Home OPINI Editorial Ia Dibunuh, tetapi Tetap Hidup

Ia Dibunuh, tetapi Tetap Hidup

SEJAK kematiannya yang tidak wajar, berita mengenai Munir banyak muncul di media. Ia (diperkirakan) dibunuh oleh suatu konspirasi pihak-pihak yang merasa terganggu oleh perjuangannya menegakkan HAM, kebenaran, dan keadilan. Seperti pejuang-pejuang lainnya, Munir tersingkir, tetapi ia tidak kalah. Ia dibunuh, tetapi rohnya langgeng. Sejarah hidupnya, termasuk kematiannya, melandasi harapan bahwa perjuangan bagi kebenaran dan keadilan akan terus berlanjut, tidak berhenti oleh ancaman, tidak tunduk pada ketakutan, tidak mati oleh pembunuhan, dan pada waktunya akan membawa buah.

Pada hari Jumat Agung umat Kristiani mengenang Yesus yang mati juga karena konspirasi. Konspirasi itu sudah dirancang sejak awal oleh orang-orang Farisi yang membuat rencana bersama para pendukung Herodes untuk membunuh Dia (bdk Mrk 3:6). Mengapa? Karena Ia dinilai melawan arus dan membahayakan aneka kepentingan banyak pihak. Akhirnya Ia pun dibunuh. “Ia taat sampai mati, bahkan sampai mati di salib. Itu sebabnya Allah amat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama” (Flp 2:8-9). Kematian bukan akhir segala-galanya, tetapi jalan menuju kebangkitan dan kemuliaan. Ia dibunuh, tetapi tetap hidup.

KOMITMEN manusia Yesus yang radikal untuk mewartakan pembebasan dilandaskan pada spiritualitas yang Ia warisi turun- temurun. Secara sosial-ekonomi, Yesus hidup dalam keluarga kelas menengah. Menurut rekonstruksi arkeologis yang dilakukan pada tahun 1970-an, rumah-Nya terdiri dari dua ruangan cukup besar. Ruangan pertama adalah suatu goa alam yang diberi tambahan ruangan baru di depan dengan konstruksi papan. Di bawah lantai goa dipahat satu ruangan lagi menjadi semacam gudang untuk menyimpan gandum, minyak zaitun, anggur, dan keperluan rumah tangga lainnya. Rumah seperti itu termasuk mewah menurut ukuran saat itu.

Namun, status sosial ini bukan unsur penentu dalam hidup-Nya. Yang paling menentukan adalah spiritualitas-Nya. Keluarga-Nya dikenal sebagai bagian dari komunitas yang disebut anawim, yang berarti orang-orang miskin. Dalam sejarah keagamaan Yahudi, komunitas ini mempunyai sejarah yang amat panjang (bdk 1 Sam 2:1-10; Luk 1:46-55).

Salah satu ciri hidup komunitas ini adalah idealisme yang tinggi dan harapan yang amat kuat. Bukan idealisme dan harapan yang digantungkan pada ideologi tertentu, tetapi pada Allah yang berjanji akan menganugerahkan damai dan sejahtera: “damai-sejahtera tidak akan berkesudahan… karena Ia mendasarkan dan mengokohkannya dengan keadilan dan kebenaran” (Yes 9:6). Penindasan dan kekerasan akan disingkirkan, “serigala akan tinggal bersama domba dan macan tutul akan berbaring di samping kambing… tidak ada yang akan berbuat jahat dan berlaku busuk… sebab seluruh bumi penuh dengan pengenalan akan Tuhan” (Yes 11:6-9).

Kaum anawim ini dihidupi dalam konteks sosial yang amat kompleks dan tidak bersahabat, dalam keadaban publik yang rusak. Rusaknya keadaban publik saat itu tampak dalam berbagai peristiwa. Di balik kisah pembunuhan anak-anak di Betlehem (Mat 2:16-18) tercermin model pemerintahan yang dipraktikkan Herodes Agung. Dia terkenal sebagai penguasa yang membangun dan mempertahankan kekuasaannya dengan berbagai manipulasi politik, termasuk pembunuhan terhadap lawan-lawan politiknya. Bait Allah dikenal sebagai medan perselingkuhan antara agama dan bisnis (bdk Luk 19:45-48). Masyarakat warga pun telah kehilangan kepekaan sosial terhadap sesama (bdk Luk 16:19-31).

