Home KATEKESE Ajaran Gereja Pesan Paus Fransiskus untuk Hari Minggu Misi Sedunia ke-95

Pesan Paus Fransiskus untuk Hari Minggu Misi Sedunia ke-95

Gereja Katolik Indonesia, Iman Katolik, Katekese, Katolik, Kitab Suci, Komsos KWI, Konferensi Waligereja Indonesia, KWI, Lawan Covid-19, Pesan Paus Fransiskus, Hari Minggu Misi Sedunia, Pewartaan, Umat Katolik, Yesus Juruselamat
PESAN BAPA SUCI PAUS FRANSISKUS
UNTUK HARI MINGGU MISI SEDUNIA KE-95, 24 OKTOBER 2021

“Kami tidak mungkin untuk tidak berkata-kata tentang apa yang telah kami lihat dan kami dengar” (Kis. 4:20)

Saudari-saudara terkasih,

Begitu kita mengalami daya kekuatan kasih Allah, dan menyadari kasih kebapaan-Nya dalam hidup pribadi dan komunitas, kita tidak bisa tidak mewartakan dan berbagi apa yang telah kita lihat dan dengar. Relasi Yesus dengan para murid dan kemanusiaan-Nya – seperti  dinyatakan dalam misteri Penjelmaan-Nya – Injil serta misteri Paskah, memperlihatkan betapa Allah mengasihi kita, serta menjadikan sukacita dan penderitaan, harapan dan keprihatinan kita milik-Nya sendiri (bdk. Gaudium et Spes, 22). Segala sesuatu tentang Kristus mengingatkan bahwa Ia mengetahui dengan baik dunia kita dan kebutuhannya akan penebusan, dan memanggil kita untuk aktif terlibat dalam misi ini: “Karena itu pergilah ke persimpangan-persimpangan jalan dan undanglah setiap orang yang kamu jumpai” (Mat. 22:9). Tidak ada yang dikecualikan, tidak ada yang perlu merasa jauh atau diasingkan dari cinta yang penuh kasih sayang ini.

Pengalaman para Rasul

Sejarah evangelisasi mulai dengan kehendak Tuhan untuk memanggil setiap orang dan berdialog dengannya sebagai sahabat (bdk. Yoh. 15:12-17). Para Rasul adalah yang pertama menceritakan pengalaman ini kepada kita. Mereka bahkan mengingat waktu dan saat ketika mereka pertama kali menjumpai-Nya: “Waktu itu kira-kira pukul empat sore” (Yoh. 1:39). Mereka mengalami persahabatan Tuhan, menyaksikan Dia menyembuhkan orang sakit, makan bersama orang berdosa, memberi makan orang lapar, mendekat pada orang tersingkir, menyentuh yang najis, menyamakan diri dengan yang membutuhkan, menyatakan Sabda Bahagia dan mengajar dengan cara yang baru dan berwibawa, meninggalkan tanda yang tak terhapuskan pada mereka, membangkitkan kekaguman, sukacita yang besar dan rasa syukur yang mendalam. Nabi Yeremia menggambarkan pengalaman ini sebagai salah satu kesadaran akan kehadiran Tuhan di hati kita, yang mendorong kita untuk bermisi, terlepas dari pengorbanan yang diperlukan dan kesalahpahaman yang mungkin terjadi (bdk. 20:7-9). Cinta selalu bergerak dan menginspirasi kita untuk berbagi pesan yang indah dan penuh harapan: “Kami telah menemukan Mesias” (Yoh. 1:41).

