Beranda KWI Pertemuan Dosen Katolik: Menjadi Panutan, Referensi, dan Pemimpin (2)

Pertemuan Dosen Katolik: Menjadi Panutan, Referensi, dan Pemimpin (2)

SETELAH  misa dan makan malam bersama, acara pertemuan dosen katolik di KWI (22/1) dilanjutkan dengan pemaparan dua narasumber yaitu Prof. Richardus Eko Indrajit dan Mgr. Ignatius Suharyo.

Prof. Eko yang hadir bersama istri penyanyi terkenal Lisa A. Riyanto memberikan suntikan semangat kepada para dosen yang hadir dengan pemaparan yang jelas dan penuh guyon.

Eko Indrajit yang salah satu profesinya adalah dosen ini ‘mengoleksi’ empat gelar S2 dari universitas terkemuka di dunia seperti Harvard (Amerika Serikat), Leicester University (Inggris), Maastricht School of Management (Belanda) serta dua gelar doktor (University of the City of Manila dan Maastricht School of Management).

Lahir di Jakarta, besar di Sumatera, kuliah di Surabaya, demikian pengalaman hidup yang diutarakannya di awal presentasi. Pakar telekomunikasi, teknologi, dan manajemen ini dengan piawai membawakan presentasinya dan mendapatkan apresiasi dari para dosen yang hadir. (Baca juga:  Pertemuan Dosen Katolik: Peneguhan Spiritualitas dan Jejaring (1)

Dosen sebagai panutan, referensi, dan pemimpin
Eko mengemukakan ada tiga kesempatan dan peluang bagi para dosen terutama yang berkarya di perguruan tinggi non-katolik, yaitu menjadi panutan sebagai terang dan garam dunia di kampus. Dalam lingkup yang lebih luas – lingkungan pendidikan tinggi, dosen bisa menjadi referensi, dan kemudian bertumbuh menjadi pemimpin ketika mampu menjalankan fungsi terang dan garam dalam masyarakat yang heterogen.

Sebagai panutan, dosen perlu menempatkan peserta didik sebagai nomor satu. Membuat mereka senang dan bersemangat dalam menuntut ilmu, serta menanamkan sikap optimis dalam diri peserta didik. Hal ini akan menjadikan dosen sebagai tokoh yang dipercaya dan didengarkan sedangkan mahasiswa akan memiliki kecintaan dalam bidang yang ditekuninya. Ini penting dalam kaderisasi kepemimpinan yang berkualitas dan berkarakter unggul.

Untuk menjadi referensi komunitas, dosen perlu menempatkan kualitas dan nilai-nilai pendidikan sebagai yang paling utama. Sistem belajar mengajar haruslah efektif dalam membentuk lingkungan akademik yang matang dan berbobot. Maka lulusan yang dihasilkan akan kompeten. Kapabilitas dosen seperti ini yang akan meningkatkan mutu pendidikan tinggi tempatnya bekerja dan menjadikannya model bagi perguruan tinggi lain yang ingin maju dan berkembang. (Baca juga: Catholic intellectuals come together in Jakarta to boost Church’s presence in society)

Untuk mendapatkan kondisi ideal seperti itu, dibutuhkan beberapa penunjang yaitu dosen perlu menghayati profesinya sebagai suatu panggilan hidup. Menyeimbangkan antara ‘kerja keras’ dan kerja cerdas’ sebagai pola bekerja yang juga bisa membedakan antara ‘jalan’ dan ‘tujuan’.

Maka tridharma perguruan tinggi yang wajib dijalankan setiap dosen di Indonesia menjadi aktifitas yang menyenangkan. Tridharma perguruan tinggi seharusnya bukan menjadi beban seperti pandangan umum selama ini, tetapi adalah sumber dana bagi perguruan tinggi merujuk ke perguruan tinggi di negara-negara maju, ungkap Eko.

Maka dalam kesehariannya, dosen tersebut selayaknya senang membaca dan menulis, punya semangat mendengar, berbagi, berkolaborasi, berinovasi, dan berteman. Dosen juga tak mengganggap tabu untuk tampil beda, berpikir out of the box, tetapi dibarengi kesiapan untuk dikritik.

Dosen merupakan seorang pembelajar; individu kompeten yang senantiasa memelihara kompetensinya dengan cara belajar tanpa henti. Untuk setia belajar, tentunya sang dosen telah mampu menikmati panggilan hidupnya sebagai seorang dosen katolik.

Eko menyimpulkan, dosen katolik di era global akan mengamalkan open education yaitu dalam artian ‘dengan banyak memberi maka engkau akan banyak menerima’, learning technology dalam iman ‘tinggalkanlah semuanya dan ikutlah aku’ serta gaya pengajaran yang membebaskan ‘biar kanak-kanak datang kepadaku’.

Tiga keutamaan: iman, mediasi, transformasi sosial
Berbicara singkat tentang dosen, Mgr. Suharyo menyatakan bahwa dosen dianggap dan memang merupakan role model di masyarakat. Sebagai dosen katolik, kemampuan imannya ditunjukkan dengan menghayati tiga keutamaan: pertama, iman sebagai inspirasi dimana profesi dosen bukan sekedar ungkapan iman tetapi adalah wujud iman. Kedua, dosen melakukan mediasi.

Mgr. Suharyo menegaskan bahwa tidak ada yang kebetulan dosen atau pun yang kebetulan katolik. Ketiga, transformasi sosial yang berarti mewujudkan Kerajaan Allah di dunia. Ketiganya perlu menjadi prinsip dosen dalam mendidik mahasiswa dan lingkungannya. (Baca juga: Mgr. Ignatius Suharyo: Nilai Kristiani Kerja (1)

Mgr Ignatius Suharyo
Uskup Agung Jakarta sekaligus Ketua Presidium KWI Mgr. Ignatius Suharyo.

Mgr. Suharyo menceritakan satu pengalamannya waktu masih bertugas di Jawa Tengah. Saat itu selaku Uskup KAS, dia didatangi oleh sekelompok dosen ekonomi yang menanyakan apa yang bisa mereka bantu bagi keuskupan. “Didiklah mahasiswa kalian sehingga muncul beberapa lulusan fakultas ekonomi yang memiliki pemikiran seperti Mohammad Yunus (pelopor konsep microcredit dan microfinance, pendiri Grameen Bank di Bangladesh, penerima hadiah Nobel perdamaian 2006). Jawaban ini tampaknya tidak diantisipasi oleh para dosen tersebut,” demikian kisah Mgr. Suharyo sambil tersenyum.

Mendengar apresiasi para peserta yang hadir, Romo Guido Suprapto selaku Direktur Eksekutif Komisi Kerawam KWI berjanji bahwa acara pertemuan dosen katolik ini akan ada kelanjutannya.

Kredit foto: Royani Lim/Sesawi.Net