Home OPINI Editorial Dan Damai di Bumi

Dan Damai di Bumi

Dalam menghadapi dan merasakan keberisikan bahkan kekalutan, kadang orang ingin mengenang kembali hal-hal yang indah dan menghibur. Juga saat mengikuti 60 tahun usia Republik ini.

Pada tahun 1950-an, secara kebetulan saya bertemu seorang ibu setengah baya, anggota DPR dari Partai Masyumi. Ibu itu lugu bercerita, tiap Natal ia menyempatkan melihat goa di berbagai gereja.

Ucapnya, “Meski Muslimah, saya selalu terharu menyaksikan bayi yang lahir di goa.” Saya terkesima atas ucapan spontan itu dan menaruh hormat serta kagum atas apa yang disajikan tanpa terhalang apa pun. Peristiwa di awal kemerdekaan itu sungguh berkesan, ketika semua orang sungguh masih bersih, belum terpikir untuk membicarakan undang-undang kerukunan agama.

Peristiwa lain terjadi tahun 1998 di rumah Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dalam pertemuan dengan Nurcholish Madjid (Cak Nur). Saat itu diadakan doa untuk keselamatan bangsa oleh sembilan orang (selain dari kelima agama yang “diakui negara” ada empat lagi antara lain Kristen Siria yang menggunakan bahasa Arab, juga dari agama Djawa Sunda, Kuningan).

Saat itu Cak Nur didaulat banyak orang untuk berbicara. Di tengah suasana masyarakat yang mungkin tidak terlalu kondusif, disebutkan betapa Islam itu bila makin dekat dengan sumbernya, makin bersih, makin resik. Diberikan contoh, di dekat sumbernya, tidak ada kata mengharamkan ucapan selamat Natal. Itu dianggap biasa saja. Di negeri ini, lanjut Cak Nur, begitu mudah sesuatu difatwakan haram.

Itulah kata-kata yang menyejukkan, yang kini muncul kembali di benak, justru di tengah suasana yang amat tidak menyejukkan bahkan serba menyesakkan ini. Bukankah yang terdengar sehari-harinya kini adalah teror dalam segala bentuk, selain ancaman bom yang sudah menjadi begitu biasa, yang sempat mencekam banyak orang dalam menghadapi hari-hari besar keagamaan.

*Hilangnya keluhuran bangsa*

Suasana dan sikap bangsa yang luhur sepertinya sudah hilang ditelan “bumi”, menyisakan berbagai masalah seputar egoisme yang merambah ke mana-mana, menerjang segala yang luhur. Warisan bangsa yang tak ternilai kini tinggal kenangan.

Impian ketika negeri ini lahir menyertai seluruh rakyat, khususnya para pejuang dari golongan apa saja. Bukankah ketika negara ini lahir, harapannya amat tinggi?

Namun, segala harapan itu praktis tiada dampaknya, kecuali dampak negatif. Pernah beredar ungkapan yang dengan enteng diucapkan, negara ini adalah negara agamis, tetapi kenyataannya korupsi di negeri menempati tempat teratas.

Segala persoalan yang melilit bangsa kita rupanya dan seolah kini tidak mempan lagi diatasi dengan agama. Meski demikian, kerap terdengar solusi atas segala masalah di negeri ini adalah agama. Benar-benar amat ironis.

Akibatnya, kita hanya akan merasa pilu, lalu hanya bisa meratapi nasib negara dan bangsa.

*Ada benih harapan*

Bila kita hanya berfokus dan bertumpu pada segala hal yang negatif dan destruktif, hanya akan melahirkan keputusasaan. Sebaliknya, bila kita masih sanggup membuka mata lebar-lebar, di sana-sini selalu timbul berbagai macam inisiatif, terutama dari generasi muda-juga terjadi di semua bagian dunia termasuk ketika diselenggarakan Weltjugendtag di Koln, Jerman-munculnya kebangunan iman. Mereka secara kreatif mengangkat berbagai persoalan dengan upaya mempersatukan bangsa dan dunia. Untuk itulah, kita patut berbangga dengan anak-anak muda yang memiliki pikiran dan harapan luhur.

Kita juga percaya, setiap kelahiran mengisyaratkan adanya harapan, sesuatu yang baru yang menepis segala hal yang tidak benar, melewati segala yang mampu kita pikirkan.

Sebelum menuliskan artikel ini, saya didatangi wartawan yang ingin mendapat bahan untuk tulisan sekitar Natal. Yang muncul tentu yang mencolok dan beredar di masyarakat.

Natal sering hanya ditangkap sekadar peringatan, ritual, dengan segala macam simbol, lambang yang bisa dibeli di pasar. Adapun hal-hal yang menukik lebih dalam, meresap ke dalam hati, sering kali kurang disadari.

Apalagi kalau mau membuat aksi dalam situasi serba mencekik seperti sekarang. Tidak sempat terpikir, ongkos untuk ritual bisa digunakan untuk membantu masyarakat yang kelaparan.

Memang, imbauan yang muncul di masa Natal untuk ingat terhadap sesama yang menderita sudah terkesan klasik.

Namun, kiranya menjadi lebih penting merenungkan, mengapa mental bangsa kita sekarang terasa amat merosot. Bagaimana mengangkatnya kembali? Persis seperti yang pernah dikemukakan Ibu Megawati saat menjadi presiden, “Mengapa bangsaku menjadi sedemikian kejam dan tega terhadap sesamanya?”

Dalam hal ini, kita boleh kembali kepada “yang di atas”. Sumber segala kekacauan adalah egoisme yang kuat bertakhta di hati banyak anak bangsa. Kita tidak perlu menyalahkan siapa-siapa. Tetapi, bila egoisme dibiarkan berkembang, cepat atau lambat, kita akan segera menghadapi kehancuran.

Kita semua prihatin, mendengar dan menyaksikan apa yang terjadi di sekitar kita setiap hari. Banyak orang tidak lagi peduli sesamanya karena semua hanya memikirkan keselamatan diri sendiri.

Sebuah peristiwa “kecil” baru saja saya dengar dari seorang kenalan di Yogyakarta. Dengan susah payah ia menabung agar bisa membesarkan usahanya. Harapan itu lenyap karena ditipu teman karibnya yang semula amat dipercaya. Sang teman yang sudah “merampok” harga itu pun tanpa tanggung jawab membiarkan temannya merana.

Inilah salah satu gambar egoisme. Orang tidak lagi memiliki hati nurani. Yang terpikir adalah diri sendiri, dan egoisme yang makin keterlaluan.

Semoga kelahiran bayi yang oleh banyak orang disebut sebagai Penyelamat, memberi inspirasi bagi bangsa dan negara, serta memberi kedamaian bagi bumi Indonesia. Et in terra pax, dan damai di bumi.

*Mgr Alexander Djajasiswaja Pr* /Uskup Bandung