Para uskup foto bersama dalam Sidang Agung Gereja Katolik 2010 yang berlangsung dari tanggal 1 sampai dengan 5 November 2010 di Kinasih, Caringin – Bogor, Jawa Barat, dihadiri oleh utusan dari 37 keuskupan di Indonesia. Hadir 385 orang peserta, yang terdiri dari para Uskup, imam, biarawan-biarawati, dan sejumlah wakil umat. Foto : Dokpen KWI

Sejarah, Sinodalitas, dan Harapan Gereja Katolik Indonesia

Ketika Sinode Biasa Para Uskup XVI ditutup pada Oktober 2024 di Vatikan, Gereja Katolik di seluruh dunia diajak untuk melangkah ke babak baru dalam sejarahnya: menjadi Gereja yang berjalan bersama — sebuah Gereja yang menumbuhkan persekutuan, partisipasi, dan misi. Tema sinode ini — Berjalan Bersama: Persekutuan, Partisipasi, dan Misi — bukan sekadar slogan, tetapi menjadi arah rohani bagi seluruh umat Katolik di dunia untuk meneguhkan kembali panggilannya di tengah dunia yang terus berubah.

Sinode yang dimulai pada tahun 2021 ini menempuh proses panjang dan luas. Setiap keuskupan di seluruh dunia menyelenggarakan pertemuan, mendengarkan umat, dan menyusun sintesis refleksi yang kemudian dihimpun di tingkat konferensi waligereja. Dari sana, hasilnya diteruskan ke tingkat benua hingga akhirnya diserahkan ke Roma. Dalam proses yang sangat partisipatif ini, Gereja diundang untuk menumbuhkan spiritualitas mendengarkan — bukan hanya mendengarkan hierarki, tetapi juga suara umat kecil, mereka yang terpinggirkan, serta kaum muda yang haus akan makna dan kebersamaan.

Gereja yang Berjalan Bersama

Gagasan “berjalan bersama” mengandung makna mendalam: Gereja bukanlah sekumpulan individu yang berjalan sendiri-sendiri, melainkan sebuah persekutuan peziarah yang menapaki jalan sejarah dengan satu tujuan — menghadirkan tanda-tanda Kerajaan Allah di dunia ini. Konsili Vatikan II dalam dokumen Ad Gentes (no. 12) menegaskan bahwa seperti Kristus yang berkeliling kota dan desa menyembuhkan luka-luka manusia, demikian pula Gereja dipanggil untuk berjumpa dengan semua orang, terutama mereka yang miskin dan tertindas.

Dengan semangat inilah Gereja Katolik Indonesia menyiapkan Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) 2025, sebuah momentum penting dalam perjalanan Gereja lokal. Sejak pertama kali diadakan pada tahun 1995, SAGKI menjadi wadah refleksi bersama antara hierarki dan umat untuk membaca tanda-tanda zaman di Indonesia. Gereja dipanggil bukan hanya untuk berbicara kepada dunia, tetapi juga mendengarkan jeritan dan harapan umat manusia di tanah air ini.

Warisan Panjang: SAGKI 1995–2015

Dalam sejarahnya, SAGKI telah menjadi tonggak-tonggak penting yang menandai arah pastoral Gereja Katolik Indonesia.

  • Sidang KWI-Umat 1995  merefleksikan keterlibatan umat Katolik di masyarakat dan masalah-masalah yang bermakna bagi hidup kita sebagai Gereja Katolik Indonesia. (Tema : Mewujudkan Refleksi dan Proyeksi Keterlibatan Umat dalam Sejarah Bangsa)  
  • SAGKI 2000 menyoroti pentingnya komunitas basis gerejani sebagai wujud konkret Gereja yang hidup di tengah umat. (Tema : Memberdayakan Komunitas Basis Menuju Indonesia Baru).  
  • SAGKI 2005 mengajak Gereja untuk berperan dalam membangun keadaban publik yang bermartabat dan berkeadilan. (Tema : Bangkit dan Bergeraklah).
  • SAGKI 2010 memperdalam refleksi iman di tengah pluralitas budaya dan penderitaan sosial. (Tema : Ia Datang supaya Semua Memperoleh Hidup dalam Kelimpahan)
  • SAGKI 2015 mengangkat tema keluarga sebagai “Gereja kecil” yang menjadi sumber cinta kasih, harapan, dan kesaksian iman. (Tema: Keluarga Katolik: Sukacita Injil, Panggilan dan Perutusan Keluarga dalam Gereja dan Masyarakat Indonesia yang Majemuk).

Semua itu menunjukkan bahwa SAGKI bukan sekadar rapat lima tahunan, melainkan proses ziarah iman Gereja Katolik Indonesia. Ia adalah ruang di mana umat Allah berjalan bersama — mengolah pengalaman, meneguhkan iman, dan menemukan kembali arah misi di tengah realitas sosial-politik yang dinamis.

Misi Gereja di Tengah Tantangan Zaman

Misi Gereja, sebagaimana ditegaskan dalam Ad Gentes, selalu hadir dalam konteks tertentu. Indonesia dengan segala keberagaman agama, budaya, dan bahasa menghadirkan kekayaan sekaligus tantangan. Sejak masa sebelum kemerdekaan, Gereja Katolik telah berkontribusi besar dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan karya sosial. Melalui sekolah, rumah sakit, dan lembaga karitatif, Gereja berperan nyata dalam membangun martabat manusia.