Bersama Yesus, kita juga telah melihat, mendengar dan mengalami bahwa segala hal dapat berbeda. Bahkan sekarang, Ia telah membuka masa depan, dengan mengingatkan kita tentang dimensi kemanusiaan yang sering terlupakan, yaitu bahwa “kita diciptakan untuk sebuah pemenuhan yang hanya dapat dicapai di dalam kasih” (Fratelli Tutti, 68). Masa depan yang membangkitkan iman yang mampu memunculkan inisiatif-inisiatif baru dan membentuk komunitas pria dan wanita yang, dengan belajar menerima kerapuhan mereka sendiri maupun kerapuhan orang lain, memperjuangkan persaudaraan dan persahabatan sosial (bdk. Ibid., 67). Komunitas gerejawi mengungkapkan keagungannya setiap kali mengingat dengan rasa syukur bahwa Tuhan sudah lebih dulu mencintai kita (bdk. 1 Yoh. 4:19). “Kegemaran Tuhan untuk mencintai menakjubkan kita, dan ketakjuban ini pada hakikatnya tidak dapat dimiliki atau dipaksakan […] Hanya dalam cara ini keajaiban kesukarelaan, pemberian diri secara tulus dapat berkembang mekar. Semangat misioner juga tidak pernah dapat diperoleh semata-mata sebagai hasil dari penalaran atau perhitungan. Menjadi ‘dalam status misi’ merupakan cerminan dari rasa syukur” (Pesan untuk Karya Kepausan, 21 Mei 2020).

Meski begitu, segala sesuatunya tidak selalu mudah. Jemaat Kristen perdana memulai hidup imannya di tengah-tengah permusuhan dan penderitaan. Pengalaman terpinggirkan dan terpenjara berpadu dengan pergumulan internal maupun eksternal yang tampaknya saling bertentangan dan bahkan meniadakan apa yang telah mereka lihat dan dengar. Tetapi, alih-alih berbagai kesulitan atau halangan itu menyurutkan mereka atau membuat mereka menutup diri, justru sebaliknya pengalaman-pengalaman itu mendorong mereka mengubah berbagai masalah, konflik, dan kesulitan menjadi kesempatan dan peluang untuk bermisi. Keterbatasan dan halangan menjadi kesempatan istimewa untuk mengurapi segala sesuatu dan semua orang dengan Roh Tuhan. Tidak ada sesuatu pun dan tak ada seorang pun akan dikecualikan dari pesan pembebasan.

Kita memiliki kesaksian yang hidup akan semua hal ini dalam Kisah Para Rasul, sebuah buku yang selalu mudah dimengerti oleh para murid yang diutus. Di sana kita membaca bagaimana keharuman Injil tersebar luas, dengan membangkitkan sukacita yang hanya dapat dicurahkan sendiri oleh Roh. Kitab Kisah Para Rasul mengajar kita untuk bertahan terhadap kesulitan dengan berpegang teguh kepada Kristus, supaya tumbuh dalam “keyakinan bahwa Allah mampu bertindak dalam berbagai situasi, bahkan di tengah hal-hal yang tampaknya gagal” dan dalam kepastian bahwa “semua orang yang mempercayakan diri pada Allah dalam kasih akan berbuah banyak” (Evangelii Gaudium, 279).

Hal yang sama berlaku bagi kita: masa sekarang ini tidak mudah. Pandemi masih terus berlangsung dan memperbesar rasa sakit, kesendirian, kemiskinan dan ketidakadilan yang telah dialami oleh begitu banyak orang. Pandemi ini telah membuka selubung kepalsuan rasa aman serta memperlihatkan kehancuran dan polarisasi yang diam-diam merebak di tengah-tengah kita. Mereka yang paling lemah dan rentan telah merasakan lebih dari itu. Kita putus asa, kecewa, dan lelah. Kita juga tidak kebal terhadap hal-hal negatif yang berkembang menahan harapan. Namun kita berpendirian, “kami tidak mewartakan diri kami sendiri, tetapi Yesus Kristus sebagai Tuhan dan diri kami sebagai hambamu karena kehendak Yesus” (2 Kor. 4:5). Hasilnya, dalam komunitas dan keluarga, kita dapat mendengar pesan hidup yang penuh kuasa menggema di hati dan kita mewartakan: “Ia tidak di sini, tetapi telah bangkit!” (Luk. 24:6). Pesan pengharapan ini menghancurkan setiap bentuk determinisme. Kepada mereka yang membiarkan diri disapa olehnya, pesan tersebut melimpahkan kebebasan dan keberanian kreatif untuk bangkit dan mencari jalan yang mungkin untuk menghadirkan belas kasih dan “sakramental” kedekatan Allah kepada kita, yaitu kedekatan yang tidak menelantarkan siapa pun di sepanjang sisi jalan.

