Home KATEKESE Ajaran Gereja Privilegium Paulinum

Privilegium Paulinum

Relevansi kanon 1143, KHK 1983

cincin kawin
Perkawinan yang dilangsungkan oleh dua orang tak dibaptis diputus berdasarkan privilegium paulinum

Kemurahan

Kanon 1143: menyatakan:

§ 1. Perkawinan yang dilangsungkan oleh dua orang tak dibaptis diputus berdasarkan privilegium paulinum demi iman pihak yang telah menerima baptis, oleh kenyataan bahwa pihak yang telah dibaptis tersebut melangsungkan perkawinan baru, asalkan pihak yang tak dibaptis pergi,

§ 2. Pihak tak dibaptis dianggap pergi, jika ia tidak mau hidup bersama dengan pihak yang dibaptis atau tidak mau hidup bersama dengan damai tanpa menghina Pencipta kecuali orang itu setelah baptis yang telah diterimanya memberi alasan wajar kepadanya untuk pergi.

Privilegi paulinum didasarkan pada jawaban Rasul Paulus mengenai suatu perkara perkawinan yang dilaksanakan oleh dua orang tidak baptis, yang salah satunya setelah menikah, bertobat dan menjadi Katolik. Yang menjadi persoalan adalah bahwa pihak yang tidak bertobat, tak mau hidup dengan damai dengan pihak yang menjadi katolik.

Santo Paulus menyatakan bahwa dalam perkara macam itu pihak yang katolik menjadi bebas (bdk. 1. Kor 7:12-15). Apa yang dimaksud dengan Santo Paulus? Bebas untuk berpisah atau bebas untuk menikah kembali? Penafsiran yang diterima adalah bebas untuk menikah kembali. Penafsiran yang diterima dan dipraktekkan dalam Gereja sejak abad IV adalah bebas untuk menikah kembali tetapi diantara para ahli KS tidak ada kesepakatan penuh akan soal ini.

Mereka yang tidak menerima penafsiran ini dengan demikian bukan berarti menolak nilai dari privilegi paulinum. Mereka mendasarkan pemutusan perkawinan macam itu pada kuasa dalam Gereja dan bukan yang diberikan oleh sang rasul. Pendek kata, hal ini mengurusi perkara perkawinan yang terjadi antara dua orang tidak dibaptis, dimana salah satu tetap tidak baptis, dan tidak bersedia hidup bersama dengan yang lain yang bertobat, atau sekurang-kurangnya hidup bersama dengan damai tanpa menghina sang pencipta yakni tidak menghalangi pihak yang menjadi katolik menghayati agamanya.

Privilegi ini adalah kemurahan demi iman maksudnya memungkinkan pihak yang mengusahakan baptis dalam Gereja katolik, untuk  dibaptis dan menikah kembali atau yang telah menjadi katolik untuk menikah kembali dan dengan menjalani hidup kristen secara penuh dalam Gereja katolik.

Syarat-syarat

•1.      Perkawinan yang mau diputuskan harus yang terjadi antara dua orang yang tidak baptis, yang salah satunya ingin dibaptis (pihak bertobat) dan tetap tidak dibaptis (pihak tidak bertobat).

•2.      Perginya pihak tidak bertobat. Ini berarti bahwa pihak tidak bertobat tanpa suatu alasan menolak hidup bersama dengan pihak bertobat atau hidup bersama dengan pihak bertobat dalam damai dan tanpa menghina Pencipta.

•3.      Interpelasi pihak tidak bertobat untuk meyakinkan bahwa dia tidak ingin dibaptis atau hidup bersama dengan pihak bertobat dalam damai dan tanpa menghina Pencipta

•4.      Baptis pihak bertobat dalam Gereja Katolik atau diterima dalam Gereja Katolik jika setelah menikah pernah dibaptis dalam Gereja non Katolik, sementara pihak tak bertobat tetap tidak baptis.

Jika syarat-syarat ini dipenuhi, pihak bertobat memperoleh hak untuk menggunakan privilegi dan melaksanakan sebuah perkawinan baru.

