Beranda KATEKESE Ajaran Gereja Membina Panggilan Agar Kebutuhan Pelayanan Suci Terpenuhi

Membina Panggilan Agar Kebutuhan Pelayanan Suci Terpenuhi

PENGANTAR

Berdasarkan data statistik tiga tahun terakhir, jumlah siswa yang masuk seminari menengah khususnya di regio Jawa-Bali setiap tahunnya mengalami penurunan. Hal ini berpengaruh terhadap jumlah frater yang menempuh pendidikan di seminari tinggi. Sementara itu seminari-seminari di Indonesia bagian Timur dan Barat sebagian seperti: regio Flobamor (Flores, Sumba, Timor), regio Mampu (Makassar, Amboina, Manado, Papua), regio Sumatera dan regio Kalimantan, masih banyak calon seminaris namun ada keprihatian lain yakni konsumsi dan bangunan seminari sangat memprihatinkan. Artinya bangunan-bangunan seminari sudah saatnya untuk direnovasi karena usia bangunan yang sudah tua dan tidak layak pakai dan menu makanan seminaris harus diperhatikan agar menghasilkan imam yang sehat dan cerdas. Semuanya itu memerlukan biaya yang besar dan perhatian yang serius dari kita semua umat beriman. Sekarang ini bantuan dana luar negeri terbatas jumlahnya, tidak banyak seperti sepuluh tahun yang lalu, karena POSPA Roma juga memperhatikan seminari-seminari di belahan dunia Amerika Latin dan Afrika yang berkembang pesat. Situasi perekonomian Indonesia juga belum menguntungkan untuk usaha kemandirian Gereja dalam hal finansial. Maka kita harus mengambil langkah-langkah konkrit secara pastoral dengan sikap yang arif-bijaksana agar ke depan seminari di Indonesia dapat tetap tegak berdiri dan menghasilkan imam-imam yang handal bagi Gereja masa depan. Ketiga pokok pikiran di bawah ini menjadi prioritas perhatian komisi seminari KWI.

A. PROMOSI PANGGILAN

Seperti yang telah dinyatakan dalam pengantar di atas bahwa dalam beberapa tahun ini jumlah calon ke seminari-seminari menengah khususnya di wilayah Jawa-Bali mengalami penurunan kalau tidak dikatakan stagnan. Sementara itu, perhatian terhadap promosi panggilan masih terasa kurang. Bahkan ada anggapan bahwa tugas mempromosikan panggilan melulu tugas para pembina Seminari, yang sebenarnya para pembina sendiri mempunyai keterbatasan jangkauan. Maka peran komisi seminari/panggilan di tiap keuskupan itu penting. Tapi kalau kita cermati ada berapa keuskupan yang memiliki komisi seminari/panggilan dan aktif dalam karya pastoralnya? Bahkan ada keuskupan tidak memiliki komisi seminari/panggilan. Seharusnya kita bertobat dan sadar jika ingin membangun Gereja lokal/Keuskupan yang kokoh – kuat dan kebutuhan pelayan-pelayan suci terpenuhi di seluruh Gereja maka seminari harus mendapat perhatian yang serius dan mendesak. Karena itulah, hendaknya semua umat beriman memandang seminari sebagai jantung Keuskupan (bdk. OT, 5),Kenyataan di atas sebenarnya jauh dari yang diharapkan. Pembinaan benih-benih panggilan sebenarnya merupakan tugas seluruh Gereja dan bukan hanya pembina seminari. Hal itu ditegaskan dalam Kanon 233, § 1: ”Tugas seluruh jemaat kristianilah untuk membina panggilan, agar kebutuhan akan pelayanan suci di seluruh Gereja terpenuhi dengan cukup; kewajiban ini terutama mengikat keluarga-keluarga krsitiani, para pendidik dan dengan alasan khusus, para imam, terutama para pastor paroki, para Uskup diosesan yang paling berkepentingan untuk memajukan panggilan, hendaknya mengajar umat yang dipercayakan kepadanya tentang pentingnya pelayan suci dan kebutuhan akan pelayan-pelayan dalam Gereja dan hendaknya mereka membangkitkan serta mendukung usaha-usaha untuk membina panggilan, terutama dengan karya-karya yang diadakan untuk itu”. Oleh karena itu, kewajiban ini terutama mengikat keluarga-keluarga Kristiani, para pendidik dan dengan alasan khusus para imam, terutama para pastor paroki, dan yang paling bertanggung jawab adalah Uskup diosesan. Pada kanon yang sama dikatakan, bahwa para Uskup diosesan memiliki tanggungjawab yang penuh dan memiliki kepentingan yang penuh melekat dalam tugasnya. Melihat kenyataan kurangnya perhatian terhadap hal ini, Seminari-Seminari sendiri berupaya mengadakan kegiatan-kegiatan promosi panggilan. Harapannya adalah, agar bibit-bibit panggilan yang tersebar di keluarga-keluarga dan paroki-paroki sebagai ”seminari dasar” dapat tersapa dan terketuk hatinya untuk menanggapi panggilan secara nyata. Namun perhatian terhadap benih panggilan tidak bisa sungguh-sungguh berhasil jika tidak disertai dengan inisiatif dan kerjasama dari para ”pembina awal panggilan” yaitu keluarga-keluarga, para pendidik, para imam, khususnya pastor-pastor paroki dan terlebih Uskup sendiri.

