Beranda BERITA Exclusive “Omnia In Caritate” – Perasaan Uskup Terpilih Keuskupan Ruteng

Exclusive “Omnia In Caritate” – Perasaan Uskup Terpilih Keuskupan Ruteng

MGR. SIPRIANUS HORMAT, USKUP TERPILIH KEUSKUPAN RUTENG: OMNIA IN CARITATE

Mgr. Siprianus Hormat, dipilih Bapa Suci menjadi Uskup Keuskupan Ruteng. Upacara tahbisan akan digelar tanggal 19 Maret 2020. Team MIRIFICA berkenan diterima Bapa Uskup di kediamannya, Senin, 16 Maret 2020 dan Mgr. Sipri berkenan membagikan perasaannya ketika terpilih menjadi Uskup dan tentang pemilihan mottonya: Omnia in Caritate. Berikut tuturan langsungnya.

 

 

Teman-teman ingin meminta seperti apa perasaan saya, ketika saya dipanggil dan dipilih untuk menjadi Uskup di Keuskupan Ruteng.  Perasaan pertama, memang bersyukur. Bersyukur karena Tuhan memilih saya: “manusia biasa-biasa saja”. Mengapa saya harus dipilih? Inilah yang perlu saya renungkan dalam seluruh perjalanan kegembalaan saya ke depan. Why me? Why not the other?. Di situlah kehebatan rancangan agung Tuhan dalam hidup saya; Itulah yang saya syukuri. Kedua, memang juga ada perasaan berkecamuk ketika (kepada) saya disampaikan bahwa saya dipilih menjadi Uskup Ruteng melalui nuncio (Duta besar Vatikan untuk Indonesia) di Jakarta.

Saya selalu mengibaratkan perasaan saya saat itu adalah netral, pikiran tidak bisa bekerja, perasaan pun tak ada sama sekali. Galau! Tetapi saya melihat, mungkin inilah proses Tuhan membentuk diri saya, bahwa: “Kamu sebenarnya tidak punya apa-apa!”. Kalau Tuhan memanggil maka semuanya pasti akan berjalan baik sesuai dengan rancanganNya. Karena itu, pergumulan ini cukup panjang, tetapi ketika dibawa dalam doa, semuanya akhir, saya katakan: “Tuhan, saya tidak bisa lari, di mana tempat di bawah kolong langit ini, tempat saya bisa bersembunyi, pasti tidak ada. Karena itu, saya serahkan seluruh diri saya kepada Tuhan dan saat itu saya teringat kembali akan sumpah tahbisan saya ketika saya ditahbiskan. Dengan itu seluruh hak saya, saya serahkan kepada Bunda Gereja melalui Uskup. Seluruh keputusan mengenai tugas panggilan, saya serahkan kepada Ibunda Gereja dan itulah yang membuat saya menjadi  teduh dan aman  kembali.

Lalu ketika memilih motto. Motto ini sebenarnya saya pilih, lebih dari ungkapan seluruh spirit karya yang saya bangun ketika saya jadi imam. Ketika dulu saya jadi imam, saya memilih motto “Segala perkara kutanggung di dalam Dia yang menguatkan saya”, dari Filipi 14:13. Kemudian ini berjalan terus saya coba mengolahnya, mengelaborasinya dengan pengalaman-pengalaman perutusan saya sebagian besar di rumah formasi bersama dengan calon-calon imam, di kampus bersama dengan mahasiswa-mahasiswa yang notabene mayoritas juga calon imam. Saya coba elaborasi, seperti apa perkara-perkara yang dihidupi tetapi kekuatannya selalu ada pada Tuhan. Ketika beralih ke KWI (Konferensi Wali Gereja Indonesia) hal yang sama coba saya temukan.

Saya menemukan satu “core(inti-red) bahwa sebenarnya yang saya hidupi, sedang saya hidupi ini  adalah seluruh kekayaan misteri kasih Tuhan, yang telah rela merendahkan diri tetapi akhirnya berpuncak pada mengorbankan diri. Karena itu, kasih itu harus sedapat mungkin mengambil dua jalur itu merendahkan diri dan berkurban.  Hanya atas dasar itulah maka kasih itu tidak hanya menjadi kata isapan jempol tetapi benar-benar menjadi spirit dalam berkarya.

