Home BERITA Bercerita Tentang Kegembiraan Dan Senyum Pengharapan

Bercerita Tentang Kegembiraan Dan Senyum Pengharapan

Bacaan, bait allah, bapa suci, Doa Rosario Laudato Si, Firman Tuhan, Hari Komunikasi Sedunia, iman, Injil Katolik, Kitab Suci, Komsos KWI, Konferensi Waligereja Indonesia, KWI, Mei, Bulan Rosario, opini, Paus Fransiskus, Pekan Komunikasi Nasional, pekan suci, penyejuk iman, pesan paus, rosario, sabda Tuhan, Yesus Juruselamat, refleksi, refleksi pesan paus fransiskus, Hari Komunikasi Sosial Sedunia, Hari Komunikasi Sosial Nasional

Dalam suasana mencekam akibat Covid-19, saya menemukan video di akun youtube seorang romo dengan dua OMK nya yang menceritakan kegiatan mereka membagi-bagikan nasi bungkus kepada para tukang becak dan orang miskin di sepanjang jalan. Dia memberi judul kegiatannya RAGI (Rabu Berbagi). Setiap hari rabu, dia mengumpulkan nasi bungkus dari umatnya dimana setiap keluarga membuat tiga nasi bungkus, kemudian membagikannya kepada para miskin. Dalam video nampak romo tsb beserta OMK nya dengan penuh senyum ramah membagikan nasi bungkus tsb. Cerita yang dibangun adalah kegembiraan berbagi akan mengalahkan rasa takut akan Covid-19. Mungkin orang lain menangkap bahwa daripada meratapi Covid-19, lebih baik semampunya berbagi rezeki yang diberikan Tuhan.

Manusia pada dasarnya adalah pencerita. Suatu ketika di tahun 2010 saya membuat video tentang cerita rakyat masyarakat Kamoro di pantai Mimika, Papua. Masyarakat ini adalah pemahat yang handal sebagaimana orang-orang Asmat di Agats. Ketika menginap beberapa hari di daerah asal (alm) Mgr John Philip Saklil, Kaokonao, saya beruntung ada suatu upacara mengenang orang yang meninggal, yang disebut upacara Tifa Duduk. Dalam upacara itu mereka mengenangkan/ menceritakan kehebatan dan jasa-jasa orang yang sudah meninggal dalam suatu tarian dan permainan tifa yang dipukul dengan ritmis sambil duduk. Upacara ini berlangsung sampai pagi dimana banyak mama-mama menari tanpa henti. Mereka mencoba membagikan teladan dari orang yang meninggal dengan menceritakan lewat musik, gerak, dan tari.

Saya teringat bagaimana asal usul pertunjukan panggung teater. Ketika seorang pemimpin atau orang yang berpengaruh di kalangan masyarakat kuno ada yang meninggal, maka seluruh warganya mengenangnya dengan memperagakan kehebatan dan jasa pemimpinnya tsb dengan gerakan-gerakan menari, berperang, menangkap hewan buruan, dll. Hal ini ditemukan dalam lukisan-lukisan kuno di dinding-dinding goa purba yang ditemukan. Dalam perkembangannya, di sela-sela kesibukan masyarakat tsb, mereka juga menari-nari menirukan gerakan orang berburu atau hewan yang diburu untuk menceritakan bagaimana diantara mereka (biasanya orang-orang hebat di komunitas tsb) mendapatkan hewan yang sedang dipanggang dan dinantikan untuk disantap. Itulah awal dari storytelling, usaha menceritakan suatu peristiwa atau seorang tokoh dengan diperagakan. Tentu maksud dari bercerita ini adalah menyampaikan teladan kebaikan dari suatu peristiwa atau tokoh yang bersangkutan sehingga para generasi penerus bisa meneladaninya. Kata imitatio (yang juga kita kenal dari Plato, seorang filsuf awal) diharapkan bukan hanya menirukan gerakan-gerakan fisik belaka, namun mengendapkan dan menjadikan keteladanan itu sebagai miliknya untuk dipraktekkan. Dari sinilah muncul istilah bahwa seni pertunjukan adalah tontonan dan tuntunan.

