Beranda KWI KOMSOS KWI Greget: Ketika Pegiat Menulis ‘Kedapatan’ Pelatihan Menulis

Greget: Ketika Pegiat Menulis ‘Kedapatan’ Pelatihan Menulis

“Saya sebenarnya menulis sudah lama…” ucap Hildebertus P. M. Wawo dalam suara kecil. Seminaris tingkat SMA Sinar Buana, Weetebula ini sudah menulis lusinan puisi dan fragmen sejak beberapa tahun silam. “Saya buat jadi buku, tapi saya simpan karena tidak tahu mau kirim ke mana…”

Perbincangan singkat dengan lelaki muda yang akrab disapa Deri ini berlangsung di sela pelatihan jurnalistik untuk Seminari Menengah Sinar Buana. Pelatihan ini sendiri diadakan sebagai bagian dari rangkaian besar perayaan ulang tahun emas (50 tahun) Seminari Sinar Buana. Sebagai salah satu siswa, Deri bersyukur bisa termasuk dalam 30 orang yang mewakili 300 seminaris seluruh angkatan, yang boleh ikut pada pelatihan ini.

Deri namanya, menulis dunianya…

Pupil mata Deri serentak melebar ketika ditanya soal menulis. Suaranya pun menjadi kalem, tapi tiba-tiba naik dan bertempo cepat. “Ada yang saya simpan sampai kertasnya robek,” cerita Deri. Bagi penulis muda ini, pelatihan jurnalistik ini menjadi jawaban hobinya. Deri mengaku belum pernah mengikuti pelatihan serupa sebelumnya. “Seminar sudah ikut (menanggapi seminar nasional yang diadakan sebelum pelatihan ini) sebelumnya, tapi membahas genre, narkoba, dll. Belum pernah ada yang tentang jurnalistik. Maka itu, saya pikir pelatihan ini pas sekali untuk diikuti.”

Meski hobi Deri belum mendapat wadah rutin, ia tetap berkarya. “Saya minta masukan dari teman-teman dan frater di seminari; respon mereka positif. Ada pula satu fragmen karya saya yang dipentaskan menjadi drama dan sudah ditampilkan di beberapa tempat,” tukas Deri. “Drama 20 menit!” potong seorang adik kelas yang menyimak wawancara ini.

Fragmen yang dipentaskan itu bercerita mengenai isu budaya lokal Sumba yang agak bertolak belakang dengan anak lelaki yang berminat menjadi kaum berjubah. Tradisi menjunjung anak lelaki sebagai kepala keluarga, harus mencari nafkah. Lantas, hidup selibat mengambil hidup yang semacam itu. Tidak ada yang bisa disalahkan, selain mencari jalan tengah terbaik. Para pastor yang berkarya di Sumba punya misi mengedukasi para orangtua dan anak-anak bahwa tradisi dan agama tidak perlu dipertentangkan; bahwa menjadi imam adalah suatu panggilan Allah yang mulia, kudus, dan alangkah baiknya bila dipenuhi dengan sukacita dan penuh dukungan. “Setelah pastor berbicara, akhirnya para orangtua mengerti dan melepas anaknya bila mereka mau jadi imam,” kata Deri.

Bahkan sebelum mengikuti pelatihan menulis, pementasan fragmen ini membuktikkan Deri punya jalan di bidang tulis-menulis. “Saya dapat sesuatu setelah ikut pelatihan dua hari ini (23-24/3), bahwa setelah ini saya harus keluarkan seluruh tulisan saya dan berbuat sesuatu,” tegas Deri.

Anak muda ini belum terpikir untuk menulis sebuah buku, karena ia lebih tertarik untuk mengembangkan karya sastra puisi dan fragmen. “Paling banyak saya menulis tentang hari Valentine, tentang cinta-cintaan. Orang muda betul,” kata calon imam tersebut sambil tersenyum lebar.