Pada masa pandemi ini, ketika ada godaan untuk mengaburkan dan membenarkan sikap tidak peduli dan masa bodoh atas nama menjaga jarak (social distancing)  demi kesehatan, ada kebutuhan mendesak untuk misi belas kasih, yang menjadikan jarak yang diperlukan itu sebagai kesempatan untuk bertemu, peduli, dan menawarkan belas kasih tersebut. “Apa yang telah kami lihat dan kami dengar” (Kis. 4:20), belas kasih yang telah kita alami, dapat menjadi rujukan dan sumber kredibilitas, yang memampukan kita memulihkan hasrat bersama untuk membangun “sebuah komunitas di mana kita saling memiliki dan setia kawan, mengalokasikan tenaga dan sumber daya kita (Fratelli Tutti, 36). Sabda Tuhan setiap hari menolong dan menyelamatkan kita dari alasan-alasan yang dapat menjerumuskan kita ke dalam jenis skeptisisme terburuk: “Tidak ada sesuatu pun berubah, segala sesuatu tetap sama.” Kepada mereka yang bertanya-tanya mengapa mereka harus menyerahkan keamanan, kenyamanan dan kesenangan jika mereka tidak dapat melihat hasil penting, jawaban kita akan selalu sama: “Yesus Kristus telah menang atas dosa dan kematian dan sekarang mahakuasa. Yesus Kristus sungguh hidup” (Evangelii Gaudium, 275) dan menginginkan kita hidup, bersaudara, dan mampu menghargai dan berbagi pesan pengharapan ini. Di lingkungan kita saat ini, ada kebutuhan yang mendesak akan misionaris pengharapan yang, dipilih oleh Tuhan, dapat menyampaikan pesan kenabian bahwa tak seorang pun diselamatkan oleh dirinya sendiri.

Seperti para Rasul dan jemaat Kristen perdana, kita juga dapat mengatakan dengan penuh keyakinan: “Kami tidak mungkin untuk tidak berkata-kata tentang apa yang telah kami lihat dan kami dengar” (Kis. 4:20). Segala sesuatu yang telah kita terima dari Tuhan dimaksudkan untuk digunakan dengan baik dan dibagikan dengan bebas kepada orang lain. Sama seperti para Rasul melihat, mendengar, dan menyentuh daya penyelamatan Yesus (bdk. 1 Yoh. 1:1-4), kita juga setiap hari dapat menyentuh daging Kristus yang sedih dan mulia. Di sana kita dapat menemukan keberanian untuk berbagi dengan setiap orang yang kita jumpai takdir pengharapan, pengetahuan yang pasti bahwa Tuhan selalu bersama kita. Sebagai orang Kristen, kita tidak dapat mendekap Tuhan untuk diri kita sendiri: misi evangelisasi Gereja menemukan pemenuhan lahiriah dalam transformasi dunia dan pelestarian ciptaan.