Kemudian kasih itu saya lebih melihat implikasinya kelak ketika saya menjadi Uskup di Ruteng ini. Ruteng dengan beragam latar belakang, Ruteng dengan beragam dinamika yang berjalan. Ruteng, Keuskupan Ruteng dengan bentangan sejarah panjang sudah 108 tahun. Para tokoh ada di sana peristiwa-peristiwa ada di sana, berbagai macam hal dinamika itu berjalan sampai ke 108 tahun.  Segala hal ini menjadi kekayaan-legacy berharga dari semua tokoh, baik itu pendahulu para bapa Uskup maupun itu para pendidik yang membuat bumi Nuca Lale ini, Manggarai  ini kemudian menjadi Manggarai seperti sekarang, maupun elaborasi gereja dengan pemerintahan setempat mulai dari kerajaan-kerajaan awal, sampai kepada bupati yang kita kenal sekarang sebagai bupati. Nama-nama mereka ada saya catat tentu tidak bisa saya deretkan satu per satu.

Di tingkat yang lebih tinggi di tingkat provinsi kita juga memberi putera terbaik hasil dari rahim bumi Nuca Lale ini, hasil elaborasi gereja dengan pemerintah dan semua tokoh khususnya pendidikan, kita bisa mengirim putera terbaik menjadi Gubernur NTT.  Dalam hal ini Bapak Ben Mboi. Dan semua ini (punya) latar belakang yang beragam. Kedatangan saya di Ruteng ingin merajut, menyambung kembali sejarah ini. Karena itu perlu melihat legacy berharga dari sejarah bentangan waktu 108 tahun ini melalui tokoh-tokoh, melalui pribadi-pribadi, melalui penggalan-penggalan sejarah. Setiap penggalan, setiap tokoh mewariskan narasi agung bagaimana dinamika kehidupan gereja lokal hingga sampai saat ini.

 

 

Maka dari itu sekali lagi saya datang pertama-tama untuk melihat bentangan sejarah itu. Saya datang membawa hati saya, saya datang untuk melihat, belajar, saya harus mulai dari titik mana, menyambung kembali semua bentangan kekayaan yang diwariskan oleh para tokoh yang saya sebut selalu, menjadi flamboyan-nya Manggarai ini. Baik itu dalam diri para gembala pendahulu maupun dalam diri para tokoh awam yang mempunyai jasa besar di bidang pendidikan, di bidang pemerintahan. Tetapi, yang paling khas sebenarnya di Manggarai ini, warisan agung tentang inisiatif  berinkulturasi.

Sejak 1930-an Gereja Lokal Manggarai sudah mempunyai satu buku untuk Liturgi namanya Dere Serani. Dere Serani inilah kemudian menjadi Legacy berharga hingga saat ini. Karena itu mulai dari titik inilah para tokoh kemudian coba melihat seperti apa gerangan inisiatif, agar warta tentang keselamatan Tuhan itu membumi di Nuca Lale yang sekarang kami sebut Nuca Lale, sekarang disebut Manggarai ini di Gereja Lokal Manggarai ini.

Jadi tekad kami cuma itu, merajut kembali sejarah, coba menyambung kembali Legacy, tetapi juga coba mulai dari mana, dari titik mana tetapi semua dalam spirit Kasih. Sehingga elaborasi dengan berbagai macam tokoh dengan pemerintah dengan tokoh masyarakat, dengan toko adat semua kita bisa bangun di atas spirit Kasih. Karena hanya itu yang bisa menjembatani semua perbedaan dan semua kepentingan.

Saya kira itu saja rekan-rekan sekalian terkait dengan perasaan kenapa saya harus memilih motto Omnia in caritate lakukanlah segala pekerjaanmu di dalam kasih dari 1 Korintus 16: 14. Terima kasih.