Home OPINI Kewajiban Misa Harian Bagi Seorang Imam

Kewajiban Misa Harian Bagi Seorang Imam

“Tidak Diwajibkan Secara Hukum Tapi Sangat Dianjurkan”:

Tentang Misa Setiap Hari Untuk Imam

RD. Rikardus Jehaut

Pendahuluan

Antara imamat dan Ekaristi terdapat hubungan yang sangat erat. Santo Yohanes Paulus II membahasakan relasi di antara kedua hal ini dalam sebuah pernyataan teologis sarat makna yang menggedor kesadaran: “There can be no Eucharist without the priesthood, just as there can be no priesthood without the Eucharist” (John Paul II, Gift and Mystery. On the Fiftieth Anniversary of My Priestly Ordination, New York, 1996, hlm. 77-78). Identitas kedirian seorang imam dan eksistensi imamatnya dikonfigurasikan melalui Ekaristi. Seorang imam memenuhi tugas pelayanan pastoralnya dan memanifestasikan dirinya dalam segala kepenuhannya ketika ia merayakan Ekaristi.

Pertanyaan yang sering kali muncul ke permukaan adalah jika Ekaristi tidak dapat dipisahkan dari imamat, lalu mengapa Legislator Gereja universal hanya memberikan rekomendasi dan tidak memberikan penegasan secara eksplisit yang mewajibkan semua imam untuk merayakan Ekaristi setiap hari sebagaimana kewajiban mendoakan Ibadat Harian (Bdk. KHK Kan. 276, §2, 3°)? Bukankah Ekaristi merupakan nafas dan kekuatan bagi hidup dan karya kerasulan seorang imam? Bukankah imam (pastor paroki) harus mengusahakan agar Ekaristi menjadi pusat kehidupan umat dan karena itu perlu dirayakan setiap hari? Untuk menjawabi pertanyaan besar seperti ini kita perlu mencermati secara serius apa yang tertuang dalam ketentuan hukum kanonik dan berbagai pernyataan resmi magisterium Gereja.

Titik Tolak

Di bawah judul, “Kewajiban-kewajiban dan hak-hak klerus”, Kitab Hukum Kanonik dalam norma kanon 276, § 1 dan 2§, 2°, menyatakan bahwa dalam hidupnya para klerus terikat untuk mengejar kekudusan dengan alasan khusus (ad sanctitatem persequendam peculiari ratione tenentur) oleh karena mereka telah dibaktikan kepada Allah dengan dasar baru dalam penerimaan tahbisan dengan menjadi pembagi misteri-misteri Allah (dispensatores sint mysteriorum Dei) dalam mengabdi umat-Nya. Agar mampu mengejar kesempurnaan ini, para klerus dihimbau untuk memupuk hidup spiritual dengan santapan ganda, yakni Kitab Suci dan Ekaristi; mereka dihimbau dengan sangat untuk mempersembahkan Kurban Ekaristi setiap hari (enixe igitur sacerdotes invitantur ut cotidie Sacrificium eucharisticum offerent).

Pada umumnya para imam memenuhi himbauan ini dengan merayakan Misa harian bersama umat atau pun konselebrasi bersama dengan imam lain. Di samping itu, mereka juga dapat merayakan Ekaristi seorang diri tanpa kehadiran pelayan altar atau umat Allah. Pentingnya Ekaristi bagi hidup seorang imam ditegaskan oleh Santo Yohanes Paulus II dalam suratnya kepada para imam pada tahun 1999. Dalam suratnya itu, ia mengatakan bahwa ketika seorang imam merayakan Ekaristi, ia secara pribadi mendekatkan dirinya pada misteri Kristus yang tak terselami. Setiap hari seorang imam masuk ke kedalaman misteri penebusan dan rahmat dengan merayakan Misa Kudus, yang mempertahankan makna dan nilainya, bahkan ketika, karena alasan yang wajar dan masuk akal, dirayakan tanpa partisipasi umat beriman, namun selalu untuk umat dan untuk keseluruhan dunia (Bdk. Yohanes Paulus II, Letter to Priests for Holy Thurday 1999, no. 6). Ada banyak kisah tentang para imam yang dipenjarakan dan diasingkan di kamp-kamp penjara Nazi dan Komunis yang menemukan kekuatan, kenyamanan, dan identitas baru dengan mempersembahkan Misa Kudus sendirian, namun tetap bersatu dengan Sang Juru Selamat Yesus Kristus dan Gereja.

