Beranda OPINI Editorial Nurcholish Madjid Sudah Pergi

Nurcholish Madjid Sudah Pergi

Sejak tahun lalu, Nurcholish Madjid yang akrab disapa Cak Nur menjalani operasi cangkok hati di China. Dengan berbagai komplikasi, namanya sesekali masuk koran. Senin (29/8), Cak Nur meninggal dunia.

Dua pekan lalu, Cak Nur mensponsori acara peringatan 60 tahun proklamasi di Perpustakaan Nasional dengan tujuan untuk menegaskan kembali komitmen kita terhadap pluralisme. Tetapi, Cak Nur ternyata tidak bisa datang, malah masuk ke rumah sakit lagi. Dan, sekarang, ia benar-benar pergi.

Kita menyadari bahwa seorang tokoh dan patok moralitas serta integritas bangsa tidak lagi berada di antara kita.

Dalam karier panjang sebagai sosok publik, Cak Nur beberapa kali menjadi obyek caci maki, selalu karena keislamannya. Terakhir kali, sekitar 13 tahun lalu. Tetapi, sejak itu Cak Nur—yang tak pernah menjadi seorang ”oposan”, tak pernah suka membuat ”kejutan”, selalu seimbang dan tetap sederhana, rendah hati, dan ”biasa-biasa”—kian menjadi tokoh nasional dalam arti amat tinggi, sebagai ”guru bangsa”. Para lawannya pun tidak lagi berminat menyerangnya.

Tahun 1991, Cak Nur menjadi salah seorang pendiri ICMI, berbalik dengan sikap kawan searahnya, Gus Dur. Tetapi, dalam ICMI ia tetap setia pada dirinya sendiri, tak pernah kehilangan kepribadian, tak pernah asal ikut arus, dan tak pernah tidak jelas dalam wawasan nasionalnya yang inklusif. Yang kian kental adalah Cak Nur berhasil menjaga integritasnya. Ia tak pernah korup.

Suatu saat penting, di mana hanya Cak Nur orangnya, tiba. Pada tanggal 20 Mei 1998, ia mengatakan kepada Presiden Soeharto, sudah waktunya turun takhta.

Tahun-tahun berikut yang penuh kekacauan—saat bangsa Indonesia mencari demokrasi—Cak Nur berulang kali menunjukkan arah. Aneka pernyataannya dalam bidang politik selalu masuk akal dan positif. Dengan tenang dan konsisten ia mendukung proses demokratisasi sambil memperingatkan, perkembangan sebuah budaya demokratis bangsa akan memerlukan waktu lama, sampai 20 tahun.

Pada tahun kacau balau itu, sesekali ada orang bertanya kepada saya apakah seorang Nurcholish Madjid bisa acceptable sebagai presiden bagi bangsa yang sebagian bukan Islam. Saya tidak pernah ragu dalam menjawab secara afirmatif.

Namun, tahun 2003, saat Cak Nur hendak maju sebagai calon presiden, saya ragu. Benarkah ia orang yang tepat untuk medan pertempuran yang jauh dari intelektual itu. Ia begitu polos dan tanpa nafsu kuasa pribadi. Sampai saya pernah mengingatkan Cak Nur, jika bicaranya ingin mengesan pada massa, ia harus memerhatikan letak mikrofon (Gaya Cak Nur bicara, suka ke mana-mana, tanpa memerhatikan apakah suaranya masuk mikrofon). Ia menghentikan usahanya saat menyadari betapa mutlak peran ”rezeki” yang memang tidak dimilikinya.

Terbuka

Kami berkenalan pada tahun 1971, pada salah satu acara PMKRI. Tahun 1973, saya meminta Cak Nur mengajar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara. Sejak itu kami sering bertemu.

Saya amat terkesan dengan keterbukaannya. Dalam diri Cak Nur, saya menemukan seorang Muslim yang terbuka, pluralis, inklusif, dan demokratis. Kemantapan dalam iman Islaminya sedemikian meyakinkan sehingga tidak merasa perlu muncul secara dominan.

