Jika Anda Katolik dan mendengar Bapa Suci wafat, apalagi pernah berjumpa atau berdiri di dekatnya, hati ini terasa “merinding”, bergetar, terharu biru. Bila bukan Katolik, namun sejauh ini bersimpati dengan upaya dialogal Bapa Suci di Timteng, jazirah Arab, Ukraina, Sudan, Kongo, Afrika, Indonesia Timor Leste, dan lain lain, doa-doa Anda bersatu padu dengan tekad gigihnya yang kini dibawa serta ke surga memenuhi panggilan Allah, Sang Pencipta.
Menginginkan tata damai
Franciscus, demikian dia menyebut dirinya saat terpilih menjadi Uskup Roma (Paus), selama hidupnya menginginkan tata damai bagi dunia. Paus tidak memihak siapa pun atau pandangan macam apa saja. Dia hanya menginginkan dunia ini damai. Para pengungsi dibantu keberlangsungan hidupnya. Ukraina tidak diserang habis habisan. Gaza tidak dibom. Sudan, Kongo, Etiopia tidak bertikai sendiri habis habisan. Timteng bisa berdialog damai. Kelompok minoritas (Kristen di Sudan, Katolik Ortodoks di Syria, Rohingnya di Myanmar, suku Indian di Kanada, kaum LGBT, orang tua dan difabel, dan seterusnya di mana pun) tidak dianiaya, melainkan dihormati harkat martabatnya, dilindungi, dicukupkan kebutuhannya. Sebab, mereka adalah putra putri Allah. Tidak ada yang dikecualikan karena alasan apa saja.
“Damai” itu memaksudkan tata adil bagi semua
Franciscus memeluk seorang pemuda dengan wajah penuh bisul karena penyakit yang jarang. Dia memeluk anak autis dan membiarkan anak menduduki kursinya atau mengambil topi putihnya atau memainkan jubahnya. Franciskus ke penjara, membasuh kaki tahanan perempuan yang bukan Katolik. Fransiscus menerima kepala suku dengan pakaian adat setengah badan (tidak ber-jas dan dasi). Franciscus makan bersama gelandangan terpilih yang diundang. Franciscus, mengapa? Mengapa orang orang lemah disapa, disambut, dirangkul? Sebab, tidak ada perdamaian bila kita tidak membela martabat mereka dan tidak memerhatikan mereka. Tata damai terjadi bila para pemimpin dunia memperhatikan dan mengingat mereka yang lemah, menderita, tersingkir, terpojok, yang tidak punya akses hidup baik.
Damai tidak ada bila dengan senjata atau ancaman satu sama lain
Franciscus menandatangani dokumen saling pengertian untuk membangun tata damai. Franciscus menerbitkan Fratelli Tutti sebagai seruan membangun persaudaraan. Franciscus mengunjungi Jazirah Arab, UEA, Irak, Indonesia dan seterusnya. Franciscus mengusung bahasa yang menyapa, dialogal, menyatukan. Ia tersenyum kepada siapa saja. Tetapi Ia juga mengkritik Presiden America di masa masa silam yang lebih suka membangun tembok (pemisah) daripada dialog. Rupanya kini terjadi lagi. Franciscus mungkin tidak berhasil merealisasikan tata damai di beberapa belahan dunia yang hingga saat ini sedang bertikai. Tetapi, jelas dia sangat berduka menyaksikan Ukraina dan Gaza yang terus menerus dibombardir. Anak anak menangis lari tunggang langgang. Dia pun turut menangis. Dia sangat prihatin dengan pemimpin pemimpin dunia yang menebar ancaman baik verbal maupun dengan senjata. Tata damai tidak pernah akan ada dengan perang apa pun, termasuk perang tarif. Tidak. Tidak akan ada yang menang. Semuanya kalah. Semua akan menderita.
Sosok berpengharapan mendalam
Paus Franciscus adalah pemimpin Gereja Katolik. Kata, langkah kaki, senyum, kehadiran, dan dialognya menggetarkan. Bukan karena wibawa kekuasaannya, melainkan karena cintanya, pengharapannya, imannya kepada Kristus yang telah memberikan nyawa-Nya sebagai tebusan bagi manusia. Franciscus mungkin bukan Paus yang “sukses” di mata dunia (apa apa yang dikerjakan selalu berhasil), tetapi dia adalah sosok pribadi yang tidak pernah kehilangan pengharapan bahwa Tuhan akan menyelesaikan karya-Nya, bahwa Dia akan memberikan damai, bahwa umat manusia mampu berdialog untuk membangun tata damai. Dia sosok yang optimis, menginspirasi, berpengharapan teguh, beriman mendalam, penuh cinta, sukacita, dan menyambut-merangkul siapa saja.
Pada saat Pendahulunya, Benediktus XVI mengundurkan diri, langkah Gereja Katolik pada waktu itu nampak “lelah” dengan berbagai terpaan skandal berat, Kardinal Bergoglio memberi semangat demikian kepada para Kardinal, “Kita harus meneladani Abraham, kita harus terus melanjutkan perjalanan terus seturut bimbingan Roh Kudus, apa pun yang terjadi.”
Dan, sekarang pun demikian, Gereja harus terus melangkah berziarah, kali ini dalam doa dan dukacita mendalam sebab tanpa Bapa Suci Franciscus, yang kini dipanggil Bapa di Surga, Sang Empunya kehidupan.
Selamat jalan, Bapa Suci. Ciao, Franciscus!
Romo Armada, CM
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.