Kerusakan keadaban publik dan usaha untuk memperbaruinya tercermin dalam jawaban Yohanes Pembaptis kepada orang-orang yang mendatanginya. Kepada orang banyak- mewakili masyarakat warga- Yohanes berkata, “Barang siapa mempunyai dua helai baju, hendaklah ia membaginya dengan yang tidak punya”.

Kepada pemungut-pemungut cukai-mewakili sektor bisnis-dikatakan, “Jangan menagih lebih banyak daripada yang telah ditentukan”.

Kepada prajurit-mewakili kekuasaan pemerintahan-ditegaskan, “Jangan merampas dan jangan memeras…” (Luk 3:10-14).

Yesus tidak hanyut terbawa arus keadaban publik yang rusak itu. Ia menghidupi nilai-nilai alternatif bersumber pada spiritualitas yang Ia warisi. Akan tetapi, Ia dinilai menentang arus dan dianggap mengancam kepentingan berbagai pihak.

KEADAAN masyarakat kita tidak jauh berbeda dibandingkan dengan keadaan masyarakat Yahudi saat Yesus hidup. Menanggapi keadaan itu, Sidang Konferensi Waligereja Indonesia tanggal 1-11 November 2004 menulis Nota Pastoral berjudulKeadaban Publik: Menuju Habitus Baru Bangsa. Nota Pastoral itu mengajak siapa pun yang berkehendak baik untuk terlibat dalam perjuangan bangsa membangun kembali keadaban publik yang rusak.

Keadaban publik disangga tiga poros utama, yaitu negara, masyarakat bisnis, dan masyarakat warga.

Dalam ruang publik, negara mempunyai kuasa regulatif untuk menyelenggarakan kesejahteraan umum. Masyarakat bisnis bergerak di ruang publik melalui transaksi yang seharusnya fair demi keuntungan penjual, konsumen, dan masyarakat umum. Adapun masyarakat warga berinteraksi di ruang publik atas dasar saling percaya dan tata perilaku sosial yang diandaikan diterima dan dihormati semua pihak.

Keadaban publik dibangun di atas perimbangan tiga poros kekuatan yang sama-sama mengelola ruang publik itu. Sebaliknya, dominasi satu terhadap yang lain atau kolusi satu dengan yang lain akan menghancurkan keadaban publik. Dominasi dan/atau kolusi itu membuat hidup bersama tidak akan pernah nyaman dan krisis tidak akan pernah berakhir, sebagaimana kita alami hingga kini (Nota Pastoral).

LEBIH dari dua ribu tahun lalu, sebagai manusia Yesus hidup dengan spiritualitas anawim di tengah keadaban publik yang rusak. Atas dasar spiritualitas itu, Ia menghayati nilai-nilai kontras dan berusaha memperbarui kehidupan dari dalam. Namun, Ia ditolak karena cara hidupnya membahayakan berbagai kepentingan. Akhirnya Ia dibunuh oleh suatu konspirasi yang sempurna. Namun, Allah membangkitkan Dia! Inilah Paskah.

Merayakan Paskah berarti mengenangkan Kristus yang wafat dan bangkit untuk kita. Dalam arti ini merayakan Paskah bukan sekadar mengingat peristiwa masa lampau, tetapi menerima tanggung jawab untuk menghadirkan kembali Yesus yang hidup, wafat, dan bangkit bagi kita. Murid-murid Yesus adalah mereka yang setia mengikuti Yesus yang mewartakan Kerajaan Allah yang memerdekakan.

Konkretnya, ketika berlaku pendapat umum “yang kuat yang menang”, perlu ditumbuhkan kesadaran politik bahwa yang kecil, lemah, miskin, dan tersingkir harus didahulukan. Ketika masyarakat seakan-akan digiring untuk menyembah uang (money-theisme), perlu dibangun etika bisnis yang menegaskan bahwa uang harus digunakan dalam fungsi sosialnya. Ketika masyarakat dikondisikan untuk saling curiga dan mudah diadu domba, perlu dikembangkan tekad untuk bersama-sama membangun budaya damai dan persaudaraan yang tahan uji. Selamat Paskah.

Mgr I Suharyo Pr Uskup Agung Semarang Kompas, 26 Maret 2005