Beranda BERITA Waktu Kecil Aku Dijuluki Kambing Si Carlo

Waktu Kecil Aku Dijuluki Kambing Si Carlo

Suster M. Fransiska FSGM saat mengikuti kegiatan pelatihan menulis kreatif pada PKSN-KWI 2018 di Aula Magna, Wisma Unio Keuskupan Palangka Raya, Rabu (9/5). (Mirifica.net/Kevin Sanly Putra)

Di bawah ini salah satu hasil karya Suster M. Fransiska FSGM, dari Komsos Keuskupan Tanjung Karang yang mengikuti pelatihan menulis kreatif dalam Pekan Komunikasi Sosial Nasional Konferensi Waligereja Indonesia (PKSN-KWI), Selasa hingga Rabu, 8-9 Mei 2018 di Aula Magna Wisma Unio Keuskupan Palangka Raya.

—————————————————————————————————————————————————

Saat duduk di bangku Sekolah Dasar, oleh anggota keluarga yang lain saya dijuluki ‘Kambing Si Carlo’. Nama ini berasal dari sebuah cerita komik anak-anak tentang seekor kambing yang sering sakit-sakitan.

Tuan Carlo merasa kambing ini tidak banyak gunanya. Ia pun berniat menjualnya. Suatu hari Carlo membawanya ke pasar untuk dijual. Tetapi si kambing tidak mau berjalan. Carlo pun menyeretnya dengan paksa, sampai tali yang terikat di leher lepas dan kambing itu lari melarikan diri. Carlo berusaha mengejarnya.

Rupanya, Kambing Carlo itu meninggalkan banyak kotoran. Anehnya ketika didekati, kotoran-kotoran itu berubah. Ada yang menjadi roti, ayam goreng, uang, dan masih banyak lagi. Carlo heran sekaligus menyesal karena telah menyia-nyiakan si kambing. Ternyata yang dianggap tidak berguna justru malah luar biasa. Kambing itu sakti.

Kondisi kambing itu sama dengan fisik saya yang lemah saat itu. Saya sering sakit. Dalam sebulan, saya kerapkali izin tidak masuk sekolah karena sakit. Bahkan di saat-saat ujian mau datang sekalipun. Ada-ada saja penyakitnya. Sakit mata, korengan, gatal-gatal, atau demam tinggi.

Saya pernah asal menganalisa. Mungkinkah kondisi fisik saya ini karena air susu ibu yang saya terima saat masih bayi kurang? Waktu itu saat masih disusui dan usia belum setahun, ibu sudah mengandung adik meski tidak lama setelah lahir adik meninggal. Bisa jadi, ini salah.

Sampai akhirnya saat hendak masuk biara, saya masih ingat momen saat itu. “Suster, anak saya ini sering sakit. Jadi kalau suatu saat dia mau pulang, pintu rumah senantiasa terbuka untuknya kapan saja,”ujar ibu saat menyerahkan saya pada pimpinan biara. Kondisi fisik itu pula yang menjadikan ibu sebenarnya tidak rela melepaskan saya menjadi suster biarawati.

Namun, seiring berjalannya waktu dan entah bagaimana Tuhan Allah bekerja, rahmat kesehatan yang saya rasakan justru melimpah. Selama menjalankan panggilan hidup bakti sebagai suster (23 tahun) saya jarang sekali sakit seperti waktu kecil. Puji Tuhan, apalagi saya alergi obat jenis antibiotik.

Sebagai ucapan syukur, saya berusaha menjaga tubuh supaya sehat dengan memperhatikan gaya hidup entah pola makan, istirahat, dan olahraga yang cukup. Saya belajar peka mendengarkan dan memperhatikan isyarat tubuh. Bila tubuh lelah, saya harus istirahat. Atau saat ada salah satu bagian tubuh, saya akan merawatnya dengan baik. Saya pun tak enggan untuk membaca artikel kesehatan.

Jadi, sebagai religius, saya tidak hanya wajib menjaga kesehatan hidup rohani. Kesehatan jasmani juga harus dijaga. Karena saya yakin, kita dapat makin efektif melayani bila tubuh sehat. Bagaimana bisa menolong dan melayani banyak orang kalau kita sendiri sakit-sakitan?

Apalagi menjaga kesehatan juga merupakan salah satu penghayatan kaul kemiskinan. Saat sakit, biaya berobat bisa jadi tidak sedikit. Karena itu, supaya tidak banyak biaya keluar, kita harus jaga kesehatan.

Tuhan sudah menganugerahkan rahmat tubuh yang utuh dan sehat. Karena itu harus dijaga dan dirawat. Bukankah tubuh itu Bait Allah? Roh Allah yang Kudus diam di dalam diri kita. Seperti yang tertulis, “Bahwa kamu bukan milik kamu sendiri? Sebab kamu telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar: Karena itu muliakanlah Allah dengan tubuhmu!” (1 Korintus 6: 19-20)

Bila sudah berupaya hidup sehat, tetapi ternyata tetap sakit, mau tidak mau kita harus terima kondisi ini. Kita tetap persembahkan pada Tuhan. Karena hidup atau mati kita milik Tuhan (Yohanes 13:8).

Kesehatan bukan segala-galanya tetapi tanpa kesehatan, segala-galanya tidak berarti. Gelar ilmu yang tinggi, materi yang berlimpah pun tidak berarti bila kita sakit.

Hidup ini adalah kesempatan
Hidup ini untuk melayani Tuhan
Jangan sia-sia kan waktu yang Tuhan b’ri
Hidup ini harus jadi berkat

Oh Tuhan pakailah hidupku
Selagi aku masih kuat
Bila saatnya nanti
Ku tak berdaya lagi
Hidup ini sudah jadi berkat