Beranda OPINI Editorial Cendekia, Politisi, dan Krisis Solidaritas

Cendekia, Politisi, dan Krisis Solidaritas

Masalah bahan bakar minyak, kata Menteri Komunikasi dan Informatika Sofyan A Djalil, bukan masalah pemerintahan Yudhoyono-Kalla, tetapi masalah bangsa (Kompas, 12/10/2005).

Ia mengkritik keras wacana Effendi Gazali lewat tulisannya Bersama Kita Bisa (Menderita) sebagai sebuah insinuasi atas kebijakan pemerintah yang seakan- akan menzalimi rakyatnya. Karena itu, mengutip Menkominfo, we have to choose the lesser of two evils. Dan, ia mengharapkan agar ilmuwan bersikap fair dan broad minded.

Benar, para politisi dan cendekia semestinya bersatu dan bahu- membahu dalam mengatasi masalah bangsa. Namun, mengatakan bahwa masalah BBM bukan masalah pemerintah Yudhoyono- Kalla, bahkan menunjuk suatu entitas absurd yang disebut dengan masalah bangsa, bisa dituduh sebagai eskapisme politis.

Masalah bangsa menjadi makin parah saat para politisi ternyata juga merupakan bagian kelompok elite yang disebut cendekia. Intelektualisme politisi merupakan ancaman besar bagi sebuah masyarakat yang menghargai nilai-nilai demokrasi. Terlebih jika pragmatisme politik-ekonomi menjadi satu-satunya acuan dalam pengambilan keputusan yang menyangkut hajat hidup orang banyak.

Pendidikan kontemporer, menurut Jacques Maritain (1882- 1973), karena bersifat parsial dan mendewakan spesialisasi, memiliki kelemahan dalam membangun fondasi kokoh sebuah masyarakat demokrasi. Dalam bukunya, Pendidikan Berada di Simpang Jalan (1943), ia menengarai kesalahan-kesalahan dalam pendidikan kontemporer yang mengakibatkan hilangnya rasa integralitas seorang pribadi. Dua di antaranya adalah pragmatisme dan intelektualisme.

 Pragmatisme intelektual

Kritik Maritain atas pragmatisme intelektual tidak mengacu perilaku partisipatif atas kehidupan sosial, sebuah aspek yang oleh para filsuf dianggap hal-hal yang fundamental dan positif bagi hidup sosial setiap manusia, tetapi menukik pada prinsip yang mendasarinya, yaitu kegiatan berpikir terjadi karena ada masalah yang muncul dalam kehidupan praktis yang harus dihadapi dan segera dipecahkan.

Adalah sebuah penghinaan mendefinisikan pemikiran manusia sebagai sebuah organ untuk menjawab berbagai macam rangsangan atas situasi lingkungan nyata. Terminologi seperti ini hanya tepat untuk menggambarkan pengetahuan dan reaksi binatang, sehingga berpikir secara persis dengan definisi seperti ini mengukuhkan cara berpikir khas untuk binatang tanpa rasio, tulis Maritain.

Manusia menggunakan daya nalarnya bukan sebagai jawaban atas rangsangan dari luar, tetapi tertuju pada suatu nilai, kebenaran. Kebenaran inilah yang perlu diverifikasi, baik secara rasional maupun lewat pengalaman, bukan hanya melalui kegunaan praktis. Hidup sendiri memiliki tujuan yang membuat hidup itu kian layak dihayati. Pragmatisme mengaburkan kebenaran yang mesti menjadi acuan tiap ilmuwan. Pragmatisme intelektual kian efektif menggoyahkan sendi-sendi demokrasi ketika dibarengi intelektualisme politisi.

 Intelektualisme politisi

Intelektualisme, lanjut Maritain, merupakan konsekuensi logis pola pikir yang mendewakan fungsi praktis dan sosial pengetahuan manusia. Kegiatan intelektual manusia tidak dilihat sebagai sebuah penziarahan luas untuk mencari kebenaran, tetapi diredusir pada pengetahuan yang kian lama kian khusus dan terspesialisasi. Intelektualisme modern termanifestasi dalam pemahaman bahwa kesempurnaan pendidikan tercapai ketika anak didik memiliki spesialisasi akademis dan kemampuan teknis.

Kelemahan dasar model berpikir spesialisasi ini adalah mencetak manusia sempurna yang kenal betul akan tugas-tugas khususnya, namun tidak memiliki kemampuan dan kepekaan dalam menilai sesuatu yang berada di luar bidang spesialisasinya.

Kultus spesialisasi memiskinkan manusia dan melukai martabatnya, kritik Maritain.