Undangan untuk kita masing-masing

Tema Hari Misi Sedunia tahun ini – Kami tidak mungkin untuk tidak berkata-kata tentang apa yang telah kami lihat dan kami dengar” (Kis. 4:20) – merupakan panggilan kepada kita masing-masing untuk “memiliki” dan membawa kepada orang lain apa yang kita kandung dalam hati kita. Misi selalu menjadi tanda resmi Gereja, karena “Gereja ada untuk mengevangelisasi” (Santo Paulus VI, Evangelii Nuntiandi, 14). Hidup iman kita melemah, kehilangan daya kenabian dan kemampuannya untuk membangkitkan rasa kagum dan syukur ketika kita terisolasi dan menarik diri ke dalam kelompok-kelompok kecil yang tertutup. Pada hakikatnya, hidup iman menuntut keterbukaan terus-menerus untuk merangkul semua orang di mana pun juga. Jemaat Kristen perdana, yang jauh dari kata menyerah pada godaan untuk menjadi kelompok elite, didorong oleh Tuhan dan memberikan hidup barunya untuk pergi di antara bangsa-bangsa dan untuk memberikan kesaksian tentang apa yang telah mereka lihat dan dengar: kabar baik bahwa Kerajaan Allah sudah dekat. Mereka melakukannya dengan kemurahan hati, rasa syukur dan keluhuran budi yang menaburkan benih-benih pengetahuan bahwa orang lain akan menikmati hasil usaha dan pengorbanan mereka. Saya suka berpikir bahwa “bahkan mereka yang paling lemah, terbatas dan bermasalah dapat menjadi misionaris dengan cara mereka sendiri, karena kebaikan selalu dapat dibagikan, kendati ada banyak keterbatasan yang mengiringi” (Chistus Vivit, 239).

Pada Hari Minggu Misi Sedunia, yang kita rayakan setiap tahun pada Minggu kedua terakhir Oktober, kita dengan rasa syukur mengenang semua orang baik laki-laki maupun perempuan yang dengan kesaksian hidupnya membantu kita untuk membarui komitmen baptis kita untuk menjadi rasul-rasul Injil yang murah hati dan penuh sukacita. Marilah kita secara khusus mengenangkan semua yang dengan gagah berani berangkat, meninggalkan rumah dan keluarga, untuk membawa Injil ke segala tempat dan kepada semua orang yang haus akan kabar keselamatannya.

Dengan merenungkan kesaksian misioner mereka, kita diilhami untuk memberanikan diri dan memohon kepada “Tuan yang memiliki panenan untuk mengirimkan pekerja-pekerja untuk panenan itu” (Luk. 10:2). Kita tahu bahwa panggilan kepada misi bukanlah perkara masa lampau, atau kenangan romantis masa lalu. Hari ini juga Yesus membutuhkan hati yang mampu mengalami panggilan sebagai kisah cinta sejati yang mendorong mereka pergi ke pinggiran dunia sebagai pewarta-pewarta dan pelaku-pelaku belas kasih. Ia menyampaikan panggilan ini kepada setiap orang, dan dalam cara-cara yang berbeda. Kita dapat memikirkan wilayah pinggiran di sekitar kita, di pusat kota atau keluarga kita sendiri. Keterbukaan universal pada cinta memiliki dimensi yang bukan sekedar geografis, tetapi eksistensial. Pada khususnya di masa pandemi ini, selalu penting mengembangkan kemampuan kita setiap hari untuk memperluas lingkaran kita, untuk menjangkau orang lain yang, meskipun secara fisik dekat dengan kita, tetapi tidak serta merta menjadi bagian dari “lingkaran perhatian” kita (bdk. Fratelli Tutti, 97). Untuk berada dalam misi, kita harus memiliki kehendak untuk berpikir seperti Kristus sendiri, untuk percaya bersama-Nya bahwa mereka yang ada di sekitar kita juga merupakan saudari-saudara kita. Semoga belas kasih-Nya menjamah hati kita dan menjadikan kita semua murid-murid sejati yang diutus.

Semoga Maria, murid pertama yang diutus, meningkatkan dalam diri semua orang yang telah dibaptis hasrat untuk menjadi garam dan terang dunia (bdk. Mat. 5:13-14).

 

Roma, Santo Yohanes Lateran,

6 Januari 2021

Hari Raya Penampakan Tuhan

 

Fransiskus

 

Poster HMMS 2021 ; Liturgi HMMS 2021 ; Missio KKI Edisi 61 – HMMS 2021