Imam harus memenuhi ajakan untuk mempersembahkan Misa Kudus setiap hari because of who he is.  Sebagai seorang pelayan firman dan sakramen dan sebagai orang yang bertindak in persona Christi, identitas imam menjadi sangat jelas ketika ia merayakan Ekaristi (Bdk. Santo Thomas Aquinas, Summa Theologiae, Supp., q. 36, a. 2, ad.1). Dengan merayakan Misa Kudus, seorang imam masuk ke dalam misteri imamatnya. Sebagai pusat dan puncak kehidupan Kristiani, yang mencakup di dalamnya kehidupan parokial, diosis, seminari, dan pelbagai bentuk realitas eklesial lainnya (KHK kan. 246 par. 1; 369; 528 par. 2, kan. 663), Ekaristi adalah yang utama, sarana dan tujuan dari pelayanan imamat mengingat bahwa semua pelayan gerejani dan karya kerasulan disatukan secara erat pada Ekaristi dan diarahkan kepadanya (Bdk.  Presbyterorum Ordinis no. 5; Benediktus XVI, Exhortasi Apostolik Post-sinodale, Sacramentum caritatis, 22 pebruari 2007, no. 78; 84-88). Atas dasar itulah maka Magisterium Gereja sepanjang sejarah menghimbau para imam untuk merayakan Ekaristi setiap hari (Bdk. Presbyterorum Ordinis no. 13; Paul VI, Encycl. Mysterium Fidei, 3 september 1965, dalam AAS 57 (1965) hlm. 761-762; Benediktus XVI, Sacramentum caritatis, no. 80; Kongregasi untuk Para Imam, Direttorio per il ministero e la vita dei presbiteri, no. 66 ). Dan sesungguhnya, dengan merayakan Ekaristi setiap hari, para imam bertanggung jawab dalam menghadirkan tindakan penyelamatan Yesus Kristus secara terus menerus dan memberikan kesaksian bukan hanya kepada persekutuan umat Allah yang mengambil bagian secara langsung dalam perayaan tersebut melainkan juga kepada Gereja universal (Bdk. Kongregasi Ibadat Ilahi dan Tata Tertib Sakramen, Instr. Redemptionis Sacramentum no. 30).

Enixe Commendatur Celebratione Cotidiana

Bertitik tolak dari apa yang ditegaskan di atas maka Legislator dalam kanon 904 menegaskan bahwa: “Para imam, dengan selalu mengingat bahwa dalam misteri Kurban Ekaristi itu karya penebusan dilaksanakan terus, hendaknya kerapkali merayakannya; bahkan sangat dianjurkan perayaan tiap hari, yang juga meskipun tidak dapat dihadiri oleh umat, merupakan tindakan Kristus dan Gereja; dalam melaksanakan itu para imam menunaikan tugasnya yang utama. Eksegese normatif atas kanon ini memperlihatkan adanya kesinambungan dengan ajaran magisterium Gereja sebelumnya. Norma kanon ini memakai kata keterangan ”kerapkali” (frequenter) yang secara implisit menggariswabahi sebuah perintah, dan  kata keterangan “tiap hari” (cotidiana) yang menegaskan kewajiban moral seorang imam.

Hubungan yang erat antara imamat dan Ekaristi menjadi dasar bagi Legislator menghimbau semua imam untuk merayakan Ekaristi setiap hari, baik bersama umat maupun tanpa kehadiran umat (Bdk. Presbyterorum Ordinis, no. 13; Sacrosanctum Concilium, no. 26-17; P. Erdö, Expressiones obligationis et exhortationis in Codice Iuris Canonici, dalam “Periodica” 76 (1987) hlm. 21-23). Norma kanon memakai kata keterangan “sangat dianjurkan” (enixe commendatur).  Kata keterangan ini hendak menegaskan bahwa merayakan Ekaristi bukan sekedar anjuran biasa, melainkan sebuah permintaan yang menuntut untuk dipenuhi mengingat bahwa perayaan Ekaristi merupakan principal ministry seorang imam dan bahwa dengan merayakan Ekaristi, para imam membawa manfaat rohani yang sangat besar bagi umat beriman (Bdk. Presbyterorum Ordinis, no. 5). Untuk alasan itu jugalah maka para imam tidak dianjurkan untuk mengambil bagian dalam Ekaristi seperti kaum awam (Bdk. Kongregasi Ibadat Ilahi dan Tata Tertib Sakramen, Instr. Eucharisticum mysterium no. 42).

Bukan Sebuah Kewajiban Yuridis

Analisis terhadap ketentuan normatif kanon 904, memperlihatkan bahwa seorang imam tidak diwajibkan secara hukum untuk merayakan Ekaristi setiap hari. Secara spontan hal ini barangkali menimbulkan tanda tanya yang besar. What is going on here? Norma kanon tidak memberikan alasan mengapa tidak ada penegasan eksplist yang mewajibkan seorang imam untuk merayakan Ekaristi sebagaimana kewajiban untuk mendokan Ibadat Harian? Untuk memahami hal ini dengan baik, kita membutuhkan sebuah penjelasan teologis ketimbang yuridis.