Namun, seiring berjalannya waktu, persoalan baru muncul: korupsi yang menggerogoti moral bangsa, ketidakadilan sosial, kerusakan lingkungan, kekerasan berbasis gender, serta intoleransi yang mengancam kehidupan bersama. Dalam situasi seperti ini, Gereja ditantang untuk menemukan cara-cara baru dalam mewujudkan misinya, agar tetap relevan dan signifikan di tengah masyarakat.

Paus Leo XIV dalam pesan perdananya Urbi et Orbi menegaskan, “Kita harus bersama-sama mencari cara untuk menjadi Gereja yang misioner, Gereja yang membangun jembatan dan dialog, selalu terbuka untuk menyambut semua orang yang membutuhkan belas kasih.” Pesan ini sejalan dengan semangat SAGKI 2025: membangun Gereja yang mendengarkan, menyembuhkan, dan berjalan bersama umat di berbagai lapisan kehidupan.

SAGKI 2025: Gereja yang Berpengharapan

Tema besar SAGKI 2025 “Berjalan Bersama sebagai Peziarah Pengharapan,” dengan sub tema “Menjadi Gereja Sinodal yang Misioner untuk Perdamaian” berakar pada dua hal utama: kelanjutan dari Sinode Para Uskup tentang sinodalitas dan semangat Yubileum 2025 yang diwartakan Paus Fransiskus melalui bulla Spes Non Confundit (2024). Dokumen ini mengingatkan bahwa pengharapan adalah daya rohani yang membuat Gereja bertahan dan terus berbuat kasih di tengah penderitaan. “Apa pun keadaan hidup kita,” tulis Paus mengutip Santo Agustinus, “kita tidak dapat hidup tanpa iman, harapan, dan kasih.”

Pengharapan itu bukan sikap pasif menunggu mukjizat, melainkan keberanian untuk tetap melangkah, meskipun dunia tampak gelap. Rasul Paulus mengingatkan: “Bersukacitalah dalam pengharapan, bersabarlah dalam penderitaan, dan bertekunlah dalam doa” (Rm 12:12). Gereja yang berpengharapan adalah Gereja yang tetap berjalan — mendengarkan, menyapa, dan melayani — bahkan ketika situasi terasa sulit.

Di sinilah makna mendalam SAGKI 2025: menegaskan kembali panggilan Gereja untuk menjadi tanda pengharapan di tengah bangsa Indonesia. Gereja diharapkan semakin menjadi sahabat bagi yang miskin, penghibur bagi yang menderita, penopang bagi kaum muda, dan rekan seperjalanan bagi mereka yang hidup di pinggiran sosial.

Arah dan Tujuan SAGKI 2025

SAGKI 2025 akan digelar pada 3–7 November 2025 di Hotel Mercure, Ancol, Jakarta Utara. Kegiatan ini menjadi momentum reflektif sekaligus strategis bagi Gereja Katolik Indonesia untuk menegaskan arah pastoral lima tahun mendatang. Tujuan utamanya meliputi empat hal:

  1. Mengembangkan persaudaraan sejati antara hierarki dan umat.
  2. Mewujudkan Gereja Katolik sebagai komunitas pengharapan yang misioner.
  3. Meningkatkan relevansi dan keberlanjutan peran Gereja dalam membangun perdamaian.
  4. Menyusun arah dan haluan pastoral bagi Gereja Katolik Indonesia ke depan.

Tujuan-tujuan ini menunjukkan arah yang jelas: Gereja harus keluar dari zona nyaman institusionalnya, menjadi komunitas yang hidup, kreatif, dan hadir nyata di tengah masyarakat.

SAGKI sebagai Momentum Gereja Lokal

Dalam konteks sejarah dan kehidupan bangsa, SAGKI 2025 menjadi kesempatan istimewa untuk merefleksikan kembali identitas Gereja Katolik Indonesia. Gereja dipanggil untuk berakar pada iman yang mendalam, berpihak pada kemanusiaan yang terluka, serta berani berdialog dengan kebudayaan dan ilmu pengetahuan.

SAGKI adalah panggilan untuk membangun Gereja yang komunikatif, terbuka terhadap dunia digital, dan peka terhadap suara kaum muda. Dalam era media sosial dan disrupsi teknologi, Gereja perlu hadir sebagai ruang narasi kasih dan pengharapan, bukan sekadar institusi yang berbicara dari menara gading moral.

Lebih dari sekadar sidang, SAGKI adalah proses pembelajaran bersama — antara hierarki dan umat, antara Gereja dan dunia. Di dalamnya terkandung semangat communio, yaitu persekutuan yang saling melengkapi dan memperkaya.

Penutup: Gereja Peziarah yang Berharap

Perjalanan Gereja Katolik Indonesia dari SAGKI 1995 hingga 2015 telah menunjukkan satu hal penting: Gereja selalu bergerak, selalu diperbaharui oleh Roh Kudus. Kini, SAGKI 2025 hadir sebagai tanda kelanjutan ziarah iman itu — Gereja yang berjalan bersama dalam pengharapan, mencari kehendak Allah di tengah dunia yang rapuh namun penuh kemungkinan.

Paus Fransiskus dalam Evangelii Gaudium (2013) menulis, “Sukacita Injil memenuhi hati dan hidup semua orang yang menjumpai Yesus.” Sukacita itu kini hendak diwujudkan dalam SAGKI 2025 — agar Gereja Katolik Indonesia tidak hanya berjalan bersama, tetapi juga menghadirkan wajah Kristus yang membawa damai, pengharapan, dan kasih bagi seluruh bangsa.