Tema Pekan Komunikasi Sosial Sedunia ke-54 kali ini adalah  SUPAYA ENGKAU DAPAT MENCERITAKAN KEPADA ANAK CUCUMU (Kel 10:2). Paus mengajak kita sebagaimana Tuhan yang mengajak bangsa Israel bercerita kepada anak cucu mereka tentang belas kasih dan kebesaran Tuhan yang telah membimbing mereka keluar dari perbudakan dengan perantaraan Musa. Peristiwa Paskah bangsa Yahudi dengan makan sayur pahit dan domba Paskah menjadi ritual sakral untuk menceritakan kembali penyelamatan Tuhan tsb kepada anak cucu mereka. 

Manusia bersama Tuhan adalah pembentuk peradaban. Kemajuan teknologi yang dihasilkan oleh akal budi manusia tidak menghapus karakter dasar manusia sebagai tukang cerita. Perbedaannya adalah CARA menyampaikan cerita tsb. Ketika budaya oral dalam Peradaban Lisan masih mendominasi, manusia masih menyampaikan ceritanya dari mulut ke mulut dan dengan suatu pertunjukan baik dalam kesempatan selebrasi komunitas maupun dalam kesempatan-kesempatan khusus seperti pemakaman atau perkawinan seorang tokoh komunitas. Pada era ini banyak bermunculan tukang cerita yang dikuatkan dengan alat peraga dan gerakan-gerakan yang memvisualkan cerita yang disampaikan. Maka di era ini berkembang strotytelling dan pertunjukan-pertunjukan panggung, baik tradisional maupun modern. Ketika manusia menemukan mesin cetak yang bisa menggandakan cerita secara tertulis, maka muncul Peradaban Tulisan. Manusia mulai menyampaikan cerita-cerita mereka dalam bentuk tulisan atau buku. Dalam peradaban ini bahan-bahan cerita disampaikan dengan dicetak dan digandakan sehingga penyebaran cerita semakin luas dan terekam. Maka orang memakai tulisan untuk berargumen dan berpolemik dan ceritanya akan selalu dikenang walaupun orang yang bersangkutan sudah meninggal. Peradaban ini semakin berkembang dengan budaya Audio Visual. Dalam peradaban ini orang menyampaikan cerita dengan suara dan gambar seperti dalam televisi. Orang tidak hanya menyampaikan cerita-ceritanya lewat tulisan, namun bisa seolah-olah menghadirkan pribadi pencerita dengan rekaman gambar dan suara walaupun terdapat jarak yang jauh. Cerita menjadi semakin hidup karena memuaskan  indera pendengaran, penglihatan, dan mempengaruhi perasaan/hati penikmat cerita.

Dalam peradaban media sosial dunia maya yang berbasis Internet dan yang merupakan perkembangan peradaban Audio Visual ini, kebutuhan manusia untuk bercerita semakin terpuaskan. Orang yang susah bergaul (asosial) dan tidak punya komunitaspun berani menyampaikan cerita-ceritanya secara masif, cepat, dan persuasif melewati internet dunia maya. Batasan-batasan waktu, geografi, cuaca, sosial ekonomi, dll tidak ada lagi. Orang bisa menemukan berita yang sama dalam waktu yang sama dimanapun. Orang bisa mencari teman dari benua lain untuk saling bercerita meskipun tidak saling kenal sebelumnya.

Cerita Adam, Hawa, dan Ular itu menjadi “cerita kusam” yang menunjukkan kejatuhan manusia karena keserakahan dan nafsu mengeksploitasi sesamanya. Ular mengeksplotasi Hawa dan juga Adam agar mengikuti keserakahan memakan apel yang menjadi larangan Tuhan. Ketika cerita-cerita bohong dan manipulatif menjadi sarana untuk mendapatkan keuntungan sendiri; ketika cerita pertentangan dan konflik yang manipulatif digunakan untuk menaikkan posisi diri tak peduli dengan mengorbankan sesama; ketika berita bohong (hoax) dan eksploitatif bisa menjadi pijakan untuk memuaskan diri; di situlah tenunan cerita dari benang kusut yang jahat membentuk karakter diri kita. Dan kalau cerita-cerita itu yang membanjiri dan terserap dalam diri masyarakat, maka orang tanpa sadar memancarkan “cerita kusam” itu kepada orang di sekitar kita. Maka budaya hoax dan kebohongan menjadi mengakar.

