Beranda OPINI Editorial Media Komunikasi Massa Lokal

Media Komunikasi Massa Lokal

Dalam tiga kali lokakarya yang diselenggarakan oleh Komisi Komunikasi Sosial (Komsos) KWI dengan para koordinator komunikasi keuskupan yang berlangsung di Batam pada 16-18 Juli 2007 (untuk wilayah Sumatera), Bali pada 21-23 Agustus 2007 (untuk wilayah  Nusra, Jawa dan Kalimantan ) dan di Makassar pada 2-4 Oktober 2007 (untuk wilayah Papua, Sulawesi dan Maluku),  sempat dibicarakan cukup panjang tentang bagaimana memanfaatkan media massa modern dalam karya pastoral dan misioner gereja.

Sebagai Areopagus jaman modern, semua orang katolik diimbau untuk tidak segan-segan menggunakan media massa modern sebagai sarana ampuh dalam karya kerasulannya. ( bdk Redemptoris Missio no 37; Pesan Paus Yohanes Paulus II pada Hari Komunikasi Sedunia yang ke-39 tahun 2005). Dari ketiga lokakarya itu tampak bahwa hampir semua keuskupan di Indonesia telah memiliki strategi komunikasi dan sarana komunikasi mulai dari  cetak (buletin,  majalah ), radio, studio audio, website disamping media komunitas lain baik yang bersifat budaya (tarian dan folk song, drama) maupun yang bersifat perjuangan (street teater, poster, dll). Namun kesulitan mulai muncul tatkala para peserta lokakarya menginventarisasi sejumlah rintangan dalam  karya pastoral di bidang komunikasi. Biaya maintenance yang mahal,  tenaga pengelola media yang terbatas dan kurang profesional, transportasi dan distribusi majalah yang terhambat oleh kurangnnya sarana transportasi, sulitnya medan geografis. Demikian juga infrastruktur lain seperti PLN yang tidak selalu stabil (mati-hidup) sehingga jam mengudaranya radio (on air) tidak lagi tergantung pada rencana jam tayang (prime time) tetapi pada jam beroperasinya PLN, jaringan telekomunikasi yang terputus-putus sehingga  website tidak bisa di-update setiap waktu dengan akibat informasi dalam website terkesan basi, dll. Penggunaan media massa yang seharusnya memperingan beban kerja dan  meningkatkan hasil kerja, dalam praktiknya justru menghambat dan membebankan kerja kita termasuk karya kerasulan gereja.  Dan itu berarti beban biaya menjadi tinggi. Inilah yang disebut sebagai  paradoksnya teknologi komunikasi.

Berdasarkan  paparan situasi tersebut di atas, ada dua aspek yang menurut hemat saya perlu mendapat perhatian yakni memiliki media komunikasi dan menggunakan media komunikasi yang tersedia.

Memiliki media komunikasi (massa) modern.

Sangat ideal kalau gereja (keuskupan) memiliki sendiri media massa baik cetak maupun elektronik dan virtual. Karena dengan demikian, gereja dapat dengan lebih mudah menyusun strategi pastoral komunikasi yang lebih teratur dan terarah serta merencanakan pasokan isi (content) yang sesuai dengan spiritualitas (ideologi) yang dianut. Juga dengan menjadi pemilik media komunikasi, para pengelola bisa dengan leluasa memilih format-kemasan yang sesuai, pilihan timing yang tepat dan khalayak sasar yang lebih tertuju. Dan tentu saja hal ini mengandaikan bahwa keuskupan (gereja) sudah sangat profesional dalam bidang manajemen media mulai dari pra-produksi, proses produksi, pos-produksi yang menyangkut distribusi, transportasi, marketing.  Syukur kalau gereja (keuskupan) sudah berada pada tingkat ini.

Memanfaatkan media komunikasi yang tersedia.

Ini merupakan suatu alternatif pilihan kalau keuskupan (gereja) tidak memiliki dan mengelola media sendiri dengan berbagai alasan seperti yang telah dipaparkan tadi.  Komisi komunikasi keuskupan (paroki) perlu mendata, menginventarisasi semua jenis media komunikasi yang ada di keuskupannya, mempelajari kekhasan tiap-tiap media dan menguji sejauh mana pengaruh media tersebut bagi masyarakat. Hal ini penting agar kita dapat menyusun rencana siaran yang sesuai dengan kekhasan media yang tersedia dan pilihan media yang variatif sifatnya karena akses ke banyak media yang tersedia  Bagi masyarakat buta huruf, mungkin media radio yang paling cocok ketimbang majalah, dsb.

Hal lain yang penting dicatat adalah mendata pemilik media. Kepemilikan media di keuskupan sangat banyak dan beragam. Ada berbagai tarekat religius yang memiliki media tertentu (buletin, majalah, website, dll.) dan mungkin dengan cara pengelolaan yang lebih profesional. Keuskupan sebenarnya perlu mendekati media yang sudah tersedia dan membangun kerjasama sehingga tak perlu lagi men-set up sebuah majalah baru yang tentu ditujukan kepada orang yang sama dalam keuskupan.  Disamping tarekat religius, masih ada para pemilik media seperti pemerintah (Radio Pemerintah Daerah /RPD dan RRI, TVRI lokal), organisasi kemasyarakatan/ LSM  (radio komunitas, buletin, majalah), agama lain (radio, studio audio, majalah, dll), pengusaha ( majalah, website, dll.). Dengan kerjasama yang demikian, biaya proses produksi dapat ditekan, kecemasan untuk mencari dan membiayai tenaga profesional menjadi semakin kecil.

Di pihak lain, dengan membangun kerjasama dengan para pemilik media yang sudah ada dan tersedia di keuskupan, kita sebenarnya sedang membangun sebuah dialog; dialog dengan tarekat-tarekat religius, dialog dengan pemerintah, dialog dengan pengusaha, dengan organisasi-organisasi kemasyarakatan dan dialog dengan agama lain.  Kalau toh ini sungguh terjadi, maka tujuan komunikasi justru tercapai yakni “building community of all people in diversity” (membangun komunitas yang menghargai keberagaman).

(Agus Alfons Duka, SVD, Sekretaris Eksekutif Komsos KWI)