Home OPINI Editorial La Passione del Papa

La Passione del Papa

Untuk pertama kalinya dalam sejarah dunia, saat-saat akhir hidup seorang Paus disaksikan, diikuti, didramatisir, dipancarkan lewat media dari menit ke menit. La Passione del Papa (The Passion of the Pope): Sekadar media event, spektakel sensasional kah, ala Mel Gibson? Sama sekali bukan! Lewat media komunikasi modern, suatu pesan Injil mendalam dengan sengaja ingin diwartakan Bapa Suci ke seluruh dunia tentang arti hidup manusia, khususnya peran penting penderitaan di dalamnya.

RAI (TV Italia) baru saja menampilkan arsip dari tahun 1994 bagaimana, setelah Bapa Suci Yohanes Paulus II meninggalkan Rumah Sakit Gemelli, dari jendela Vatikan beliau menekankan bila diberi kurnia untuk mengantar Gereja Katolik memasuki milenium ketiga, beliau perlu mengantarnya dengan penderitaannya sendiri. Bapa Suci memilih penderitaan dan sakratul maut pada perjalanan akhir hidupnya momen pewartaan Injilpar excellence bagi dunia.

Pada tahun-tahun pontifikat Bapa Suci ketika dikaruniai kesehatan yang prima, beliau menulis, mengajar, menjelajah dunia sebagai seorang peziarah dan pewarta Injil Yesus Kristus. Bapa Suci Yohanes Paulus II seakan mempunyai “kata” untuk setiap situasi dan masalah. Ketia pada akhir hidupnya, “kata” menjadi terhalang baginya, penderitaan, kerapuhan dan ketidak-mampuan fisik justru “mengatakan” paling banyak. Itulah kiranya pesan yang paling mendalam yang harus kita tangkap.

Pesan Bapa Suci ini kiranya amat poignant bagi sikap dan pola hidup yang semakin mendewakan kemudahan, kenikmatan, dan budaya instan, tidak jarang dengan kekerasan dan bentuk-bentuk budaya kematian lainnya.

Tanpa mengurangi arti positip dari usaha manusia untuk meningkatkan kualitas hidup, mengurangi penderitaan seperti penemuan obat-obat yang menyembuhkan pelbagai penyakit, termasuk segala doa-doa penyembuhan, Bapa Suci mengingatkan bahwa penderitaan tetap mempunyai makna tersendiri bagi kepenuhan hidup.

Pada saat Anda membaca tulisan ini, Bapa Suci sedang berada di ambang kehidupan dan kematian. Setelah keluar pernyataan resmi tentang wafat beliau, media masa akan dipenuhi berita ritual pemakaman, kehadiran elite politik dan lembaga keagamaan, kemudian kasak-kusuk sekitar proses pemilihan paus yang baru, dan pageant koronasinya kemudian. Itulah pesan media massa. Namun, hidup, karya, dan khususnya tahun-tahun akhir hidup Paus Yohanes Paulus II menyampaikan pesan Totus Tuus—semboyan kepausan yang beliau pilih, yakni bahwa hidupnya—Seluruhnya milik-Mu Tuhan, khususnya penderitaan dan agoni menjelang kematian.

Kristus dan Bunda Maria telah menanti Bapa Suci dengan korona di tangan.