Seorang imam harus, jika dapat, menghindari diri untuk merayakan Ekaristi jika ia berada dalam keadaan dosa berat (grave sin) dan tidak memiliki kesempatan untuk mengaku dosa terlebih dahulu melalui sakramen rekonsialiasi. Dengan kata lain, seorang imam yang berada dalam keadaan berdosa berat, tidak dianjurkan untuk merayakan Ekaristi kecuali ia telah mengaku dosa sebelumnya. Mengapa? Alasannya bukan karena tidak adanya devosi kepada Sakramen Maha Kudus, tetapi sebaliknya, berdasarkan pada kesadaran akan keber-dosa-an (yang berat) dan demi menghormati sakralitas Kurban Kudus Ekaristi.

Untuk memahami hal ini lebih baik, kita dapat mengambil contoh berikut. Seorang imam misionaris yang ditempatkan di daerah terpencil jatuh dalam dosa berat.  Kendati ia ingin mengaku dosa selekas mungkin, ia tidak dapat menemukan rekan imam untuk mendengarkan pengakuan dosanya pada saat itu juga karena jarak ribuan kilometer dari pusat kota. Contoh seperti ini dapat juga diaplikasi kepada imam lain yang jatuh dalam dosa berat namun tidak dapat segera mengaku dosa beratnya tersebut kepada rekan imam lainnya karena alasan-alasan tertentu.  Jika norma kanon mewajibkan setiap imam untuk merayakan Misa setiap hari, maka imam yang sedang berada dalam situasi seperti yang dilukiskan di atas akan mendapatkan dirinya dalam sebuah dilema moral yang besar: merayakan Ekaristi demi aturan hukum sekalipun dalam keadaan dosa berat atau tidak mentaati hukum  (tidak merayakan Misa) demi menghormati sakralitas Ekaristi Kudus. Jika hukum kanon mewajibkan hal ini, maka ia  berada dalam konfik langsung dengan teologi sakramental dan hal ini jelas tidak dapat diterima. Itulah sebabnya mengapa Kitab Hukum Kanonik tidak memberikan norma yang  secara eksplisit memaksakan kewajiban mutlak bagi setiap imam di seluruh dunia untuk merayakan Misa setiap hari.  Apa yang tampaknya sebagai kelonggaran hukum, sesungguhnya sejalan dengan imam Katolik kita. Hal ini tentu berbeda dengan Ibadat Harian yang wajib dijalankan oleh imam setiap hari. Gereja tidak memiliki keraguan terkait kewajiban yuridis yang harus dijalankan oleh setiap klerus mendaraskan doa ini, karena pun dalam keadaan dosa berat, semua imam diajak untuk berdoa dan harus berdoa.

 Penutup

Ekaristi adalah bagian yang menyatu dengan imamat. Identitas kedirian seorang imam justru menjadi kelihatan lewat Ekaristi yang dirayakan setiap hari. Kecuali jika berada dalam dosa berat dan belum memiliki kesempatan untuk mengakukan dosanya, seorang imam diharapkan untuk tetap menghidupi imamatnya melalui perayaan Ekaristi. Legislator universal menggariskan norma yang bersifat rekomendatif. Formulasi yuridis yang bersifat rekomendatif ini sama sekali tidak bermaksud untuk memberi ruang bagi penafsiran pribadi yang bertentangan dengan mens Legislatoris, dalam arti bahwa sekalipun tidak diwajibkan secara hukum, namun para imam dianjurkan dengan sangat untuk merayakan Ekaristi setiap hari.

Untuk merevitaliasasi eksistensi imamat sakramentalnya, seorang imamat perlu merayakan Ekaristi setiap hari dan merayakannya secara baik dan benar. Sebagaimana manusia membutuhkan udara untuk bernafas, seorang imam membutuhkan Ekaristi untuk dapat hidup dan menghayati imamatnya. Dan hal ini tentu melebihi tuntutan hukum semata-mata. Imamat seorang imam dinilai dari sejauh mana ia menghidupi ekaristi. Tanpa Ekaristi, kehidupan seorang imam menjadi steril. Dan ketika seorang imam mengabaikan ekaristi dalam hidupnya, imamatnya sungguh-sungguh sedang berada dalam bahaya!

Editor: RD. Kamilus

Kredit Foto: https://www.google.co.id/