hatinya. Manusia pun wajib mematuhi suara hatinya
dengan setia di seluruh kegiatannya untuk mencapai tujuan yakni Allah.

Dalam kaitan dengan peran negara dalam menjamin kebebasan beragama, para bapa konsili mengharapkan peran negara untuk melindungi dan  mengembangkan hak-hak manusia yang tidak dfapat diganggu gugat. Lebih lanjut uraian tentang peran kuasa sipil ini dapat kita baca dalam DH art. no. 6:

“Pada hakekatnya termasuk tugas setiap kuasa sipil: melindungi dan mengembangkan hak-hak manusia yang tak dapat diganggu-gugat. Maka kuasa sipil wajib, melalui hukum-hukum yang adil serta upaya-upaya lainnya yang sesuai, secara warganegara, dan menciptakan kondisi-kondisi yang menguntungkan untuk mengembangkan hidup keagamaan. Dengan demikian para warganegara dapat sungguh-sungguh mengamalkan hak-hak serta menunaikan tugas-tugas keagamaan, dan masyarakat sendiri akan menikmati baiknya keadilan dan damai, yang muncul dari kesetiaan manusia terhadap Allah dan terhadap kehendak-Nya yang suci”.

Masih dalam dokumen yang sama, yang disebutkan dalam art. no. 7  mengenai batas-batas kebebasan beragama, disebutkan juga bahwa

“Dalam memakai hak-haknya setiap orang maupun kelompok sosial diwajibkan oleh hukum moral untuk memperhitungkan hak-hak orang lain, dan wajib-wajibnya sendiri terhadap orang lain, maupun kesejahteraan umum semua orang. Semua orang harus diperlakukan menurut keadilan dan perikemanusiaan”.

Sederhananya, daripada memperdebatkan golongan siapa yang paling benar, Gereja mengajak kita untuk mendengar nurani masing-masing dan menjalankan semua yang seturut dengan keinginan Allah. Maka dari itu hendaklah manusia melakukan apa yang sudah ditentukan oleh Allah, agar hubungan yang
telah terjalin menjadi lebih harmonis. Jangan sampai manusia menyalahkan hubungan dengan Allah
menjadi renggang karena hidup manusia yang kurang baik.
Apakah kita belajar tentang fakta perbedaan yang ada?
Apakah kita sudah berdialog dengan sesama mengenai perbedaan?
Apakah kita berani bertanya dengan semangat positif dan menjawab dengan kasih tentang perbedaan?
gambar: tangga.id
penulis: Anastasia Ria Utami
penyunting: Kevin Sanly Putera