Kemurahan harus antara dua orang tak dibaptis

Seperti halnya semua kemurahan umum untuk privilegi iman, privilegi paulinum hanya bisa diterapkan pada perkawinan yang dilaksanakan antara dua orang yang tak dibaptis. Jika salah satu mempelai telah menerima baptis sebelum perkawinan dan jika baptis ini sah atau adanya diragukan, maka kanon 1150 dalam penerapannya yang kedua bisa dipakai untuk menganggapnya sebagai perkawinan antara dua orang tidak baptis. Tetapi jika persatuan ini menjadi diragukan ratum dan consummatumnya maka privilegi ini tidak bisa dipakai.

Pembatasan oleh Takhta Suci

Harus diperhatikan juga pembatasan berikut dalam menggunakan kanon 1150 dalam penerapannya yang kedua. Jika sebelum perkawinan salah satu orang baptis di sebuah Gereja atau sekte non katolik dan jika pihak baptis ini diragukan, perkara ini harus dikirim ke Kongregasi Suci ajaran iman yang mereservir bagi dirinya sendiri penilaian tentang sahnya baptis ini. Tetapi reservasi ini bukan untuk sahnya tapi penggunaan legitim privilegi paulinum (Vatikan menegaskan reservasi ini).

Perginya pihak tidak  bertobat

Perginya pihak tidak bertobat terjadi jika pihak tidak bertobat tidak bersedia hidup bersama dengan pihak bertobat atau sekurang-kurangnya hidup dalam damai tanpa menghina Pencipta. Jika sama sekali tidak bersedia hidup bersama dalam damai tanpa menghina Pencipta kepergian itu bersifat moral. Kepergian fisik memang tidak dibenarkan. Hal itu berarti bahwa tidak boleh disebabkan oleh tingkah laku jelek dari pihak bertobat, setelah baptis. Tetapi jika tingkah laku jelek semacam itu tidak sengaja atau diimbangi oleh tingkah laku jelek pihak tidak bertobat, privilegi paulinum masih bisa dipakai.

Dalam keraguan yang tidak terpecahkan tentang soal ini Kan 1150, bisa diterapkan: “dalam keraguan, privilegi iman memperoleh perlindungan hukum”. Kepergian moral terjadi bila perbuatan dan kata-kata pihak tidak bertobat entah menyebabkan pihak bertobat ada di dalam bahaya kehilangan iman atau melakukan dosa besar, atau membuat hidup sangat menyesakkan bagi pihak bertobat.

Sukarnya hidup bersama dan penghinaan pada Allah harus disebabkan oleh pihak tidak bertobat dan bukan karena orang lain, misalnya saudara pihak tidak bertobat. Pihak tidak bertobat harus bertanggungjawab secara pribadi untuk situasi itu. Tetapi hal itu tidak berarti bahwa pihak tidak bertobat harus secara langsung bersalah dalam perbuatan yang merupakan kepergian moral itu. Bahkan juga tanpa dosa formal perbuatan tetap bisa merupakan suatu bahaya meninggalkan iman atau secara sungguh menghina Allah.

Perbuatan atau kata-kata dari pihak tidak bertobat yang merupakan bahaya besar untuk berdosa misalnya mencoba mengajak bertobat untuk melakukan dosa berat: percaya takhyul, bidaah, murtad. Perbuatan atau kata-kata yang membuat hidup menyesakkan bagi pihak  bertobat misalnya: perlakuan kasar tanpa sebab jelas, kebiasaan bertengkar, memukul, merendahkan dan lain sebagainya.

Satu hal yang perlu dilakukan seturut kanon 1144: agar pihak yang dibaptis dapat melangusngkan perkawinan baru dengan sah, pihak yang tidak dibaptis selalu harus diinterpelasi: apakah ia mau juga dibaptis? Apakah setidak-tidaknya ia mau hidup bersama dalam damai dengan pihak yang dibaptis tanpa menghina sang pencipta? Interpelasi ini harus terjadi setelah baptis tetapi ordinaris wilayah dapat mengizinkan bahwa interpelasi dilakukan sebelum baptis, bahkan dapat memberikan dispensasi dari interpelasi.