SAGKI 2025, Berjalan Bersama, Peziarah Pengharapan, Gereja Katolik Indonesia, Tahun Yubileum, Konferensi Waligereja Indonesia, KWI, Sinodalitas, Obor Media, Penerbit Obor, Keuskupan agung Jakarta, Kesukupan Atambua, Keuskupan Agung Kupang, Cardinal Ignatius Suharyo
Mgr. Ignatius Cardinal Suharyo bersama Mgr. Antonio Guido Filipazzi saat pembukaan SAGKI 2015 di Via Renata - Cimacan. Foto by Arsip DOKPEN KWI

JAKARTA –  Pelaksanaan gelaran SAGKI 2025 tinggal menghitung hari. Tentu saat ini banyak harapan dan keinginan yang muncul dari umat maupun hierarki terhadap Sidang Agung ini, serta hasil-hasilnya bagi arah haluan Gereja Katolik di masa depan. Di sela-sela segala persiapan menjelang perhelatan agung tersebut, Tim Publikasi dan Dokumentasi SAGKI 2025 mencoba menggali harapan-harapan para uskup bagi Gereja Katolik Indonesia untuk sepuluh tahun ke depan. Berikut ini disajikan harapan dari Bapak Kardinal Ignatius Suharyo, Uskup Keuskupan Agung Jakarta.

Dalam menanggapi situasi serta kondisi geopolitik dan kebangsaan akhir-akhir ini Bapak Kardinal berharap, agar Gereja Katolik di Indonesia – artinya, hierarki, anggota hidup bakti, kaum awam –semakin berusaha untuk menjalankan peran kenabiannya.

“Seperti halnya nabi-nabi dalam Perjanjian Lama muncul dan menyampaikan kritik-kritik keras ketika para pemimpin bangsa yang tidak bertindak sebagaimana diwajibkan oleh ‘kode moral’ yang berlaku pada waktu itu, demikian Gereja sekarang juga perlu  melakukan hal yang serupa,” demikian tandasnya.

Gereja Harus Menjadi Komunitas Kontras

Lebih lanjut, ditegaskan oleh Kardinal Suharyo bahwa Gereja bersama-sama dengan warga negara lain perlu terus berusaha membangun dan mengembangkan “komunitas kontras.” Istilah lain yang sudah sering dipakai dalam dokumen-dokumen KWI adalah “minoritas kreatif.”

Yang dimaksud dengan “komunitas kontras,” menurutnya, adalah agar di tengah berbagai arus zaman yang tidak selalu baik, bahkan jahat – misalnya: korupsi, mendewakan uang, kekuasaan, gengsi, dan lain-lain –, Gereja tampil dan tidak goyah berdiri di atas nilai-nilai Katolik, sebagaimana yang telah dirumuskan di dalam Ajaran Sosial Gereja. Dengan demikian, Gereja dapat berperan sebagai nurani bangsa. Salah satu bentuk konkret dari komunitas seperti ini adalah Gerakan Nurani Bangsa.

Optimisme dan Harapan

Mengingat situasi dan kondisi arus zaman tersebut, perlu ditumbuhkan optimisme dan harapan di tengah-tengah umat beriman agar bisa menjadi komunitas pengharapan. Menurut Kardinal Suharyo, optimisme tidak bisa begitu saja disamakan dengan harapan, meskipun optimisme juga tidak bisa dipisahkan dari harapan.

Dijelaskannya bahwa optimisme berasal dari kata optimus (bahasa Latin, yang artinya paling baik). Optimisme adalah bentuk superlatif dari kata bonus yang artinya baik. Dalam pemakaian sehari-hari optimisme dilandaskan pada perhitungan manusiawi saja. “Misalnya, menurut perhitungan Kementerian Pendidikan, pada tahun 2030 semua anak di Indonesia akan dapat memperoleh akses pendidikan sampai universitas. Kalau ini tidak terjadi, optimisme menjadi luntur, berubah menjadi pesimisme,” demikian contohnya. Sedangkan, pesimisme berasal dari kata  pessimus yang merupakan bentuk superlatif dari kata malus, yang dalam bahasa Latin artinya buruk.

Sementara itu, harapan merupakan istilah teknis keimanan. Landasan harapan adalah iman bahwa “Allah yang telah memulai karya yang baik akan menyelesaikannya juga” (bdk. Flp. 1:6). Dengan demikian, “yang kita perlukan bukan hanya optimisme, melainkan juga harapan. Harapan sejati tidak akan pernah hilang kalaupun keadaan nyata tidak sesuai dengan apa yang kita cita-citakan. Pribadi yang berharap akan dijauhkan dari rasa putus asa. Kalau pun manusia gagal, Allah tidak akan gagal,” ungkapnya.

Selain itu, harapan juga akan menjauhkan kita dari kesombongan. Bilamana orang beriman berhasil, keberhasilan itu bukanlah pertama-tama dari orang tersebut, melainkan dari Allah yang sejak semula memang menciptakan dunia yang semuanya baik, seperti tertulis dalam Kitab Kejadian.

