Beranda OPINI Editorial Mengambil Sikap

Mengambil Sikap

Why do you stand?
they were asked, and
why do you walk?

Because
the cause
is the heart’s beat
and the children born
and the Risen Bread.

(Daniel Berrigan) 

Daniel Berrigan, S.J., seorang imam, biarawan, aktivis damai, dan penyair berkata “Don’t just do something. Stand there!” (Jangan hanya berbuat sesuatu. Ambilah sikap). Bagi Romo Dan, begitu panggilan akrabnya, mengambil “stand” selalu berarti satu hal, yakni “mengambil sikap dan berpihak.” Entah itu dengan berdemonstrasi, mengangkat sumpah, dan menghadapi tuntutan pengadilan. Khususnya, dalam menentang kekerasan, perang, dan ketidakadilan. Namanya mencuat ketika bersama kakaknya (almarhum) Phillip Berrigan, protes di Cattonville melawan perang Vietnam di tahun 60an. Dan sejak itu sejarah AS ber belok arah.

Mengambil sikap dan berpihak memang mengandung resiko besar. Dia sadar sepenuhnya akan akibatnya. Buku agendanya penuh dengan hari-hari dia keluar dan masuk ruang pengadilan dan penjara. Pembesar dan atasannya, teman-temannya pada mulanya menentang dan mencemoohkan apa yang bisa dicapai dengan “stand” yang diambilnya itu. Bukan selebritas yang mendorongnya. Melainkan, “karena getaran hati, untuk generasi muda, dan demi Sang Roti yang Telah Bangkit.”

“Stand” itulah yang juga diambil oleh Romo Frans Amanue, Pr dalam kasus pengadilan yang mencuatkan Larantuka yang kendati kecil dan tak dikenal di ujung timur Flores menjadi seperti Betlehem di jaman Yesus.

“Si vis pacem, colle iustitiam” (Jika inginkan damai, tegakkanlah keadilan), demikian pleidoi yang dibacakannya dalam sidang pengadilan di mana dia diadili atas tuduhah fitnah terhadap Felix Fernandez, SH, Bupati Flores Timur soal permintaan dana rehabilitasi jalan setelah musibah banjir bandang yang menimpa wilayahnya.

Sebagai ketua Komisi Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Larantuka, Romo Frans mencium bau amis dalam proposal permintaan dana tersebut. Ke-86 signatori Seruan Solidaritas, termasuk empat uskup Regio Nusatenggara, mendengar bahwa “dalam suratnya tertanggal 19 Mei 2003 kepada Kejaksaan dan Kepolisian Kabupaten Flores Timur, Mgr. Darius Nggawa, SVD, Uskup Larantuka menyatakan bahwa pernyataan Rm. Frans Amanue, Pr, yang tertulis di Pos Kupang tanggal 9 April 2003 … merupakan bagian dari tugasnya sebagai Ketua Komisi Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Larantuka.”

Uskup Larantuka sendiri berhalangan hadir dalam pertemuaan Regio NUSRA di Weetebula bulan Juli yang lalu. Apa pun alasannya, di era komunikasi global ini hampir tidak mungkin lagi untuk menyapu masalah lokal ke bawah kolong atau menyimpannya di bawah bantal, dengan harapan masalah akan dibawa hanyut ombak dan lenyap seperti tulisan di atas pasir. Apalagi kalau menyangkut masalah etika dan moral yang menjadi pokok dan sumber kewibawaan gereja.

Pengalaman para uskup Amerika Serikat dalam menangani kasus pedofili beberapa pastornya di masa lampau bukan saja menguras keuangan keuskupan, tapi juga—dan ini lebih krusial— mengkikis kewibawaan dan kredibilitas gereja sendiri di mata umat dan dunia.

Putusan pengadilan 2 bulan penjara dan 5 bulan masa percobaan bagi Romo Frans ditolak karena melawan rasa keadilan. Oleh karena itu Romo Frans menyatakan naik banding.

Sungguh disayangkan bahwa kekecewaan dan emosi pendukung Romo Frans diluapkan dalam tindak kekerasan dengan membakar gedung pengadilan dan beberapa bangunan yang lain. Gereja dari segi prinsip selalu dengan tegas menolak segala bentuk kekerasan, apa pun dalihnya dan sebabnya.

“Don’t just do something. Stand there.” Siapa pun, menurut posisi dan kedudukan masing-masing, perlu berani mengambil sikap.