B. PEMBINAAN (FORMATIO)

       Buah dari usaha promosi panggilan seperti yang dinyatakan di atas adalah munculnya motivasi dalam diri anak-anak muda yang melihat dan mendengar promosi tersebut. Motivasi yang muncul sangatlah beragam. Anak-anak muda yang termotivasi inilah yang setelah diseleksi menjadi subyek utama dalam formasi di seminari-seminari menengah maupun tinggi untuk mengembangkan kepribadian, bakat, intelektual, hidup rohani dan hidup berkomunitas sehingga layak dan pantas menjadi imam (bdk. Kann. 234; 235). Para formator yang ada di seminari menengah maupun tinggi bertugas untuk mendampingi anak-anak muda agar bersama Tuhan sendiri mereka terus-menerus mengembangkan diri dan memurnikan motivasi panggilannya dari vocatio externa menjadi vocatio interna. Selain itu, formator hendaknya menjadi pendamping yang mendidik melalui keteladanan hidup, menjadi animator dan mediator bagi pengembangan formandi sendiri.Setelah formandi mengalami formatio selama pembinaan, diharapkan formatio tidak berhenti begitu saja. Formandi hendaknya sampai pada transformasi diri menjadi pribadi yang bercitra imamat Yesus Kristus. Proses tranformasi itu membutuhkan situasi dan kondisi yang kondusif terutama dalam hal kerohanian untuk mendukung dan mengembangkan benih panggilan di dalam dirinya. Selain situasi dan kondisi, kebiasaan-kebiasaan mengikuti latihan rohani di seminari (refleksi, bimbingan rohani, bacaan rohani, dll) akan sangat membantu formandi dalam memurnikan panggilan hidupnya sebagai calon imam.


C. PENGELOLAAN KEUANGAN

       Salah satu unsur penting dari jalannya pembinaan di seminari adalah dukungan dalam bentuk finansial. Maka setiap seminari hendaknya merencanakan kegiatan dan keuangannya dalam bentuk Rencana Anggaran Pendapatan Belanja (RAPB) yang transparency dan accountabel. RAPB pada umumnya meliputi: pemasukan (income) dan pengeluaran (outcome), pengelolaan asset dan liabilyties, bunga tabungan dan deposito, penyusutan dan biaya renovasi atau maintenance.

Pada umumnya RAPB seminari merupakan program tahunan yang harus dikerjakan dan tidak jarang mengalami defisit. Untuk itu, seminari perlu mencari sumber pendapatan baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Tidak menutup kemungkinan untuk mencari usaha sendiri. Untuk bantuan luar negeri bisa berasal dari subsidi Pontificium Opus A S. Petro Apostolo (POSPA), dari subsidi keuskupan: Uskup juga dapat menetapkan iuran wajib (tributum) untuk kebutuhan-kebutuhan seminari (bdk. Kan. 264, § 1), dari bantuan siswa/orang tua, dari paroki/lembaga gerejawi lainnya, donator umum/umat, pemerintah, bunga deposito, profit usaha, dan lainnya.

Seminari adalah milik keuskupan. Artinya, seminari menjadi bagian dari keuskupan dan paroki/umat. Oleh karena itu, masalah pembiayaan Seminari menjadi tanggung jawab seluruh umat (bdk. Kan. 222, § 1: “Kaum beriman kristiani terikat kewajiban untuk membantu kebutuhan Gereja…). Namun tidak jarang para rektor seminari bukan hanya mengurus bidang pendidikan dan pembinaan melainkan juga dibebani dengan mengurus keuangan dan pembangunan fisik seminari. Sungguh sangat berat, maka sebaiknya kita semua umat beriman kristiani tidak terkecuali siapapun hendaknya melibatkan diri dalam seluruh kehidupan di seminari, terutama dalam hal finansial. Gerakan Orang Tua Asuh untuk Seminari (GOTAUS) telah berdiri sejak 2001 merupakan gerakan yang dimotori oleh kaum awam, yang peduli terhadap kehidupan seminari. Gotaus selama 7 tahun telah berkiprah memberi bantuan kepada seluruh seminari menengah di Indonesia. Sebanyak 1686 siswa telah terbantu setiap semester dan telah mengeluarkan dana sekitar 4,6 milyar rupiah. Paguyuban Gembala Utama (PGU) juga telah memberikan bantuan dalam pengembangan SDM/pembinaan di seminari, demikian juga kelompok Semangat yang telah banyak membantu bidang bangunan fisik seminari dan untuk tahun 2007 ini telah membantu seperangkat komputer bagi seminari menengah di Indonesia khususnya. Ketiga mitra komisi seminari tersebut telah banyak membantu kehidupan seminari terutama tingkat menengah di Indonesia. Ke depan bukan hanya seminari menengah tetapi juga seminari tinggi yang perlu bantuan.

Namun kita tidak berhenti di sini. Semua umat beriman tetap harus peduli kepada seminari baik menengah maupun tinggi. Karena itu, hendaknya di tiap keuskupan terbentuk Gotaus atau dalam bentuk lain seperti di keuskupan Surabaya (St. Mikhael), Keuskupan Agung Palembang (Kloter 2000), Keuskupan Agung Samarinda (Komunitas Mitra Kasih Seminari) dan Keuskupan Denpasar (Aksi Peduli Seminari; Keluarga Pancaran Kasih Bunda). Mari kita bangkitkan kepedulian kita kepada seminari di setiap keuskupan demi lahirnya imam-imam Indonesia di masa mendatang. Tuhan memberkati.