“Nasehat Rasul Paulus ini kiranya dapat menjadi pedoman kita semua: ‘Saudara-saudaraku yang terkasih, berdirilah teguh, jangan goyah dan giatlah selalu dalam pekerjaan Tuhan! Sebab kamu tahu, bahwa dalam persekutuan dengan Tuhan, jerih payahmu tidak sia-sia’ (1Kor. 15:58),” tandasnya

Perlunya Spiritualitas Inkarnasi untuk Mewujudkan Harapan

Optimisme dan harapan tersebut tidak bisa hanya menjadi angan atau impian belaka, namun perlu diwujudkan dalam langkah-langkah nyata yang perlu dilakukan oleh Gereja. Kardinal Suharyo menegaskan perlunya memegang paham bahwa Gereja adalah kita semua, murid-murid Kristus dalam peran atau jalan hidup yang dipilih. Intinya, Gereja tidak sama dengan hierarki, tetapi sebagai persekutuan Umat Allah.

Kardinal Suharyo memberi contoh apa yang dilakukan di keuskupannya. Di Keuskupan Agung Jakarta, sejak tahun 2022 sampai 2026, umat diajak untuk memahami dan menyadari bahwa selain ajaran iman, Gereja mempunyai Ajaran Sosial Gereja. Pokok-pokok Ajaran Sosial Gereja harus dipelajari, dipahami dan dicarikan jalan untuk mewujudkannya.

Untuk itu semua diperlukan spiritualitas inkarnasi. Dasar dari spiritualitas inkarnasi adalah karena Allah telah masuk ke dalam sejarah umat manusia, maka kehendak Allah hendaknya dicari dan ditemukan dalam peristiwa-peristiwa sejarah. Untuk dapat menemukannya, Kardinal menganjurkan dua langkah: doa kontemplasi dan analisa sosial.

Mgr. Ignatius Cardinal Suharyo saat pembukaan SAGKI 2015 Foto by Arsip DOKPEN KWI

Langkah pertama adalah dengan doa kontemplasi. “Ada yang menyebutnya dengan istilah menantang ‘doa mohon kecemasan.’ Maksudnya ialah dalam doa itu diungkapkan kesungguhan hati untuk mencari kehendak Tuhan, agar tidak terbelenggu untuk tinggal dalam zona nyaman belaka, tetapi berani keluar dari zona tersebut,” jelasnya.

Langkah kedua, karena Tuhan menganugerahkan akal budi kepada manusia, maka doa harus dibarengi dengan analisa sosial (budaya, ekonomi, politik dan seterusnya). “Jika dua langkah ini sudah menemukan jawabannya, pertanyaan yang harus dijawab adalah: ‘Apa yang harus kita lakukan, supaya lingkungan hidup kita menjadi semakin manusiawi?’ Untuk dapat mengajukan pertanyaan ini diperlukan kompetensi etis belarasa – hati yang tergerak, seperti Yesus yang tergerak hati-Nya oleh belas kasihan, ketika melihat penderitaan manusia,” demikian ungkapnya.

Kompetensi etis kedua yang diperlukan adalah kemampuan kerja sama yang harus menjadi jawaban kita semua sebagai persekutuan Umat Allah yang berjalan bersama dalam peziarahan di dunia ini sesuai tugas dan perutusannya masing-masing.

Aneka Cara untuk Mewujudkan Harapan

Atas pertanyaan tersebut di atas, jawabannya bisa menjadi sangat beragam. Misalnya, bila yang bertanya adalah imam-imam di paroki-paroki pedesaan, jawabannya adalah dengan menggerakkan umat untuk mengolah lahan-lahan tidur bersama dengan masyarakat setempat atau mulai mengusahakan untuk menanam tanaman-tanaman pangan dan beternak demi ketahanan pangan keluarga. Sementara di paroki-paroki perkotaan, jawabannya adalah dengan membentuk bank-bank sampah, bank minyak jelantah atau barang-barang bekas lainnya dalam kerja sama dengan entitas-entitas terkait yang terdekat lainnya.

“Untuk level yang lebih tinggi, kalau yang bertanya, misalnya adalah WKRI, mungkin jawabannya adalah mendirikan tempat penitipan anak. WKRI Pusat atau Cabang dapat menjalin kerja sama dengan organisasi-organisasi wanita lintas iman untuk mewujudkan hal tersebut, mengingat di wilayah-wilayah tertentu ada banyak keluarga muda yang suami-istri adalah para pekerja, yang membutuhkan tempat aman bagi anak-anak mereka ketika ditinggal bekerja. Kalau yang bertanya adalah para anggota DPR RI, jawabannya seharusnya adalah dengan merumuskan undang-undang yang memastikan terwujudnya kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia,” ujarnya.

Akhirnya, Kardinal Suharyo menandaskan sekali lagi bahwa jawaban-jawaban terhadap pertanyaan dasar ini dalam berbagai wujudnya, merupakan “tanda-tanda pengharapan” yang dimaksudkan oleh Paus Fransiskus dalam bulla pemakluman Tahun Suci Peziarah Pengharapan yang berjudul Spes non Confundit (Harapan Tidak mengecewakan). Sekaligus jawaban-jawaban tersebut dapat menjadi perwujudan dari harapan Paus Leo XIV dalam Sambutan Perdananya, “kita ingin menjadi sebuah Gereja yang sinodal, sebuah Gereja yang berjalan maju, sebuah Gereja yang selalu mencari damai, yang selalu mencari kasih, yang selalu berusaha untuk dekat terutama dengan mereka yang menderita.”