Bagi saya, Cak Nur membuka perspektif baru tentang orang Muslim tulen, seperti kemudian Gus Dur, dan sementara ini, banyak kawan Muslim lain.

Menurut saya, ada dua sumbangan penting Cak Nur bagi intelektualitas bangsa Indonesia. keduanya menyangkut pengertian tentang Islam.

Pertama, kesadaran bahwa di zaman pascatradisional, suatu agama, termasuk Islam, tidak bisa lagi menjadi ”aparat” kekuasaan negara. Istilah ”sekularisasi”—yang oleh beberapa orang disalahpahami—dipakai untuk menunjukkan, justru Islamlah yang menegaskan, barang dunia ya duniawi dan bukan sakral, dan negara modern maha-pengancam.

Sebagai civil society, peran agama adalah sebagai pembawa nilai-nilai, sebagai suara profetis yang menagih kemanusiaan, kejujuran, keadilan, solidaritas, yang tidak membiarkan pragmatisme politik melindas harkat moralitas.

Yang kedua, inklusivisme keselamatan. Dengan berani, Cak Nur membuka kepicikan agama-agama. Menurut Cak Nur orang yang akan selamat (masuk surga) memang orang Islam, tetapi ”orang Islam” tidak terbatas pada keanggotaan formal dalam agama Islam. Setiap orang yang menyerahkan hatinya kepada rahasia Ilahi, sesuai keyakinan agamanya, tidak akan ditolak Allah.

Karena itu, Cak Nur pernah dicaci maki sebagai terkena kristenisasi dan bersemangat Yahudi. Suatu salah paham yang amat menyakitkan Cak Nur. Tak dapat diragukan, Cak Nur adalah Muslim sampai tulang sumsum. Justru sebagai orang yang belajar dari Al Quran ia menyadari keluasan belas kasihan Allah. Cak Nur tidak pernah meragukan bahwa Islamlah agama benar yang diwahyukan Allah.

Dari Islam Cak Nur belajar bahwa kehendak belas kasihan ilahi terarah kepada semua orang. Dengan demikian, Cak Nur membuka wawasan keagamaan yang di satu pihak menolak segala relativisme, di lain pihak dalam melihat saudara, mereka yang secara formal ada pada agama lain.

Cak Nur amat yakin tanda keaslian suatu agama adalah bahwa agama itu membela manusia. Ia yakin agama Islam adalah agama manusia. Dengan berani ia pernah menyatakan: ”Islam adalah agama kemanusiaan terbuka … maka umat Islam harus kembali percaya sepenuhnya pada kemanusiaan”. Berani karena ”percaya pada kemanusiaan” bukan cara bicara lazim di kalangan agama. Dengan bicara begitu, Cak Nur menegaskan bahwa iman kepada Allah yang tidak disertai sikap positif terhadap manusia belum merupakan iman dalam arti sebenarnya.

Meluas

Kini Cak Nur sudah tiada. Namun, warisan intelektual-spiritualnya ada pada kita dan akan terus meluas. Sejak 20 tahun, melalui pelbagai usaha pendidikan informal dan formal, di bawah nama ”Paramadina”, keterbukaan dan inklusivitas wawasan Nurcholish Madjid terus meluas. Cak Nur sudah melahirkan generasi baru yang lebih muda dan terbuka, humanis, pluralis serta demokratis dalam keyakinan yang tetap Islami. Karena itu, tugas panggilannya dalam bangsa Indonesia sudah mendapat dasar kokoh untuk terus meluas. Karena itu, Cak Nur bisa pergi, atau, lebih tepat, dipanggil Allah yang selalu dicarinya. Kita dengan rendah hati berdoa agar ia dapat menikmati perdamaian dan kasih sayang Sang Khaliknya.

FRANZ MAGNIS-SUSENO Rohaniwan; Guru Besar Filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta