Beranda KWI KOMSOS KWI Feature: Bagaimana Kesan Pertama Seorang OMK Jakarta di Tanah Flores?

Feature: Bagaimana Kesan Pertama Seorang OMK Jakarta di Tanah Flores?

Buat saya, menginjak tanah Flores adalah anugrah Tuhan yang tidak pernah terbayangkan: Jangankan bisa ke sana, terpikir untuk ke sana pun tidak. Bersama dengan tim Komisi Komsos Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), beginilah rencana Tuhan terjadi…

***

Saya berangkat bersama Sekretaris Eksekutif Komisi Komunikasi Sosial KWI, RD Kamilus Pantus, pendiri Heartspeaks Indonesia, Frans Budi, dan pendiri Indonesia Menulis, Budi Sutedjo dan Maria Herjani. Sebagai satu-satunya OMK, dan pertama kalinya menginjak tanah Flores, saya punya kesan tersendiri mengenai pulau yang luar biasa ini.

Setelah mendarat di Bandar Udara Komodo, kami singgah di restoran Budi Luhur dan menikmati menu favoritnya: Ikan Kuah Asam. Dimasak dengan daun kemangi dan potongan tomat. Semangkok ikan merah ini memberi kejutan pertama. Sungguh nikmat. Segelas jus alpukat menyempurnakan sarapan kami. Kini kami siap untuk menyusuri 4 jam perjalanan menuju Ruteng, ibu kota kabupaten Manggarai.

Ikan Kuah Asam dan Jus Alpukat
Ikan Kuah Asam dan Jus Alpukat

Tim Komsos KWI datang ke Ruteng dalam kerjasama dengan STKIP St. Paulus. Gabungan mahasiswa/i calon katekis dan guru SD ini akan belajar bersama mengenai public speaking dan penulisan karya ilmiah. Acara pelatihan diselenggarakan di rumah retret Maria Bunda Karmel, Wae Lengkas, Ruteng, dari Rabu, 24 Februari 2016 hingga Jumat, 26 Februari 2016.

Saya mulai perjalanan ini dengan tekad tidak akan tidur. Saya mau menyaksikan keindahan pemandangan di Flores yang sudah sempat saya intip dari jendela pesawat. Jalan mulai berkelok-kelok dan naik turun, mobil kami sudah mulai mendaki gunung. Banyak air terjun kecil dan mata air yang mengalir bebas dan bersih di pinggir jalan. Kerbau dan ayam berkeliaran seperti mereka yang mempunyai jalan. Bahkan ada tiga ekor kerbau yang menghalangi jalan mobil kami, sepertinya sang ibu dan dua anaknya: diklakson berkali-kali, tidak kunjung bergeser, hingga kami yang akhirnya mengalah melawan jalur.

Trio Kerbau Penguasa Jalanan Itu
“Ini jalan punya kami.”

Udara panas dari bandar udara dengan cepat berganti menjadi udara sejuk. Saya buka jendela samping mobil lebar-lebar, dan saya balas terpaan angin itu dengan wajah saya. Rasanya seperti disapu menggunakan kain kering yang dingin. Di sebelah kanan saya, awan putih tebal nan cerah memenuhi langit. Bergeser sedikit, awan gelap mendung sudah berbaris. Tidak heran kami melewati berapa kali hujan dan cerah dalam satu perjalanan. Saat saya melihat-lihat aktivitas saudara-saudariku di sepanjang jalan, mereka tersenyum. Ada yang memanggil, menyapa, dan ada segerombol anak-anak berteriak ceria. Ada juga seorang nenek yang sibuk memilin jagung sambil berawas-awas terhadap ayam peliharaannya. Meleng sedikit, habis sudah butiran jagung itu. Lagi, ada seorang bocah sedang duduk di pinggir sawah. Rambutnya mohawk, berbaju biru, dan sedang meregangkan kaki. Ketika kami bertatapan, ia mengangkat jempolnya mengarah ke jalan yang akan saya tempuh. Saya balas dengan gerakan hormat. Luar biasa kasih spontan ini. Secara kompak, Flores hadirkan sambutan hangat penuh cinta untuk kami.

Tidak sedikit tanaman yang saya temukan unik di sini, salah satunya bambu. Ada daun bambu di Flores tidak menjari seperti umumnya, tapi membentuk anak tangga, bertingkat selang-seling. Kedua, pohon palem. Batang pohon palem yang tumbuh di sepanjang hutan Flores bervariasi ukurannya. Ada juga yang se-‘langsing’ bambu. Tanaman yang demikian heterogen warna, ukuran, dan varietasnya juga pernah saya lihat di muara Sungai Kapuas di Dangkan Silat, Kalimantan Barat. Waktu itu saya melihat dari kejauhan, dari atas perahu kecil. Namun sekarang -dari kaca jendela mobil dan dekat- beda cerita. Ultrapiksel kehijauan yang tak pernah saya lihat lagi di Jakarta dan sekitarnya kian membuat senyum terus terbit.

Mobil yang berlalu lalang mayoritas truk barang. Angkutan umum di sini menggunakan truk bak yang dimodifikasi sedemikian rupa sehingga truk itu punya barisan kursi seperti di balai desa. Hampir setiap truk pengangkut orang yang berlalu lalang penuh: penuh dengan orang, ada yang berdiri bergantung di ujung bak, kambing, kerbau, dan barang kebutuhan pokok.

Truk Transportasi Umum
RD Kamilus mengambil foto warga yang naik truk transportasi umum

Semangat penjelajah saya dibalap oleh rasa kesal. Sebagai OMK yang getol bermain gadget, tidak tahan melihat pemandangan demikian indah dan tidak didokumentasikan. Lalu mengapa kesal? Setiap kali melihat keelokan alam, saya segera mengaktifkan kamera HP, dan ketika saya siap men-shooting, pegunungan dan lembah itu sudah tidak terlihat karena tertutup pohon dan perumahan. Terlambat satu detik, hilang sudah momen fotografi profesional itu. Ya sudahlah..

Kembali pada landscape yang saya nikmati, tidak sedikit perumahan yang terlihat jelas berada persis di samping jurang. Menenangkan, karena hijaunya sekitar rumah, sekaligus menegangkan. Di kejauhan, pegunungan Flores dihiasi Tuhan dengan manik-manik berkilau: rumah saudara-saudari saya di pedesaan Flores menggunakan seng sebagai atap. Sinar matahari terpantul dari seng itu, membuat gunung itu seolah menggunakan perhiasan mewah: emas putih persisnya. Sungguh indah.

Tidak terasa, sampailah kami di rumah retret Maria Bunda Karmel. Padang rumput yang tertata dan barisan bangunan yang akan saya injak: puji Tuhan untuk semuanya. Kami siap untuk berbagi pengalaman dan sukacita Injili melalu public speaking dan menulis.

 

ditulis oleh Kevin Sanly Putera, S.I.Kom, videografer dan jurnalis lepas, aktif membantu di tim Komsos KWI.

penyunting: @omk_indonesia