Beranda KWI “Cerita untuk Sahabat”- Bisa Beda Karena Terbiasa Berbeda (1)

“Cerita untuk Sahabat”- Bisa Beda Karena Terbiasa Berbeda (1)

Yessi Hendriani Supartoyo, penulis essay "Harmonisasi Toleransi/Kredit: John Laba Wujon

UA penulis muda, Filisianus Richardus Viktor dan Yessi Hendriani Supartoyo, hadir di acara bedah buku “Cerita untuk Rakyat”, Sabtu (14/10) di Beranda KeKini, Jakarta. Keduanya adalah pemenang pertama dan kedua pada lomba menulis esai yang diprakarsai Komisi Kepemudaan KWI.

Sebenarnya masih ada satu lagi penulis muda yang diundang hadir pada acara tersebut. Benediktus Tandya Pinasthika. Benny, pemenang 3 tak sempat hadir karena sedang mengikuti Ujian Tengah Semester di sekolahnya.

Bersama 250 penulis muda lainnya, Viktor , Yessi, dan Benny adalah tiga penulis yang sungguh beruntung. Dengan latar belakang keluarga yang beragam keyakinan, mereka mampu menangkap pengalaman itu dan menuangkannya dalam tulisan berbentuk esai.  Viktor menulis esai dengan judul “Dia Tetap Keluargaku”. Yessi memilih judul esainya, ” Harmonisasi Toleransi: Memaknai Keindahan Hakiki”. Dan Benny dengan judul “Menggugat karena Cinta”.

Viktor, yang asli Dayak itu mengaku bangga karena keluarga besarnya mampu menerima perbedaan dalam keluarga. Sebagaimana ia kisahkan di dalam buku “Cerita untuk Sahabat” itu. Baginya, perbedaan merupakan warna-warni kehidupan manusia.

Meski demikian, Viktor mengaku perjalanan menuju penerimaan perbedaan di dalam keluarga Viktor bukan tanpa tantangan. Dengan latar belakang keluarga yang berpegang teguh pada adat istiadat Dayak dan penganut Katolik yang saleh, demikian kata Viktor, mulanya tidak mudah untuk menerima dan mengakui perbedaan di dalam keluarga, apalagi ketika ada anggota keluarga yang berpindah keyakinan.

Viktor mengatakan, ketika kakak kandungnya berpindah ke keyakinan lain orang tuanya sempat mengancam kakanya. Tetapi reaksi penolakan itu terjadi pada awal saja. Hingga pada saat Natal, keluarga Viktor akhirnya benar-benar dapat menerima kenyataan itu. Ibunya bahkan berpesan kepada kakak Viktor agar dapat menjalankan keyakinan barunya dengan baik. “Jika kakak saya hendak mengaji atau sholat di dalam rumah, kami selalu memberikan tempat baginya untuk menjalankan ibadat sholat”,kata Viktor di akhir ceritanya.

Pengalaman berbeda dikisahkan Yessi yang saat ini berdomisili  di kota hujan, Bogor. Lahir di Manado dari keluarga Jawa, kemudian pindah dan tinggal di Bogor tanpa disadari telah membantu Yessi dalam memahami keberagaman di tengah masyarakat.

Yessi mengaku, Manado merupakan kota paling toleran di Indonesia. Sedangkan, menurut Yessi, Bogor merupakan kota yang masih berjuang mengatasi problem keberagaman.

Yessi mengatakan itu didasarkan pada pengalamannya ketika pertama kali mencari kos di Bogor. Pada waktu mencari dan bertemu dengan pemilik kos, ia dan ayahnya disodorkan sebuah pertanyaan yang membuatnya kaget dan bertanya-tanya. “Mohon maaf,pa. Anak bapa muslimah”, kata Yessi meniru kembali pertanyaan ibu kos kepada ayahnya.

Menurutnya, pertanyaan seperti itu jarang ditemukan di tengah kehidupan warga Manado. “Jarang sekali orang Manado mempertanyakan keyakinan seseorang. Mereka sudah terbiasa dengan perbedaan karena bisa menerima identitas sosial yang berbeda”, katanya.

Kepada peserta yang hadir di acara bedah buku tersebut, Yessi  berharap essai dapat membantu generasi milenial menghadapi perbedaan di dalam masyarakat Indonesia.