Beranda SEPUTAR VATIKAN Urbi Dikotomi Altar dan Pasar Melestarikan Klerikalisme

Dikotomi Altar dan Pasar Melestarikan Klerikalisme

DIKOTOMI ‘altar’ dan ‘pasar’ menjadi istilah yang ramai dibicarakan oleh klerus maupun umat katolik di Indonesia sepanjang dekade terakhir ini. Para klerus yang berkutat pada pelayanan di altar – misa, komuni, pewartaan dan sebagainya – kadang dikritik tidak melihat ‘dunia nyata’ umat yang diistilahkan dengan ‘pasar’. Sebaliknya yang dianggap sibuk berkarya dengan program sosial kemasyarakatan dianggap melalaikan ‘altar’.

Sinyalemen altar dan pasar ini ditanggapi oleh Mgr. Ignatius Suharyo baru-baru ini di Jakarta (4/7). Dalam pertemuan informal dengan sejumlah eksim (mantan seminaris), Mgr. Ignatius Suharyo mengungkapkan dikotomi altar dan pasar sempat mengemuka dalam pembahasan awal ARDAS (Arah Dasar Pastoral) KAJ bulan Mei 2015 lalu.

“Dikotomi altar dan pasar seharusnya tidak terjadi, karena ini merupakan dinamika dinamis. Dikotomi yang berlanjut malah akan melestarikan klerikalisme,” jelas Uskup Agung KAJ dan mantan Uskup Agung KAS.

Menurut Mgr. Ignatius Suharyo, isu dikotomis altar-pasar ini mengemuka saat beberapa pastor KAJ menyentil pertanyaan yang bereda di kalangan imam di KAJ: “Mengapa Gereja KAJ kurang terlibat di urusan-urusan kemasyarakatan dan masih terlalu berkutat di altar?”

Menanggapi ‘keluhan’ dan gugatan para imam di KAJ itu, Mgr. Suharyo lalu mensharingkan idenya kepada para eksim dalam PalingSah (Paguyuban Lingkar Sahabat), Sesawi (Sesama Warga Ignasian dan Yayasan Sesawi) dan Sesawi.Net. Intinya, gagasan dikotomis itu tidak perlu dipertentangkan, karena masing-masing pelaku sudah melakukan tugas dan fungsinya di ‘habitat’ mereka masing-masing

Imam berkarya memberikan pelayanan sakramen dan ibadat, sementara kaum awam mendapatkan porsinya sendiri dalam karya membangun Kerajaan Allah dan masyarakat di lingkup pekerjaan dan lingkungannya masing-masing.

Klerikalisme
Klerikalisme merupakan segala hal terkait kaum tertahbis. Klerikalisme berasal dari kata clerus yang secara harafiah berarti ‘imam’ atau ‘kaum tertahbis’. Sebagai fenomena, klerikalisme awalnya lahir menjadi penanda praktik-praktik penyimpangan dan penyalahgunaan kekuasaan hirarkis. Dalam perkembangannya, klerikalisme bukanlah sekadar gejala yang diidap kaum klerus, melainkan juga menggejala di kalangan umat beriman yang ingin memelihara status quo (kemandegan) dan menikmati kemapanan semu.

Paus Fransiskus secara lugas memperingatikan tentang bahaya klerikalisme pada 16 Desember 2013 pada homilinya dalam misa di kapel Santa Marta, Vatikan.

“Sebuah Gereja tanpa nabi jatuh ke dalam perangkap klerikalisme. Nabi adalah orang yang mendengarkan firman Allah, membaca semangat zaman, tahu bagaimana bergerak ke masa depan. Jadi ada tiga momen yang dimilikinya: masa lalu, masa sekarang, dan masa depan. Nabi menjaga janji Allah tetap hidup, melihat penderitaan umat, dan memberi kekuatan bagi kita untuk melihat masa depan. Maka ketika tidak ada roh nubuat di antara imam Allah, kita jatuh dalam perangkap klerikalisme,” kata Paus Fransiskus.

Menurut Uskup Agung Jakarta Mgr. Ignatius Suharyo, cara dikotomis altar-pasar itu harus diubah. Mestinya, kata Mgr. Suharyo, para imam yang berkarya di paroki-paroki tidak perlu merasa ‘tersakiti’ atau ‘terlangkahi’ kalau banyak awam katolik sudah berkiprah dan melangkah maju di bidang karya profesionalnya. “Masing-masing dengan lingkup karyanya sendiri sudah berkarya menggarami dunia. Para pastor paroki harus mendukung mereka tanpa harus merasa dilangkahi oleh kaum awam,” tegasnya.

Kredit foto: Ilustrasi (Sr. Alfonsa Triatmi PMY berkarya di kalangan petani organik di Purworejo/Ist)