Di sisi lain Paus juga menyebutkan bahwa sumber CERITA besar manusia adalah KITAB SUCI. Bagi para pencerita, kisah-kisah Perjanjian Lama yang bersifat naratif sangat inspiratif kalau diceritakan kembali atau dipentaskan dalam pertunjukan. Kisah kepahlawanan Daud atau Simson, kisah kemurnian Ester atau Ruth, Kisah Daud dan Betsyeba, kisah Kebun Anggur Nabot, kisah bangsa Israel yang dibimbing Tuhan lewat Musa untuk keluar dari penjajahan Mesir, dll. Sejak awal para penceritalah yang berjasa mempertahankan cerita-cerita tsb secara turun temurun hingga masih kita dapatkan sampai saat ini. Tema dasar kisah ini adalah menceritakan kemurahan Tuhan atas bangsa Israel.

Dalam Perjanjian Baru, Yesus digambarkan sebagai seorang pencerita ulung. Pengajarannya selalu disampaikan dengan bercerita sekaligus menunjukkan alat peraga disekitarnya. Sebagai pengajar bagi komunitas rural yang akrab dengan pertanian, peternakan, dan perikanan, Yesus selalu menggunakan simbol domba, benih, tumbuhan, buah, jala, dalam pengajaranNya; simbol-simbol yang akrab dengan dunia pendengarnya. Hidup Yesus menjadi Cerita Besar yang mengisahkan pribadi Allah. Setiap desahan nafas dan langkahNya mengungkapkan daya kasih dan kerahiman Allah. Kalau sungguh merenungkan kisah Yesus, kita akan langsung melakukan identifikasi terhadap para tokohnya; saya sudah seperti Yesus atau justru seperti orang Pharisi? Seperti Petrus atau Yudas, atau Thomas? Saya seperti orang banyak yang sakit lumpuh, tuli, atau bisu; atau orang degil yang selalu tidak suka akan kesuksesan Yesus membuat mukjizat penyembuhan?

Dalam pesannya di Hari Komsos Sedunia ke-54 ini Paus Fransiskus mengharapkan bahwa kita bisa memilah dan memilih “cerita-cerita” yang formatif dari para tokoh/ peristiwa/ berita yang membanjiri hidup kita (sampai kita susah membedakan mana berita hoax mana yang benar) untuk membentuk tenunan diri kita sehingga kita juga bisa membagikan “cerita formatif” hidup kita kepada anak cucu. Untuk itu kita perlu memilah “benang-benang emas” dari “benang kusam” agar “tenunan cerita” hidup kita indah dipandang dan dirasakan. Setiap kali ditatapkan pada suatu cerita, hati kita selalu mencari disposisi tokoh mana yang akan menjadi panutan kita; tokoh mana yang cocok dengan kita dan akan kita ikuti. Inilah proses pengkubuan (memilah) atau imitation (memilih). Kita diharapkan memilih tokoh protagonist (baik, jujur, rendah hati, murah hati) atau antagonis (jahat, sombong, licik, curang) yang kita impikan. Dengan demikian, seperti romo yang menceritakan kegiatannya tentang Rabu Berbagi,  kita juga bisa bercerita pada anak cucu kita tentang kebaikan, pengampunan, dan kasih Tuhan, sehingga lewat diri kita (lewat status-status dan sharing kita di akun FB, IG, flock, youtube kita) orang-orang dan anak cucu kita bisa menangkap nilai solidaritas, kasih, kesabaran, pemaafan, dan berbela rasa.

Selamat merayakan Hari Komunikasi Sosial Sedunia.

RD C. Teguh Budiarto, Komsos Keusk. Purwokerto

 

 

Inspirasimu: Pesan Paus Untuk Hari Komunikasi Sedunia ke-54