Beranda ESSAY Tuhan Membiarkan Kita Belajar Dari Pandemi

Tuhan Membiarkan Kita Belajar Dari Pandemi

Dirumah aja, Gerakan Solidaritas, Indonesia, Jaga jarak, Keuskupan Tanjungkarang, Komsos KWI, Konferensi Waligereja Indonesia, pewartaan, Saling Peduli, stay at home, Lawan Covid-19, berkebun dirumah, hasil bumi, tanaman, Gereja Katolik Indonesia, Katolik, Katekese, Essay, Lansia Katolik
Ilustrasi

MIRIFICA.NET – Di setiap keluh kesah mengenai virus corona, terselip juga ucapan terima kasih. Apakah benar bahwa sesungguhnya kehadiran virus ini sama sekali tidak memberi kita keuntungan?. Dulu, dengan mudahnya kita saling berjabat tangan, berkumpul bersama dan bersenda gurau bebas tanpa pusing dengan adanya masker dan face shield. Bahkan kita dengan leluasa beribadah memasuki gereja. Namun, semua itu sejenak berubah sejak kehadiran virus berinisial c itu.

Nampaknya perbedaan kebiasaan dulu dan sekarang sungguh jauh dari kata menyenangkan sebelum kehadiran pandemi covid-19 di dunia. Banyak orang mengeluh dengan kehadiran virus ini dan seluruh dunia dibuatnya gempar. Baik pemerintah hingga rakyat kecil merasa dipusingkan dengan berbagai dampak yang terjadi.

Kesehatan dan ekonomi menjadi dua hal besar yang saling berkaitan satu dengan yang lain. Bila masyarakat sehat, maka mereka bisa bekerja untuk mencari nafkah. Namun, bila masyarakat tidak memiliki nafkah, maka jatuh sakit dapat menjadi ancaman selanjutnya. Mau tidak mau, mereka harus beradaptasi dengan perubahan ini.

Sekarang, mereka tidak lagi bebas berjabat tangan, berkumpul bersama, bahkan untuk beribadah sekalipun. Kehadiran virus covid-19 tentu tidak diharapkan, namun sungguh banyak memberi pelajaran hidup. Mungkin, ada yang bertanya-tanya dimana Tuhan ketika semua ini terjadi?. Apakah Tuhan masih peduli? Mengapa Allah tampaknya tidak melakukan apa-apa?

Kita tahu bahwa Allah itu penuh kasih, buktinya Ia mengirimkan anaknya yang tunggal Yesus Kristus ke dalam dunia. Itulah tanda bahwa penderitaan kita tidak menjauhkan Allah dari dunia, namun menarik Allah lebih dekat kepada kita. Dalam diri Yesus tampak bahwa sesungguhnya Allah merasakan penderitaan kita.

Yesus telah mengalami berbagai penderitaan, bahkan sejak Ia dilahirkan di sebuah kandang sederhana yang jauh dari tempat lahir yang layak. Yesus bersedih ketika Yohanes, sepupunya ditahan dan dihukum mati. Tidak sampai disitu, Ia juga sudah mengalami penderitaan mental yang mendahului rasa sakit-Nya di puncak Golgota dan berbagai macam penderitaan lainnya.

Timbul suatu pertanyaan dari kita, dimana Tuhan selama ini, lebih-lebih dalam situasi sekarang. Yesus pun juga bertanya kepada Bapa-Nya di atas kayu salib, “Allah-Ku, ya Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?”. Perasan ditinggalkan dan kesendirian itu juga telah dirasakan sebelumnya oleh Yesus. Ia hendak menyatakan bahwa Allah juga sedang menderita dan berdiri disamping kita di dalam rasa sakit dan sedih.

Di dalam penderitaan, kita mulai berdoa dengan sungguh-sungguh tidak seperti biasanya. Kita meminta Allah untuk menyelamatkan kita karena menyadari bahwa kita tidak bisa berbuat apa-apa tanpa campur tangan Tuhan. Namun, jika penderitaan itu tetap berlanjut meski kita telah berdoa, disitulah krisis iman terjadi, dimana kita mulai meragukan Allah.

Allah yang diam, seakan tak melakukan apa-apa, justru memilih jalan itu untuk membuka jalan bagi orang lain mendekati kita. Seperti layaknya seorang ibu yang sedang mengantar putranya pertama kali ke sekolah. Meskipun anaknya menangis, namun ibunya dengan berat hati tidak langsung menghampiri anaknya dan membiarkan orang di sekitarnya yang menolong. Terkadang sebuah mukjizat dibutuhkan, namun ada jalan lain yang Tuhan pilih yang menurut-Nya lebih baik demi keselamatan kita.

Jalan yang Tuhan pilih untuk menyelamatkan jiwa kita bukanlah sebuah jalan pintas. Semenjak kehadiran virus ini, keluarga yang jarang berada di rumah lebih memilih berdiam diri di rumah. Orang yang tidak pernah berdoa, sekarang menjadi lebih sering berdoa. Pola hidup bersih yang semula tidak terlalu diperhatikan sekarang lebih menjadi perhatian.

Ketika kita melihat jauh kebelakang, sesungguhnya banyak perubahan yang sebelumnya tidak pernah dilakukan. Bahkan, pertemuan yang dulu dilakukan secara fisik, sekarang berubah menjadi pertemuan virtual. Melalui pertemuan virtual ini, semakin luaslah jangkauan peserta yang bisa mendapatkan akses ke berbagai acara, inilah keuntungan yang sempat kita rasakan, bahkan misa online yang hingga hari ini masih dilakukan.

Bukan berarti bahwa kehadiran misa online semata-mata menggantikan misa offline. Hanya saja, keuntungan ini kita rasakan ketika dengan bebas memilih saluran mana saja yang ingin kita ikuti. Keuntungan ini pun untuk pertama kali dirasakan mereka yang memasuki usia lanjut dan karena keterbatasan tidak bisa hadir secara fisik, namun mereka tetap bisa mengikuti misa.

Pengalaman-pengalaman yang kita rasakan ini membuktikan bahwa di balik setiap peristiwa tidak menyenangkan, pasti ada pelajaran hidup yang didapatkan dan keuntungan atau bonus yang dirasakan. Melalui kehadiran virus ini, kita semakin disadarkan pula bahwa kita hanyalah manusia lemah yang tidak bisa melakukan apa-apa tanpa campur tangan Tuhan. Kita sering sekali mengontrol kehidupan atau rencana hidup kita kepada Tuhan, namun Tuhanlah pada akhirnya yang menentukan.

Manusia dapat berencana, namun Tuhanlah yang menentukan. Kita hanya dapat menjalani kehidupan yang Tuhan sudah sediakan bagi kita. Tugas kita hanya berserah dan melakukan sebisa mungkin apa yang terbaik. Ternyata, kehadiran virus ini tidak semata-mata selalu memberikan dampak buruk bagi kita, namun justru memberi kita pelajaran hidup dan bahkan keuntungan atau bonus yang telah dirasakan. (mpp)

Penulis : Maria Putri Panjaitan