Dalam kerangka politik, pemiskinan manusia ini merupakan hal yang fatal bagi pembentukan masyarakat sosial yang demokratis. Masyarakat yang demokratis membutuhkan cendekia yang terbuka, luas horizonnya, bukan sebuah jiwa yang tertutup pada spesialisasinya saja.

Dihitung secara matematis dan ekonomis, menaikkan harga BBM memang sebuah keputusan yang secara rasional paling menguntungkan dan praktis. Menghapus subsidi BBM dan menaikkan harga BBM akan menjaga keberlangsungan APBN yang sehat dan menjamin nilai rupiah, mengurangi penyelundupan dan pengoplosan BBM, dan sebagainya.

Dana kompensasi BBM bagi orang miskin mungkin diperlukan. Namun, untuk apa keberlangsungan APBN jika uang negara dengan mudah dijarah sehingga proyek padat karya dan perbaikan infrastruktur yang dianggarkan tetap menjadi ladang empuk korupsi? Untuk apa dana kompensasi jika hanya menjadi kesempatan bagi mereka yang berkuasa memanipulasi data dan menjarah kembali uang negara?

Yang dibutuhkan rakyat adalah keadilan, di mana para penyelundup BBM yang merugikan negara dihukum; transparansi keuangan, di mana para manipulator dana kompensasi diproses di pengadilan. Yang diminta dari rakyat adalah jaminan sosial secara terstruktur dan legal bagi mereka yang kurang beruntung (bukan aksidental dengan memberi kartu keluarga miskin).

Kebijakan kenaikan harga BBM mengindikasikan aristokrasi ekonomi di Indonesia telah sampai pada tahap yang membahayakan sendi-sendi demokrasi dan keadilan sosial.

Intelektualisme politisi seperti ini membawa kehidupan politik di ambang kehancuran sebab kehidupan politik yang semestinya menjadi kinerja bersama seluruh warga, di mana masyarakat sipil mengemban peran sebagai pengawan kebijakan publik, akhirnya hanya dipegang sekelompok kecil politisi spesialis. Kelompok kecil teknokrat politik-ekonomi yang menentukan hidup mati semua orang.

Krisis solidaritas

Pragmatisme intelektual ditambah dengan fenomena intelektualisme politisi akan menghasilkan krisis solidaritas. Krisis solidaritas menggerogoti tatanan kehidupan sosial masyarakat.

Krisis solidaritas terjadi karena warga kian menyadari, para politisi alih-alih memiliki sense of crisis, malah jatuh pada eskapisme politis.

Kompleksitas masalah BBM yang dipicu kebijakan politik ekonomi pemerintah digeneralisir sebagai masalah bangsa, bukan karena kekeliruan analisis pemerintah dalam mengatur negara. Eskapisme politis menyepelekan efektivitas struktur kekuasaan politik dalam menentukan kebijakan publiknya.

Cuci tangan atas keputusan politik yang diambil bukan perilaku terpuji seorang demokrat. Para politisi (baca, pemerintah, pembuat hukum, dan pegawai pengadilan) dalam sebuah masyarakat demokratis bekerja pertama-tama untuk melayani melayani republik (baca=hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum, termasuk BBM). Sebab, dari kodrat kekuasaan yang dimilikinya, tiap keputusan politik yang mereka ambil akan memiliki dampak nyata bagi setiap warga negara.

Masalah BBM mungkin merupakan masalah bangsa. Namun, keputusan menaikkan harga BBM yang berimbas pada meroketnya harga-harga dan sebagainya tetap menjadi tanggungjawab politik pemerintahan Yudhoyono-Kalla.

Masyarakat akan tetap berpikir, kebijakan pemerintah telah menzalimi dan melukai martabat warganya jika dengan keputusan politiknya pemerintahan Yudhoyono-Kalla tidak dapat mempertanggungjawabkan transparansi keuangan dan kelancaran penyaluran dana kompensasi bagi rakyat miskin, menjamin stabilitas kehidupan sosial ekonomi di dalam masyarakat, serta perbaikan berbagai macam infrastruktur yang dijanjikan setelah mengambil keputusan politiknya, yang menurut Sofyan A Djalil, we have to choose the lesser of two evils.

Mungkin sekaranglah saat yang tepat mengatakan pada pemerintah, sebagai warga kita juga berhak mengatakan, we have to choose the lesser of two evils.

Apakah pemerintah mau lari dari tanggung jawab politik, atau rakyat harus terus mendendangkan tembang duka dengan judul Bersama Kita Bisa (Menderita)?

Doni Koesoema A — Mahasiswa Jurusan Pedagogi Sekolah dan Pengembangan Profesional pada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Kepausan Salesian, Roma

Kompas — Selasa, 1 November 2005